Thursday 8 March 2012

Teori-Teori dalam Komunikasi Politik

1.      Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)
Teori jarum suntik berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolak informasi setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak bisa memiliki alternative untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan teori peluru (bullet theory).[1]
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi, professional, dan aktivis) selalu memandang bahwa pesan politik apa pun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan. Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di samping daya tarik isi, dan kredibilitas komunikator. Bahkan berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa memiliki pengaruh lebih dominan dalam tngkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus pengaruh pada sikap dan perilaku. Ditemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam menerima pesan.
Dengan demikian, asumsi bahwa khalayak tak berdaya dan media perkasa, tidak terbukti secara empiric. Meskipun demikian, teori jarum hipodermik atau teori peluru tidak runtuh sama sekali karena tetap diaplikasikan atau digunakan untuk menciptakan efeksivitas dalam komunikasi politik. Hal ini tergantung kepada system politik, system organisasi dan situasi, terutama yang dapat diterapkan dalam system politik yang otoriter, dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah, instruksi, penugasan, dan pengarahan. Itulah sebabnya teori ini tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif. Teori ini juga lebih memusatkan perhatian kepada efek afektif dan behavioral.[2]

2.      Teori Kepala Batu (Obstinate Audience)
Teori ini dilandasi pemahaman psikologi bahwa dalam diri individu, ada kemampuan untuk menyelek siapa saja yang berasal dari luar dan tidak direspons begitu saja. Teori kepala batu menolak teori jarum suntik atau teori peluru dengan alas an jika suatu informasi ditembakkan dari media, mengapa khalayak tidak berusaha berlindung untuk menghindari tembakan informasi itu. Masyarakat atau khalayak memiliki hak untuk memilih informasi yang mereka perlukan dan informasi yang mereka tidak perlukan. Kemampuan untuk menyeleksi informasi terdapat pada khalayak menurut perbedaan individu, persepsi, dan latar belakang social budaya.[3]
Raymond Bauer mengeritik potret khalayak sebagai robot yang pasif. Khalayak hanya bersedia mengikuti pesan bila pesan itu memberi keuntungan atau memenuhi kepentingan dan kebuuthan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linear tetapi merupakan transaksi. Media massa memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring, diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh filter konseptual atau factor-faktor personal yang mempenagruhi reaksi mereka.
Dengan teori khalayak kepala batu itu, focus penelitian bergeser dari komunikator kepada komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama pakar psikologi maupun sosiologi mencurahkan perhatian kepada factor individu. Mereka mengkaji faktor-faktor yang membuat individu itu mau menerima pesan-pesan komunikasi. Salah satu di antaranya adalah lahirnya teori atau model uses and gratifications (guna dan kepuasaan).[4]
3.      Teori Kegunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1974 lewat bukunya The Uses of Mass Communication Current Perspective on Gratification research. Teori ini banyak berkaitan dengan sikap dan perilaku para konsumen, bagaimana mereka menggunakan media untuk mencari informasi tentang apa yang mereka butuhkan. Dalam praktik politik teori ini banyak digunakan oleh para politisi.[5]

4.      Teori Empati danTeori  Homofili
Secara sederhana dapat disebutkan bahwa empati adalah kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. Dalam hal ini K. berlo (1960) memperkenalkan teori yang dikenal dengan nama influence theory of emphaty (teori penurunan dari penempatan diri kedalam diri orang lain). Artinya, komunikator mengandaikan diri, bagaimana kalau ia berada pada posisi komunikan. Dalam hal ini individu memiliki pribadi khayal sehingga individu-individu yang berinteraksi dapat menemukan dan mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan masing-masing, yang kemudian menjadi dasar dalam mmelakukan penyesuaian.
Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan diri sendiri kedalam titik pandang dan empati orang lain memberi peluang kepada seorang politikus utnuk berhasil dalam pembicaraan politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri sebagai orang lain itu memang sangat tidak mudah. Justru itu, empati dapat dtingkatkan atau dikembangkan oleh seorang politikus melalui komunikasi social dan komunikasi politik yang sering dilakukan.
Dengan demikian, empati dalam komunikasi politik adalah sifat yang sangat dekat dengan citra seseorang politikus tentang diri dan tentang orang lain. Itulah sebabnya empati dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui komunikasi antarpersona.[6]

5.      Teori Lingkar Kesunyian (Spiral of Silence Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle Neumann, mantan jurnalis kemudian menjadi professor emeritus pada salah satu institute publistik di jerman. Teorinya banyak berkaitan dengan kekuatan media yang bisa membuat opini publik, tetapi di balik itu ada opini yang bersifat laten berkembang di tingkat bawah yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini publik mayoritas yang bersifat manifes (nyanin pubta di permukaan). Opini publik yang tersembunyi disebut opini yang berada dalam lingkar keheningan (the spiral of silence). [7]

6.      Teori Penanaman (Cultivation Theory)
Teori ini memberi kontribusi studi komunikasi dengan sebutan teori penanaman atau teori kultivasi (Cultivation Story). Teori ini menggambarkan kehebatan televisi dalam menanamkan sesuatu ke dalam jiwa penonton, kemudian terimplementasi ke dalam sikap dan perilaku mereka. Misalnya, kebiasaan televisi menyiarkan berita atau film tentang kejahatan memberi pengaruh (tertanam) pada sikap dan perilaku untuk tidak mau keluar pada malam hari tanpa ditemani orang lain. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Inggris, stasiun-stasiun televisi tidak terbiasa menayangkan berita-berita kejahatn dan kekerasan sehingga masyarakat di sana tidak perlu takut keluar malam.
Di bidang politik, teori ini memiliki pengaruh yang besar bagi para penonton dengan menggambarkan (tertanam) dalam jiwa, sikap, dan perilaku mereka, bahwa partai yang banyak tampil di televisi diasosiakan sebagai partai besar dan berpengaruh, sekalipun dalam kampanye, kameramen televisi merakayasa dengan hanya meliput tempat-tempat kerumunan massa. Dari faktor penanaman media terhadap jiwa para pemirsa memberi pengaruh yang besar terhadap pemilih.
Selain teori ini berhasil dalam menanamkan pengaruh pada jiwa pemirsa, teori kultivasi banyak mendapat kritik terutama dalam liputan yang bersifat palsu (pseudo events).[8]

7.      Teori Media Kritis
Teori ini berkembang di Eropa dan khusunya di Jerman. Teori media kritis menurut Hollander (1981) adalh merupakan teori media yang menempatkan konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam mempelajari fungsi media massa. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa media massa dalam berfungsi banyak dipenagruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan, dan sejarah.
Dengan demikian, permasalahn yang sentral dalam teori media kritis adalh bukan saja bagaimana media berfungsi, tetapi justru fungsi-fungsi apa yang seharusnya dilakukan oleh media dalam masyarakat. Dengan kata lain bahwa kajian tentang peranan media massa dalam mempengaruhi masyarakat tidaklah begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori peluru tidak berlaku. Para penganut teroi komunikasi kritis sama sekali tidak lagi memberikan tekanan efek komunikasi massa terhadap khalayak, melainkan memusatkan perhatian pada pengertian kontrol terhadap sistem komunikasi.
Teori media kriits bertolak belakang dengan teori media massa lain, seperti teori perseptual dan teroi fungsional, yang justru kedua teroi itu memberi tekanan kepada akibat apa yang dilakukan oleh media terhadap orang. Namun, teori fungsional kemudian mengalami sedikit pergeseran, yaitu memusatkan kajiannya kajiannya kepada pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak dari media massa, dan mengapa hal itu dapat diperoleh.[9]

8.      Teori Informasi dan Nonverbal
Sejumlah pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teroi informasi yang banyak diguankan dalam kegiatan komunikasi politik. Teroi informasi (dan teroi sistem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan menjelaskan paradigma pragmatis, yang intinya adalah bertindak sama dengan berkomunikasi, artinya smeua tindakan politik dapat dipandang sebagi komunikasi politik yang bersifat non verbal. Sering juga dikatakn bahwa tidak ada komunikasi (verbal), tetapi ada komunikasi (nonverbal).
Dalam teori informasi menurut B. Abrey Fisher informasi diartikan sebagai pengelompokkan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk menghilangkan ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai konsep yang absolut dan relatif karen informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan jumlah, benda dan energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas, bertindak pun merupakan sebuah informasi dalam arti sebuah kemungkinan alternatif yang dapat diprediksi berdasarkan pola (peristiwa dari waktu ke waktu).
Informasi dalm komunikasi politik dapat berarti sikap politik, dan pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan temu kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalh semua hal harus dianalisis sebagai tindakan politik (bukan pesan) yang mengandung sebuah kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama dengan berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).
Sesungguhnya komunikasi nonverbal adalah merupakan tindakan dalm peristiwa komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Justru itu tindakan itu harus diamati dari waktu ke waktu sehingga dapat ditemukan polanya. Jika pesan nonverbal itu berlangsung berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan. Pola itu kemudian menjadi pedoman untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya prediksi dilakuakan berdasarkan pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di luar pola, maka terjadilah kejutan.[10]
Kesimpulan
             Media massa merupakan bagian besar daripada komunikasi politik. Karena media massa dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran khalayak terhadap apa yang dapat ia sampaikan. Meskipun media massa memang benar-benar dapat mempengaruhi pemikiran khalayak, namun ada sebuah teori yang mengatakan bahwa khalayak itu bersifat pasif atau hanya mengikuti apa yang sudah ada. Namun akhirnya teori tersebut dipatahkan dengan teori-teori yang lain yang dihasilkan melalui penelitian terhadap tindakan masyarakat. Oleh karena itu teori dalam komunikasi politik mengalami perkembangan sesuai dengan penelitian dan penemuan para ahli terhadap tingkah laku khalayak.

Referensi
Cangara,Hafied.2009. KomunikasiPolitik: Konsep, teori, danStrategi. Jakarta: RajaGrafindoPersada.
Arifin,Anwar. 2003.KomunikasiPolitik. Jakarta: BalaiPustaka


[1]HafiedCangara, KomunikasiPolitik: Konsep, teori, danStrategi, (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2009), Hal: 119-120
[2]Anwar Arifin, KomunikasiPolitik, (Jakarta: BalaiPustaka, 2003), Hal: 43-45.
[3]HafiedCangara, Ibid.,Hal: 120.
[4]Anwar Arifin, Ibid.,Hlm: 46.
[5]HafiedCangara, Ibid.,Hal: 121.
[6]Anwar Arifin, Ibid.,Hlm: 54.
[7]HafiedCangara, Ibid.,Hal: 122.
[8]HafiedCangara, Ibid.,Hal: 122-124.
[9]Anwar Arifin, Ibid.,Hlm: 61-63.

[10]Anwar Arifin, Ibid.,Hal: 57-59.


4 comments: