Thursday, 8 March 2012

RELIGI JEPANG MASA TOKUGAWA

Shogun Tokugawa berkuasa selama 250 tahun sejak tahun 1600. Kekuasaan keshogunan dimulai ketika Tokugawa Ieyasu berkuasa. Kekuasaan mereka berpusat di tokyo. Sementara itu yang seharunya memiliki kekuasaan mutlak secara teori yaitu kaisar bertempat di kyoto. Sejak tahun 1600 Jepang dikuasai oleh klan Tokugawa dan para pengikutnya seperti para samurai sebagai pemegang militer pada masa itu. Meskipun mereka berkuasa, kecemasan akan legitimasi kaisar tetap mereka takuti. Namun pada saat itu kaisar tidak melakukan banyak hal dan karena para Shogun tetap berkuasa selama beratus tahun yang menjadi sejarah panjang bagi tumbuhnya masyarakat Jepang.  
Religi Jepang Pada Masa Tokugawa
            Tahun 1603, Tokugawa Ieyasu diangkat sebagai Shogun yang kemudian membentuk pemerintahan di Edo ( Tokyo), sedangkan Kaisar tetap berada di Kyoto. Shogun yang berasal dari klan Tokugawa ini memerintah Jepang selama 250 tahun. Pemerintahannya juga disebut sebagai “Pemerintahan Periode Edo” (1603-1866).
            Tahun 1633 Tokugawa Iemetsu (Shogun Ketiga) mengumumkan larangan bagi orang Jepang untuk bepergian ke luar negeri dan tahun 1639 mulai menerapkan politik isolasi untuk tidak berhubungan dengan dunia luar, kecuali memberi kebebasan yang sangat terbatas kepada pedagang china dan Belanda di lingkungan pelabuhan Nagasaki saja. Masa Tokugawa ini mulai berkembang ajaran Neo-Confucianisme yang menekankan pentingnya moral, pendidikan dan hirarki dalam kelas sosial.
            Samurai memiliki hirarki paling tinggi di masyarakat, diikuti oleh kelas petani, kemudian kelas pengrajin (antara lain pembuat senjata pedang dan kerajinan) dan yang terakhir adalah kelas pedagang. Mereka yang sudah menduduki keempat kelas sosial tersebut tidak diperkenankan mengubah status sosialnya, sedangkan penduduk yang macam profesinyatidak termasuk dalam kelas sosial tersebut dianggap sebagai penduduk kelas lima.
            Atas tekanan kaum intelektual Jepang, tahun 1702 pemerintah mengijinkan masuknya kesusasteraan asing dari China, Amerika Serikat dan Eropa (Belanda), dan untuk mengimbanginya semua sekolah di Jepang dalam kurikulumya memberi tekanan pada elemen nasionalisme yang dilandasi oleh ajaran Shintoisme dan  Confucianisme.
Religi Jepang memiliki dua konsep dasar mengenai ketuhana. Yaitu Ruhan sebagaisuatu entitas lebih tinggi yang memlihara, memberikan perlindungan dan cinta. Contoh-contoh untuk mencakup dewa-dewa langit dan bumi dari penganut Konfusius, Amida dan Budha-Budha yang lain, dewa-dewa shinto, selaoin para dewa pelindung lokl dan para nenek moyang. Kategori ini secara perlahan-lahan dan tanpa terasa bergeser menjadi tokoh-tokoh negara dan orang tua yang dalam beberapa hal diperlakukan secara sakral.
            Konsep yang kedua yaitu dia merupoakan dasar daris egala yang ada atau itni terdalam dari realitas. Contoh-contoh untuk ini adalah Tao China, Li dari Neo-Konfusius yang sering diterjemahkan sebagai nalar, dan Hsin hati atau pikiran kalau dikaitkan dengan Li, konsep Budha tentang hakikat Budha, dan istilah kami dalam shinto dalam pengertiannya yang paling filosofis.
            Pandangan tenatng kemanunggalan manusia, alam dan ketuhanan sebagaimana dikemukakan hendaknya tidakk dipandang sebagaimana dikemukakan hendaknya tidak dipandang sebagai suatu identitas statis, melainkan adalah suatu harmoni dalam ketegangan. Rasa syukur seseorang terhadap entitas yang mahatinggi dan mahabaik bukanlah suatu kewajiban yang ringan, tetapi menyangkut pengorbanan langsung dari kepentingan terdalam seseorang atau bahkan hidupnya.
            Ketiga tradsiis religi di atas dikaitkan dengan sejarah masa lalu ketika semua hal dianggap lebih baik dari saat sekarang ini. Bagi pengikut Konfusius masa itu adalah abad paling bijak, bagi kaumm Budha, masa kini atau Mappo adalah masa yang bobrok di mana orang jarang bisa memahami ajaran Budha. Para Shintois pembaharu mengingatkan kepada masa ketika para kaisar memerintah jepang dalam kesederhanaan yang murni. Kepercayaan shinto tidak bersifat Siklis, melainkan satu arah. Hanya dia di antara religi-religi besar tersebut percaya kepada konsep penciptaan walaupun dalam bentuk mitologi yang agak primitif. Oleh orang jepang penganut Shinto, sejarah dipandang sebagai saat berlakunya kehendak para dewa, dan tujuan akhir religi akan tercapai bersama perjalanan waktu dan sejarah nasib rakyat jepang.
             
Organisasi Religius pada Masa Tokugawa
            Pada masa Tokugawa agama kristen dilarang dan orang Jepang diharuskan untuk beragama Budha yang resmi diakui. Padahal agama Budha pada masa itu telah mengalami masa surut sejak tahun 1600. Di dalam tradisi religius yang besar ini terdapat banyak sub-sekte yang berpangkal dari perbedaan-perbedaan doktrinal kecil, pertikaian antar kuil, persaingan para pendiri, dan sebagainya. Dan setiap sekte memiliki kuil utama untuk mengontrol pengaturan administratif setiap sekte. Aspek-aspek struktur sosial Shinto cenderung lebih rumit dibanding yang ada pada Budhisme. Shinto adalah suatu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomen. Pertama, siklus tahunan kaum tani pedesaan disebut shinto, walaupun banyak elemen Budha dan China yang masuk dalam agama rakyat ini. Kedua, pemujaan yang luas terhadap dewa-dewa tertentu seperti Jizo atau Inari. Ketiga, mungkin terdapat kultus-kultus yang mempunyai kuil pusat yang dipersembahkan kepada dewa-dewa utama dalam mitologi Shinto.
            Shinto nasional berpusat di sekitar istana dan pribadi kaisar. Ajaran-ajarannya disusun berdasarkan karya-karya “sejarah” yang menggabungkan mitologi nasional dan sejarah awal istana penguasa. Sebagian dari pusat-pusat kultus besar tergabung dalam struktur Shinto nasional, dengan beberapa figur sucinya yang berbeda.
Kesimpulan
            Masa atau era Tokugawa merupakan era di mana munculnya ajaran Rakyat yaitu Shintoisme.  ajaran ini banyak memasukkan ajaran Budha dan ajaran Konfusius dalam prakteknya. Hal tersebut karena kuatnya pengaruh ajaran tersebut ketika era Tokugawa. Namun pada tahun 1600 an Budha tidak terlalu diminati namun lama-kelamaan rakyat mulai memandang agama ini. Dua konsep religi jepang yaitu mengenai Tuhan sebagai Entitas yang lebih tinggi dan yang kedua yaitu sebagai dasar dari segalal inti sesuatu yang terdalam.
Referensi
Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Irsan, Abdul. 2007. Budaya & Perilaku Politik Jepang di Asia. Jakarta: Grafindo.

No comments:

Post a Comment