A.
Strategi Kampanye
(Campaign Strategy)
Kampanye
ialah sebuah upaya yang dikelola oleh suatu kelompok (agen perubahan) yang
ditujukan untuk memersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau
membuang ide, sikap dan perilaku tertentu. Kampanye politik adalah sebuah
peristiwa yang bisa didramatisasi. Oleh karena itu, Richard A. Joslyn dalam
Swanson (1990) melukiskan kampanye politik tidak ada bedanya dengan sebuah
adegan drama yang dipentaskan oleh para aktor-aktor politik.
Dalam studi perencanaan komunikasi
dikenal beberapa langkah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan kampanye. Assifi
dan French (1982) menyusun delapan langkah yang dapat dilakukan dalam
perencanaan komunikasi untuk kampanye, yakni: 1. Menganalisis masalah; 2. Menganalisis
khlayak; 3. Merumuskan tujuan (objective);
4. Memilih media; 5. Mengembangkan pesan; 6. Merencanakan produksi media; 7.
Merencanakan manajemen program; 8. Monitoring dan evaluasi.
Akan tetapi Nimmo dan Thomas Ungs (1973)
melihat bahwa sebuah perencanaan kampanye politik sedapat mungkin harus melalui
tiga fase, yakni: 1. Fase pengorganisasian (organizing
phase); 2. Fase pengujian (testing
phase); 3. Fase kritis (critical phase).
Fase pengorganisasian,
yakni kapan staf, informasi, dan dana dikumpulkan, strategi dan praktek yang
diterapkan, dan semangat kelompok dibangkitkan untuk pengurus dan anggota. Fase
pengujian kampanye (testing phase), yakni
kapan calon menggalang para anggota dan menawarkan kemudahan-kemudahan kepada
orang yang belum menjadi anggota. Langkah terakhir adalah fase kritis (critical phase) di mana kampanye
mencapai suatu titik di mana calon pemilih (voters)
belum menentukan sikap terhadap partai atau siapa yang akan didukung atau
dipilih.[1]
Penerapan strategi
merupakan langkah krusial yang memerlukan penanganan secara hati-hati dalam
kampanye sebab jika penetapan strategi salah atau keliru, hasil yang diperoleh
bisa fatal, terutama kerugian dari segi waktu, materi dan tenaga. Oleh karena
itu, strategi juga merupakan rahasia yang harus disembunyikan oleh para ahli
perencanaan kampanye.
Menangani masalah
komunikasi para perencana dihadapkan pada sejumlah persoalan, terutama dalam
kaitannya strategi penggunaan sumber daya komunikasi yang tersedia untuk
mencapai sasaran yang ingin dicapai. Rogers (1982) memberi batasan pengertian
strategi komunikasi sebagai suatu rancangan yang dibuat untuk mengubah tingkah
laku manusia dalam skala yang lebih besar melalui transfer ide-ide baru.
Untuk menetapkan
strategi, dapat digunakan model SWOT sebagai peralatan untuk menganalisis;
S = Strength – kekuatan-kekuatan yang
dimiliki partai
W
= Weakness – kelemahan-kelemahan yang
ada pada partai
O = Opportunities – peluang-peluang yang
mungkin bisa diperoleh partai
T = Threats – ancaman-ancaman yang bisa
ditemui oleh partai.
Kekuatan
yang dimiliki partai antara lain: besarnya jumlah pengurus wiayah, cabang dan
ranting yang sudah diresmikan, jumlah naggota dan dari mana saja, apakah ada
diantara mereka yang bisa memberikan dukungan dana. Apakah partai sudah memiliki
kantor dan kekuatan penggerak, misalnya dari kalanganpemuda, pengusaha cerdik
pandai. Dalam konteks kampanye, dipertanyakan bagaimana kekuatan media
komunikasi yang sudah dimiliki, berapa banyak wartawan dan artis yang bisa
menjadi mitra, berapa banyak juru kampanye yang sudah terlatih, berapa banyak
tokoh masyarakat yang bisa digalang sebagai pengumpul suara (votegetter) dan semacamnya.
Kelemahan-kelemahan yang dimiliki partai juga harus dianalisis untuk dicarikan
solusi penyelesaian agar tidak menjadi faktor yang bisa menyebabkan kekalahan
dalam pemilu.[2]
B.
Liputan
Media (Media Coverage)
Hubungan antara media
dengan politik dilihat sebagai suatu hal yang sangat menarik, terutama
ketergantungan antara sumber berita dengan pihak yang memberitakan. Namun, di
sisi lain hubungan itu cukup rawan jika para pekerja media tidak hati-hati
menjalankan tugas kewartawannya secara profesional sebab hal itu bisa
menimbulkan delik hukum. Efek ketidakprofesionalan liputan media sudah tentu
akan membawa konsekuensi hukum dari hubungan politik dengan media. Menurut
Ginting dalam dewan pers (2003), ada tiga hal yang dapat dilakukan dalam
mengatasi kebablasan media dan juga sekaligus sebagai kendali agar media
terhindar dari privacy invasion. Pertama
adalah swaregulasi yang dilakukan oleh media itu sendiri, kedua melalui hukum
dan ketiga kontrol melalui lembaga pengaduan masyarakat (ombudsmen).[3]
Komposisi publik media
disusun menurut komponen kelompok sosial dan kategori. Susunan dapat terbentuk
oleh karena adanya beberapa pengaruh yang berbeda. Salah satu di antaranya
adalah adanya pelbagai kepentingan, keterkaitan dan kemudahan memperoleh
pelbagai ragam isi, sehingga seleksi pun tidak dapat terlepas dari perbedaan
selera, siklus hidup, pendidikan, dan kondisi sosial. Kedua, terdapat pengaruh
ekonomi pada struktur khalayak, yang disebabkan oleh keanekaragaman biaya media
yang harus ditanggung oleh pihak konsumen, dan yang lebih penting lagi
disebabkan oleh adanya dana media dari pemasang iklan yang mendesak media untuk
menyesuaikan pesannya dengan khalayak yang tepat, yakni khalayak yang dinilai
dari segi pendapatan dan pola konsumsi. Ketiga, terdapat perbedaan tertentu
dalam segi struktur tempat kediaman, kelas sosial, ahama, dan lain sebagainya
juga memengaruhi pola penggunaan dan ketersediaan media. Dalam kenyatannya,
perbedaan selera budaya, ekonomi, dan kedudukan sosial sangat erat kaitannya,
sehingga pengaruhnya pun sulit diidentifikasi secara terpisah.
Teori ilmu pengetahuan
sosial menyangkut media telah dikembangkan untuk merumuskan dan memberikan
jawaban sementara terhadap sejumlah masalah utama mengenai mekanisme kerja
sistem komunikasi publik dalam masyarakat. Walaupun jumlah masalah utama itu
sangat banyak, namun dapat dikategorikan dalam tiga masalah mendasar yang berkenaan
dengan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat, intergrasi sosial, dan perubahan
sosial. [4]
C.
Iklan
TV (TV Advertising)
Dalam lingkungan kebudayaan populer,
iklan dan televisi merupakan kekuatan mutualistik yang tidak dapat dipisahkan.
Di satu sisi, televisi memerlukan sumber dana demi menjaga eksistensinya, dan
di sisi lain produsen memerlukan televisi untuk mempromosikan produknya.
Bertemunya masing-masing kebutuhan tersebut menjadikan iklan menjadi mediasi
yang lumrah di setiap stasiun televisi. Dalam lingkup komunikasi massa, iklan
televisi bahkan menjadi sebentuk propaganda yang menyenangkan karena
kehadirannya tidak saja menginformasikan melainkan juga bersifat menghibur.
Iklan di televisi juga memiliki
kelebihan unik dibandingkan dengan iklan di media cetak. Kelebihan iklan
televisi memungkinkan diterimanya tiga kekuatan generator makna sekaligus,
yakni narasi, suara dan visual. Ketiganya berkelindan membentuk sebuah sistem
pertandaan yang bekerja untuk mempengaruhi penontonnya. Dari ketiganya, iklan
televisi bekerja efektif karena menghadirkan pesan dalam bentuk verbal dan
nonverbal sekaligus. Sebagai sistem pertandaan, maka iklan sekaligus menjadi
sebuah bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas
tentang manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi
gagasan yang terpendam di balik penciptanya. Persoalan representasi ini yang
kemudian lebih menarik, karena di dalam iklan sebuah makna sosiokultural
dikonstruksi.
Televisi muncul sebagai
medium komunikasi massa, maka umat manusia memiliki tiga media komuniaksi
massa, yaitu media cetak, media audio, dan media audio-visual (televisi). Setiap media massa memiliki karakteristik
yang berbeda. Adapun televisi, sesuai namanya, tele berarti jauh, vision erarti pandangan. Televisi berarti bisa
dipandang dari tempat yang jauh dari studio TV maka kekuatan televisi terletak
pada paduan gambar dan suara dalam satu waktu penayangan.[5]
Televisi merupakan media audiovisual sehingga penonton dapat
melihat produk yang diiklankan di televisi secara maksimal. Dengan
demikian, iklan di televisi mempunyai karakteristik sebagi berikut.
1.
Pesan dari produk dapat dikomunikasikan secara total, yaitu audio, visual, dan
gerak. Hal ini mampu menciptakan kelenturan bagi pekerja kreatif untuk
mengkombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama, humor, dan
lain-lain.
2. Iklan di televisi memiliki
sarana paling lengkap untuk eksekusi.
3. Iklan ditayangkan secara
sekelebat.[6]
Iklan televisi
memiliki pengaruh yang sangat besar bagi para konsumen karena ini berdampak
pula pada proses penangkapan pesan dan pengambilan keputusan konsumen (
penonton televise ). Iklan melalui televisi bisa benar-benar komersil, sekadar
informasi atau bahkan digunakan untuk kepentingan politik.
D.
Micro
Targeting
Yang
dimaksud komunikasi secara Mikro ialah komunikasi sosial antar insan dalam tingkat
status sosial yang hampir sama dan terjadi dalam unit-unit yang relatif kecil
Komunikasi daerah perkotaan Komunikasi antar pribadi di daerah perkotaan lebih banyak terjadi di luar rumah daripada di dalam rumah sendir. Demikian pula komunikasi kelompok. Lebih tinggi kedudukan seseorang lebih banyak Gesellschaft yang dimasukinya lebih banyak komunikasi yang dilakukan diluar rumah akan tetapi, karma daerah perkotaan merupakan tempat yang penduduknya mudah memperoleh media massa, maka yang dikomunikasikan bukan mengenai pesan yang diperolehnya dari media massa. Komunikasi di dareah pedesaan
Berbeda dengan di daerah perkotaan, pergaulan di daerah pedesaan lebih merupakan Gemeinschaft daripada Gesellschaft. Pergaulan bersifat tak rasional-pribadi statis. Demikian pula dengan sendirinya komunikasi yang berlangsung dalam kehidupan seperti itu.
Berbeda dengan di daerah perkotaan sarana kesenian lebih banyak di gunakan sebagai media komunikasi. Reog, Calung, Ketoprak, wayang kulit, wayang golek dan lain-lainnya juga terbiasa di guanakan menjadi sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.
Komunikasi daerah perkotaan Komunikasi antar pribadi di daerah perkotaan lebih banyak terjadi di luar rumah daripada di dalam rumah sendir. Demikian pula komunikasi kelompok. Lebih tinggi kedudukan seseorang lebih banyak Gesellschaft yang dimasukinya lebih banyak komunikasi yang dilakukan diluar rumah akan tetapi, karma daerah perkotaan merupakan tempat yang penduduknya mudah memperoleh media massa, maka yang dikomunikasikan bukan mengenai pesan yang diperolehnya dari media massa. Komunikasi di dareah pedesaan
Berbeda dengan di daerah perkotaan, pergaulan di daerah pedesaan lebih merupakan Gemeinschaft daripada Gesellschaft. Pergaulan bersifat tak rasional-pribadi statis. Demikian pula dengan sendirinya komunikasi yang berlangsung dalam kehidupan seperti itu.
Berbeda dengan di daerah perkotaan sarana kesenian lebih banyak di gunakan sebagai media komunikasi. Reog, Calung, Ketoprak, wayang kulit, wayang golek dan lain-lainnya juga terbiasa di guanakan menjadi sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.
Oleh
karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa micro
targeting merupakan sasaran komunikasi yang ditujukan kepada orang-orang
yang disebut di atas melalui unit-unit yang relatif kecil. Jadi unit
tersebutlah yang menjadi sasaran bagi komunikasi mikro.[7]
Kesimpulan
Dalam
pelaksanaan kampanye memiliki banyak teori yang dapat diterapkan dalam kampanye
tersebut. Para ahli dalam hal ini memiliki banyak persepsi bagi merumuskan
strategi tersebut namun pada intinya adalah dalam berkampanye jangan sampai
terdapat adanya kelemahan-kelemahan yang dimiliki partai atau individu,
meskipun ada hal tersebut harus dapat diperbaiki sehingga kegagalan dalam
berkampanye sangat kecil. Liputan media merupakan penyampaian berita melalui
media, dalam hal ini liputan media memiliki pengaruh yang sangat luas bagi
khalayak. Bahkan melalui liputan media kepentingan tertentu dapat diupayakan
dan disalurkan hingga tercapai baik sekedar pemberian pengaruh kepada khalayak
bahkan hingga sampai pada masalah politik. Begitu juga dengan TV Advertising atau iklan televisi.
Sebagaimana yang diketahui bahwa iklan televisi memiliki dampak yang sangat
besar bagi khalayaknya daripada melalui media lain. Oleh karena itu dalam
penyampaian komunikasi orang cenderung menggunakan media ini karena gampang
dimengerti dan juga cepat dapat mempengaruhi khalayak dan juga selain itu
masyarakat pada saat ini lebih banyak menonton televisi sehingga pesan-pesan
yang ingin disampaikan tersebut dapat cepat tersampaikan.
Referensi
Cangara,
Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep,
Teori, dan Strategi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
McQuail,
Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa:
Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga
Pareno,
Sam Abede. 2002. Kuliah Komunikasi;
Pengantar dan Praktek. Surabaya: Papyrus
http://mantanresidivis.wordpress.com/2010/05/01/strategi-komunikasi/
[1]
Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan
Strategi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), Hal: 284-288.
[2]
Cangara, Ibid., Hal: 291-294.
[3]
Cangara, Ibid., Hal: 147-148.
[4]
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, (Jakarta:
Erlangga, 1987), Hal; 56-57.
[5]Sam Abede Pareno, Kuliah Komunikasi; Pengantar dan Praktek, (Surabaya:
Papyrus, 2002), Hal: 140-141.
[6]
Dikutip dari: http://emjaiz.wordpress.com/2009/09/04/iklan-televisi/,
Tanggal:2 November 2011, Pukul:
00.08.
[7]
Dikutip dari: http://mantanresidivis.wordpress.com/2010/05/01/strategi-komunikasi/.
Tanggal; 2 November 2011. Pukul: 01.30.
No comments:
Post a Comment