1.
Teori
Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)
Teori
jarum suntik berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk
menolak informasi setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena
seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak bisa
memiliki alternative untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh
media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan teori peluru (bullet theory).[1]
Berdasarkan
teori tersebut, komunikator politik (politisi, professional, dan aktivis)
selalu memandang bahwa pesan politik apa pun yang disampaikan kepada khalayak,
apalagi kalau melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa citra
yang baik, penerimaan atau dukungan. Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya,
karena efek sangat tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di samping daya
tarik isi, dan kredibilitas komunikator. Bahkan berbagai hasil penelitian membuktikan
bahwa media massa memiliki pengaruh lebih dominan dalam tngkat kognitif
(pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus pengaruh pada sikap dan perilaku.
Ditemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam menerima pesan.
Dengan
demikian, asumsi bahwa khalayak tak berdaya dan media perkasa, tidak terbukti secara
empiric. Meskipun demikian, teori jarum hipodermik atau teori peluru tidak runtuh
sama sekali karena tetap diaplikasikan atau digunakan untuk menciptakan efeksivitas
dalam komunikasi politik. Hal ini tergantung kepada system politik, system
organisasi dan situasi, terutama yang dapat diterapkan dalam system politik
yang otoriter, dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah,
instruksi, penugasan, dan pengarahan. Itulah sebabnya teori ini tetap relevan dan
mampu menciptakan komunikasi yang efektif. Teori ini juga lebih memusatkan perhatian
kepada efek afektif dan behavioral.[2]
2.
Teori
Kepala Batu (Obstinate Audience)
Teori
ini dilandasi pemahaman psikologi bahwa dalam diri individu, ada kemampuan untuk
menyelek siapa saja yang berasal dari luar dan tidak direspons begitu saja.
Teori kepala batu menolak teori jarum suntik atau teori peluru dengan alas an jika
suatu informasi ditembakkan dari media, mengapa khalayak tidak berusaha berlindung
untuk menghindari tembakan informasi itu. Masyarakat atau khalayak memiliki hak
untuk memilih informasi yang mereka perlukan dan informasi yang mereka tidak perlukan.
Kemampuan untuk menyeleksi informasi terdapat pada khalayak menurut perbedaan individu,
persepsi, dan latar belakang social budaya.[3]
Raymond
Bauer mengeritik potret khalayak sebagai robot yang pasif. Khalayak hanya bersedia
mengikuti pesan bila pesan itu memberi keuntungan atau memenuhi kepentingan dan
kebuuthan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linear tetapi merupakan transaksi.
Media massa memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring, diseleksi, dan diterima
atau ditolak oleh filter konseptual atau factor-faktor personal yang
mempenagruhi reaksi mereka.
Dengan
teori khalayak kepala batu itu, focus penelitian bergeser dari komunikator kepada
komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama pakar psikologi maupun sosiologi mencurahkan perhatian kepada factor individu. Mereka mengkaji faktor-faktor
yang membuat individu itu mau menerima pesan-pesan komunikasi. Salah satu di
antaranya adalah lahirnya teori atau model uses
and gratifications (guna dan kepuasaan).[4]
3.
Teori
Kegunaan dan Kepuasan (Uses and
Gratification Theory)
Teori
ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1974 lewat bukunya
The Uses of Mass Communication Current
Perspective on Gratification research. Teori ini banyak berkaitan dengan sikap
dan perilaku para konsumen, bagaimana mereka menggunakan media untuk mencari informasi
tentang apa yang mereka butuhkan. Dalam praktik politik teori ini banyak digunakan
oleh para politisi.[5]
4.
Teori
Empati danTeori Homofili
Secara
sederhana dapat disebutkan bahwa empati adalah kemampuan menempatkan diri pada situasi
dan kondisi orang lain. Dalam hal ini K. berlo (1960) memperkenalkan teori yang
dikenal dengan nama influence theory of
emphaty (teori penurunan dari penempatan diri kedalam diri orang lain).
Artinya, komunikator mengandaikan diri, bagaimana kalau ia berada pada posisi komunikan.
Dalam hal ini individu memiliki pribadi khayal sehingga individu-individu yang
berinteraksi dapat menemukan dan mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan
masing-masing, yang kemudian menjadi dasar dalam mmelakukan penyesuaian.
Dalam
komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan diri sendiri kedalam titik pandang
dan empati orang lain memberi peluang kepada seorang politikus utnuk berhasil dalam
pembicaraan politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri sebagai orang
lain itu memang sangat tidak mudah. Justru itu, empati dapat dtingkatkan atau dikembangkan
oleh seorang politikus melalui komunikasi social dan komunikasi politik yang
sering dilakukan.
Dengan
demikian, empati dalam komunikasi politik adalah sifat yang sangat dekat dengan
citra seseorang politikus tentang diri dan tentang orang lain. Itulah sebabnya empati
dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui komunikasi antarpersona.[6]
5.
Teori
Lingkar Kesunyian (Spiral of Silence
Theory)
Teori
ini diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle Neumann, mantan jurnalis kemudian menjadi
professor emeritus pada salah satu institute publistik di jerman. Teorinya banyak
berkaitan dengan kekuatan media yang bisa membuat opini publik, tetapi di balik
itu ada opini yang bersifat laten berkembang di tingkat bawah yang tersembunyi karena
tidak sejalan dengan opini publik mayoritas yang
bersifat manifes (nyanin pubta di permukaan). Opini publik yang tersembunyi
disebut opini yang berada dalam lingkar keheningan (the spiral of silence). [7]
6.
Teori Penanaman (Cultivation
Theory)
Teori ini memberi kontribusi studi komunikasi dengan sebutan
teori penanaman atau teori kultivasi (Cultivation
Story). Teori ini menggambarkan kehebatan televisi dalam menanamkan sesuatu
ke dalam jiwa penonton, kemudian terimplementasi ke dalam sikap dan perilaku
mereka. Misalnya, kebiasaan televisi menyiarkan berita atau film tentang
kejahatan memberi pengaruh (tertanam) pada sikap dan perilaku untuk tidak mau
keluar pada malam hari tanpa ditemani orang lain. Akan tetapi, tidak demikian
halnya dengan Inggris, stasiun-stasiun televisi tidak terbiasa menayangkan
berita-berita kejahatn dan kekerasan sehingga masyarakat di sana tidak perlu
takut keluar malam.
Di bidang politik, teori ini memiliki pengaruh yang besar
bagi para penonton dengan menggambarkan (tertanam) dalam jiwa, sikap, dan
perilaku mereka, bahwa partai yang banyak tampil di televisi diasosiakan
sebagai partai besar dan berpengaruh, sekalipun dalam kampanye, kameramen
televisi merakayasa dengan hanya meliput tempat-tempat kerumunan massa. Dari
faktor penanaman media terhadap jiwa para pemirsa memberi pengaruh yang besar
terhadap pemilih.
Selain teori ini berhasil dalam menanamkan pengaruh pada jiwa
pemirsa, teori kultivasi banyak mendapat kritik terutama dalam liputan yang
bersifat palsu (pseudo events).[8]
7.
Teori Media Kritis
Teori ini berkembang di Eropa dan khusunya di Jerman. Teori
media kritis menurut Hollander (1981) adalh merupakan teori media yang
menempatkan konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam mempelajari fungsi
media massa. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa media massa dalam berfungsi
banyak dipenagruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan, dan sejarah.
Dengan demikian, permasalahn yang sentral dalam teori media
kritis adalh bukan saja bagaimana media berfungsi, tetapi justru fungsi-fungsi
apa yang seharusnya dilakukan oleh media dalam masyarakat. Dengan kata lain
bahwa kajian tentang peranan media massa dalam mempengaruhi masyarakat tidaklah
begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori peluru tidak
berlaku. Para penganut teroi komunikasi kritis sama sekali tidak lagi
memberikan tekanan efek komunikasi massa terhadap khalayak, melainkan
memusatkan perhatian pada pengertian kontrol terhadap sistem komunikasi.
Teori media kriits bertolak belakang dengan teori media massa
lain, seperti teori perseptual dan teroi fungsional, yang justru kedua teroi
itu memberi tekanan kepada akibat apa yang dilakukan oleh media terhadap orang.
Namun, teori fungsional kemudian mengalami sedikit pergeseran, yaitu memusatkan
kajiannya kajiannya kepada pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak dari
media massa, dan mengapa hal itu dapat diperoleh.[9]
8.
Teori Informasi dan Nonverbal
Sejumlah pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teroi
informasi yang banyak diguankan dalam kegiatan komunikasi politik. Teroi
informasi (dan teroi sistem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam
menggagas dan menjelaskan paradigma pragmatis, yang intinya adalah bertindak
sama dengan berkomunikasi, artinya smeua tindakan politik dapat dipandang
sebagi komunikasi politik yang bersifat non verbal. Sering juga dikatakn bahwa
tidak ada komunikasi (verbal), tetapi
ada komunikasi (nonverbal).
Dalam teori informasi menurut B. Abrey Fisher informasi
diartikan sebagai pengelompokkan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk
menghilangkan ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai konsep yang
absolut dan relatif karen informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan
jumlah, benda dan energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas, bertindak
pun merupakan sebuah informasi dalam arti sebuah kemungkinan alternatif yang
dapat diprediksi berdasarkan pola (peristiwa dari waktu ke waktu).
Informasi dalm komunikasi politik dapat berarti sikap
politik, dan pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan temu
kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalh semua
hal harus dianalisis sebagai tindakan politik (bukan pesan) yang mengandung
sebuah kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik)
sama dengan berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).
Sesungguhnya komunikasi nonverbal
adalah merupakan tindakan dalm peristiwa komunikasi politik yang dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Justru itu tindakan itu harus
diamati dari waktu ke waktu sehingga dapat ditemukan polanya. Jika pesan nonverbal itu berlangsung
berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan. Pola itu kemudian menjadi pedoman
untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya prediksi dilakuakan berdasarkan
pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di luar pola, maka terjadilah kejutan.[10]
Kesimpulan
Media massa merupakan bagian besar
daripada komunikasi politik. Karena media massa dapat mempengaruhi
pemikiran-pemikiran khalayak terhadap apa yang dapat ia sampaikan. Meskipun
media massa memang benar-benar dapat mempengaruhi pemikiran khalayak, namun ada
sebuah teori yang mengatakan bahwa khalayak itu bersifat pasif atau hanya
mengikuti apa yang sudah ada. Namun akhirnya teori tersebut dipatahkan dengan
teori-teori yang lain yang dihasilkan melalui penelitian terhadap tindakan
masyarakat. Oleh karena itu teori dalam komunikasi politik mengalami
perkembangan sesuai dengan penelitian dan penemuan para ahli terhadap tingkah
laku khalayak.
Referensi
Cangara,Hafied.2009. KomunikasiPolitik: Konsep, teori,
danStrategi. Jakarta: RajaGrafindoPersada.
Arifin,Anwar. 2003.KomunikasiPolitik. Jakarta: BalaiPustaka
[1]HafiedCangara, KomunikasiPolitik: Konsep, teori,
danStrategi, (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2009), Hal: 119-120
[2]Anwar Arifin, KomunikasiPolitik, (Jakarta:
BalaiPustaka, 2003), Hal: 43-45.
[3]HafiedCangara, Ibid.,Hal: 120.
[4]Anwar Arifin, Ibid.,Hlm: 46.
[5]HafiedCangara, Ibid.,Hal: 121.
[6]Anwar Arifin, Ibid.,Hlm: 54.
[7]HafiedCangara, Ibid.,Hal: 122.
[8]HafiedCangara, Ibid.,Hal: 122-124.
[9]Anwar Arifin, Ibid.,Hlm: 61-63.
bagus blognya,cukup membantu saya ngadepin oposisi
ReplyDeletebagus sist ^^
ReplyDeletethank u :)
ReplyDeleteada pencerahan
ReplyDelete