Shogun Tokugawa
berkuasa selama 250 tahun sejak tahun 1600. Kekuasaan keshogunan dimulai ketika
Tokugawa Ieyasu berkuasa. Kekuasaan mereka berpusat di tokyo. Sementara itu
yang seharunya memiliki kekuasaan mutlak secara teori yaitu kaisar bertempat di
kyoto. Sejak tahun 1600 Jepang dikuasai oleh klan Tokugawa dan para pengikutnya
seperti para samurai sebagai pemegang militer pada masa itu. Meskipun mereka
berkuasa, kecemasan akan legitimasi kaisar tetap mereka takuti. Namun pada saat
itu kaisar tidak melakukan banyak hal dan karena para Shogun tetap berkuasa
selama beratus tahun yang menjadi sejarah panjang bagi tumbuhnya masyarakat
Jepang.
Religi
Jepang Pada Masa Tokugawa
Tahun 1603, Tokugawa Ieyasu diangkat sebagai Shogun yang
kemudian membentuk pemerintahan di Edo ( Tokyo), sedangkan Kaisar tetap berada
di Kyoto. Shogun yang berasal dari klan Tokugawa ini memerintah Jepang selama
250 tahun. Pemerintahannya juga disebut sebagai “Pemerintahan Periode Edo”
(1603-1866).
Tahun 1633 Tokugawa Iemetsu (Shogun Ketiga) mengumumkan
larangan bagi orang Jepang untuk bepergian ke luar negeri dan tahun 1639 mulai
menerapkan politik isolasi untuk tidak berhubungan dengan dunia luar, kecuali
memberi kebebasan yang sangat terbatas kepada pedagang china dan Belanda di
lingkungan pelabuhan Nagasaki saja. Masa Tokugawa ini mulai berkembang ajaran
Neo-Confucianisme yang menekankan pentingnya moral, pendidikan dan hirarki
dalam kelas sosial.
Samurai memiliki hirarki paling tinggi di masyarakat,
diikuti oleh kelas petani, kemudian kelas pengrajin (antara lain pembuat
senjata pedang dan kerajinan) dan yang terakhir adalah kelas pedagang. Mereka
yang sudah menduduki keempat kelas sosial tersebut tidak diperkenankan mengubah
status sosialnya, sedangkan penduduk yang macam profesinyatidak termasuk dalam
kelas sosial tersebut dianggap sebagai penduduk kelas lima.
Atas tekanan kaum intelektual Jepang, tahun 1702
pemerintah mengijinkan masuknya kesusasteraan asing dari China, Amerika Serikat
dan Eropa (Belanda), dan untuk mengimbanginya semua sekolah di Jepang dalam
kurikulumya memberi tekanan pada elemen nasionalisme yang dilandasi oleh ajaran
Shintoisme dan Confucianisme.
Religi
Jepang memiliki dua konsep dasar mengenai ketuhana. Yaitu Ruhan sebagaisuatu
entitas lebih tinggi yang memlihara, memberikan perlindungan dan cinta.
Contoh-contoh untuk mencakup dewa-dewa langit dan bumi dari penganut Konfusius,
Amida dan Budha-Budha yang lain, dewa-dewa shinto, selaoin para dewa pelindung
lokl dan para nenek moyang. Kategori ini secara perlahan-lahan dan tanpa terasa
bergeser menjadi tokoh-tokoh negara dan orang tua yang dalam beberapa hal
diperlakukan secara sakral.
Konsep yang kedua yaitu dia merupoakan dasar daris egala
yang ada atau itni terdalam dari realitas. Contoh-contoh untuk ini adalah Tao
China, Li dari Neo-Konfusius yang sering diterjemahkan sebagai nalar, dan Hsin
hati atau pikiran kalau dikaitkan dengan Li, konsep Budha tentang hakikat
Budha, dan istilah kami dalam shinto dalam pengertiannya yang paling filosofis.
Pandangan tenatng kemanunggalan manusia, alam dan
ketuhanan sebagaimana dikemukakan hendaknya tidakk dipandang sebagaimana
dikemukakan hendaknya tidak dipandang sebagai suatu identitas statis, melainkan
adalah suatu harmoni dalam ketegangan. Rasa syukur seseorang terhadap entitas
yang mahatinggi dan mahabaik bukanlah suatu kewajiban yang ringan, tetapi
menyangkut pengorbanan langsung dari kepentingan terdalam seseorang atau bahkan
hidupnya.
Ketiga tradsiis religi di atas dikaitkan dengan sejarah
masa lalu ketika semua hal dianggap lebih baik dari saat sekarang ini. Bagi
pengikut Konfusius masa itu adalah abad paling bijak, bagi kaumm Budha, masa
kini atau Mappo adalah masa yang bobrok di mana orang jarang bisa memahami
ajaran Budha. Para Shintois pembaharu mengingatkan kepada masa ketika para
kaisar memerintah jepang dalam kesederhanaan yang murni. Kepercayaan shinto
tidak bersifat Siklis, melainkan satu arah. Hanya dia di antara religi-religi
besar tersebut percaya kepada konsep penciptaan walaupun dalam bentuk mitologi
yang agak primitif. Oleh orang jepang penganut Shinto, sejarah dipandang
sebagai saat berlakunya kehendak para dewa, dan tujuan akhir religi akan
tercapai bersama perjalanan waktu dan sejarah nasib rakyat jepang.
Organisasi Religius
pada Masa Tokugawa
Pada masa Tokugawa agama kristen dilarang dan orang
Jepang diharuskan untuk beragama Budha yang resmi diakui. Padahal agama Budha
pada masa itu telah mengalami masa surut sejak tahun 1600. Di dalam tradisi
religius yang besar ini terdapat banyak sub-sekte yang berpangkal dari
perbedaan-perbedaan doktrinal kecil, pertikaian antar kuil, persaingan para
pendiri, dan sebagainya. Dan setiap sekte memiliki kuil utama untuk mengontrol
pengaturan administratif setiap sekte. Aspek-aspek struktur sosial Shinto
cenderung lebih rumit dibanding yang ada pada Budhisme. Shinto adalah suatu
nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomen. Pertama, siklus
tahunan kaum tani pedesaan disebut shinto, walaupun banyak elemen Budha dan
China yang masuk dalam agama rakyat ini. Kedua, pemujaan yang luas terhadap
dewa-dewa tertentu seperti Jizo atau Inari. Ketiga, mungkin terdapat
kultus-kultus yang mempunyai kuil pusat yang dipersembahkan kepada dewa-dewa
utama dalam mitologi Shinto.
Shinto nasional berpusat di sekitar istana dan pribadi
kaisar. Ajaran-ajarannya disusun berdasarkan karya-karya “sejarah” yang
menggabungkan mitologi nasional dan sejarah awal istana penguasa. Sebagian dari
pusat-pusat kultus besar tergabung dalam struktur Shinto nasional, dengan
beberapa figur sucinya yang berbeda.
Kesimpulan
Masa atau era
Tokugawa merupakan era di mana munculnya ajaran Rakyat yaitu Shintoisme. ajaran ini banyak memasukkan ajaran Budha dan
ajaran Konfusius dalam prakteknya. Hal tersebut karena kuatnya pengaruh ajaran
tersebut ketika era Tokugawa. Namun pada tahun 1600 an Budha tidak terlalu
diminati namun lama-kelamaan rakyat mulai memandang agama ini. Dua konsep
religi jepang yaitu mengenai Tuhan sebagai Entitas yang lebih tinggi dan yang
kedua yaitu sebagai dasar dari segalal inti sesuatu yang terdalam.
Referensi
Bellah,
Robert N. 1992. Religi Tokugawa:
Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Irsan, Abdul. 2007. Budaya & Perilaku Politik Jepang di
Asia. Jakarta: Grafindo.
No comments:
Post a Comment