Thursday 8 March 2012

OTORITERISME HSUN TZU, OTORITERISME PENGANUT LEGALISME, PENGANUT EKLEKTISISME PADA MASA DINASTI HAN & BUDDHISME DAN NEO-CONFUCIANISME

  1. Otoriterisme Hsun Tzu
Hsun Tzu selalu bertanya “apakah yang merupakan dasar dari persamaan dan perbedaan”. Dan ia menjawab sendiri bahwa dasar tersebut merupakan kesaksian alat-alat inderawi karena hal tersebut menunjukkan hal yang sesuai dengan obyek pikiran yang telah dibentuk oleh seseorang untuk mewakili kelas tertentu. Selain itu Hsun Tzu juga mengatakan bahwa dia tidak percaya dengan nama-nama yang telah diberikan kepada sesuatu ditetapkan secara ilahi. Dan ia mengatakan bahwa nama itu ditetapkan sesuai dengan persetujuan bersama. Ketika nama sesuatu itu telah mendapat kesepakatan, maka nama sesuatu tersebut akan disebut dengan seperti itu dan nimakan dengan nama-nama yang memadai. Namun ada nama-nama yang secara batiniah baik, mudah dipahami, sederhana dan tidak rancu, dan nama itu disebut dengan nama-nama yang baik.
Dalam ajarannya Hsun Tzu banyak menggunakan prinsip-prinsip yang antara lain I berfungsi untuk mematahkan doktrin-doktrin serta filsafat-filsafat dari ajaran-ajaran para saingannya. Meskipun begitu ajarannya hanya mendapat sedikit perhatian dari masyarakat Cina terutama penganut ajaran Confucianisme.
Dari semua ajaran-ajaran Hsun Tzu yang paling terkenal adalah bahwa ia mengatakan bahwa kodrat manusia itu adalah buruk, dan ini sangat berlawanan dengan ajaran Mencius yang mengatakan bahwa kodrat manusia adalah baik. Kemungkinan yang mempengaruhi Hsun Tzu mengenai pandangan itu adalah kenyataan bahwa ia telah banyak menyimak berbagai pola kebudayaan yang banyak jumlahnya barangkali lebih dari yang telah disimak oleh Mencius.Chao merupakan negara tumpah darah Hsun Tzu dan itu banyak dipengaruhi oleh para pengembara yang berkelakuan biadab dan Hsun Tzu juga pernah tinggal di daerah Ch’I yang berbudaya namun juga pernah tinggal di daerah Ch’u yang memiliki budaya khusus. Hsun Tzu juga berpendapat jika kodrat asli manusia yaotu berbuatt seperti yang diinginka maka akan menimbulkan kesukaan bertengkar, ketamakan serta kesusahan, dan akhirnya manusia mengalami kekeran. Dan karena hal tersebut hakikat manusia tersebut diubah oleh para guru dann hukum, dan dibimbing oleh li serta keadilan. Semua orang pada saat dilahirkan tidak hanya buruk namun juga sama. Menurutnya semua orang memulai hidup mereka dalam tingkatan yang sama benar. Dan orang yang paling awam di dunia suatu saat juga dapat menjadi orang paling bijaksana dengan mengamalkan kebaikan.
Hsun Tzu mengatakan bahwa guru merupakan pembimbing yang baik dalam hidup, namun hal ini bertentangan dengan Confucius bahwa Confucius sendiri tidak memiliki guru dalam hidupnya. Dan HsunTzu mengatakan bahwa apabila seseorang tidak mempunyai guru atau petunjuk, sedagkan ia seorang yang cerdas, maka niscaya ia akan menjadi perampok; jika ia pemberani, maka ia akan menjadi penyamun; jika ia mempunyai keterampilan, maka ia akan menjadi perusuh; jiak ia seorang peneliti, ia akann tertarik hanya kepada gejala-gejala yang ganjil; jika ia seorang penganut dialektika maka pendapatnya aneh-aneh. Tetapi jika ia mempunyai guru atau petunjuk, sedangkan ia seorang yang cerdas; maka dengan cepat ia akan menjadi orang yang disegani; jiakia mempunyai keterampilan, maka dengan cepat ia akan merampungkan apa pun yang diusahakannya; jika ia seorang peneliti, maka dengan cepat ia akan mengambil kesimpulan dari penyelidikannya. Jika seorang penganut dialektika, maka ia akan dengan cepat menyelesaikan setiap masalahnya. Manusia yang tidak mempunyai guru atau petunjuk meluhurkan kodrat aslinya; orangyang mempunyai guru serta petunjuk  mengutamakan pemupukan jiwa sendiri.
Hsun Tzu sagat menggarisbawahi belajar, ia berpendapat bahwa belajar merupakan pintu terbuka. Dan jika ini dilakukan dengan usaha dan upaya maka orang dari kalangan rendah dapat menjadi bangsawan, orang yang tidak tahu-menahu dapat menjadi bijaksana, dan orang miskin dapat menjadi kaya. Hsunn Tzu berpendapat bahwa pemerintahan adalah untuk rakyat bukan untuk penguasa. Tindakan yang dapat memelaratkan rakyat serta memperlakukan para sarjana secara buruk berarti memancing malapetaka. Tidak seorang pun berhasil dalam peperangan jika rakyatnya tidak setia kepadanya.
  1. Totalitarisme Penganut legalisme
Filsafat ini dikenal sebagai Legalisme, dalam arti yang sangat luas,  merupakan filsafat kontrarevolusi, yang berupaya mempertahankan kekuasaan penguasa terhadap tuntutan yang semakin keras yang menyatakan bahwa adanyay pemerintah itu utnuk rakyat, bukan untuk penguasa dan pemerintahan mana pun yang tidak dapat memuaskan rakyat harus dikutuk.
Para penganut menegaskan bahwa mereka adalah pembaharu-pembaharu yang berani, yang memaklumkan suatu ajaran baru bagi jaman baru. Dan mereka berpendapat bahwa ajaran Confucianisme dan Moisme adalah ajaran yang tradisionalisme yang ketinggalan jaman, memiliki teori-teori yang sudah lapuk dan tidak bersedia untuk mengambil keuntungan dari modernisasi.
Penganut Legalisme menganjurkan pemerintahan terpusat yang kuat, yang harus menjalankan kekuasaan mutlak disertai ancaman hukuman yang berat. Hal ini sangat berbeda dengan ajaran yang dianut oleh para Confucianisme dan mereka sangat tidak suka dengan adanya kebijakan ini karena mereka akan kehilangan kekuasaan mereka. Oleh karena itu juga dapat disimpulkan bahwa para Confucianisme merupakan penganut Feodalisme. Para penganut Legalisme tidak salah jika mengatakan bahwa mereka adalah pembaharu, karena metode-metode mereka adalah baru. Namun tidak dapat dikatakan sepenuhnya bahwa tujuan para penganut Legalisme sepenuhnya baru. Sebab mereka mengupayakan bagi penguasa seluruh negeri kekuasaan mutlak terhadap kaulanya yang hampir sama dengan yang dijalankan oleh masing-masing penguasa feodal pada masa silam yang jaya, sebelum rakyat mulai dirusak jiwanya oleh para penganut Confucianisme dengan membiarkan mereka membicarakan hal-hal tersebut.
Para penganut Legalisme memang menggarisbawahi hukum, tetapi hanya sebagai suatu sarana, dan bukan satu-satunya sarana untuk mencapai tujuan mereka. Dan para penganut Legalisme tidak bersifat Legalistik, dalam arti terutama mementingakn bunyi hukum serta penafsiranny. Fung Yu-Lan secara tepat sepenuhnya menyatakan bahwa adalah salah untuk mengaitkan alam pikiran mazhab legalisme dengan ilmu hukum. Pandangan penganut Legalisme mengenai kodrat manusia berbeda dengan paandnagan penganut Confucianisme. Seperti kebanyakan penganut Legalisme Hsun Tzu adalah seorang pejabat administratif lapangan, dan mungkin sebagian masa kerjanya dihabiskan sebagai seorang petugas kepolisian jenis unggul. Hsun Tzu bersifat skeptik namun sebagai penganut Confucianisme iai menemukan sebuah rumus untuk memecahkan kesulitan tersebut, dengan mengorbankan logika.
Sebagai lawan confucianisme, para penganut Legalisme mempunyai landasan yang kokoh dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, yaitu shu, bagi perilaku pemerintah. Confucius mengatakan bahwa ilmu tidak ada harganya, kecuali jika pemiliknya dapt menggunakannya sebaik-baiknya dengan perilaku yang benar untuk memerintah. Namun setelah negara-negara mempunyai wilayah tertentu yang semakin luas serta terpusat dam kegiatan ekonomi mwnjadi saemakin berliku-liku, maka penyelenggaraan pemerintahan semakin lama memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang khusus. Para penganut Legalisme, menginsyafi hal ini, dan itulah yang mungkin menjadi alasan pokoknya mengapa pemerintah Cina terus dipengaruhi oleh Legalisme, jauh sesudah Legalisme sebagai suatu filsafat yang berkembang dalam kenyataannnya tidak ada lagi.
  1. Penganut Eklektisisme pada Masa Dinasti Han
Pada tahun 213 sebelum masehi di bawah pemerintahan dinasti Ch’in yang berusia singkat, hampir semua kepustakaan filsafat dinyatakan terlarang, dan perbincangan mengenai kitab-kitab klasik yang sangat digemari di kalangan penganut Confucianisme dilarang. Legalisme naik daun. Beberapa tahun kemudian, setelah didirikannya dinasti Han, keadaan mengenai filsafat mengalami perubahann. Ketika tiba pada masa berkuasanya kaisar Wu, yang memerintah tahun 140 sampai tahun 87 sebelum masehi, mereka yang mempelajari tulisan-tulisan penganut Legalisme dihalangi menduduki jabatan resmi, sebuah universitas kemaharajaan didirikan untuk mempelajarai kitab-kitab klasik Confucianisme, dan diadakan langkah-langkah yang banyak jumlahnya untuk mengembangkan sistem ujian. Semenjak masa itu banyak pejabat Cina lazimnya diangkat berdasar hasil ujian mengenai kitab-kitab klasik Confucianisme.
Sifat kekolotan Confucianisme, dan kedudukannya di Cina selama dua ribu tahun terakhir dipengaruhi secara mendalam oleh apa yang dinamakan kejayaannya pada masa dinasti Han. Banyak pendapat mengatakan bahwa Kaisar Wu menerima Confucianisme sebagai filsafat pemerintahannya, karena Confucianisme mengutamaka kepatuhan para kaula kepada penguasa, dan memperbesar kekuasaan serta martabat kaisar serta kelas yang berkuasa. Pendapat ini tidak bisa dipastikan betul atau salah. Namun kita harus mempertimbangkan keadaan dari segi aspek ekonomi dan politik, karena hal ini merupakan bagian penting dari bahan keterangannya. Perhatian yang khusus perlu ditaruh pada faktor manusianya yaitu para penguasanya, para sarjananya, dan  rakyat jelatanya.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi mengenai Kaisar Wu bahwasanya ia sudah menjadi penganut Confucianisme ketika ia pertama kalinya mewarisi tayhat sebagai seorang anak laki-laki berusia limabelas tahun, namun tahapan ini dengan cepat dilewatinya; selama masa hidupnya sebagai orang dewasa, dalam kenyataannya ia penganut Legalisme, yang dapat secara seksama berpura-pura sebagai penganut Confucianisme demi kebajikan. Para penasihat yang sebenarnya menentukan perencanaan kebajikan-kebajikan pemerintahan jelas-jelas bersikap Legalistik dan menolak Confucianisme.
Ketika pada masa kaisar Wu selama beberapa waktu sudah menjadi kebiasaan bagi para sarjana yang memperoleh rekomendasi dari daerah-daerah asal mereka, datang ke istana guna diuji oleh maharaja. Seorang penganut Confucianisme termasyhur yaitu Tung Chung-shu menempuh ujian semacam itu pada awal pemerintahan Wu. Peserta lain yang mengikuti ujian yaitu Kung-Sun Hung. Ia pernah menjadi seorang sipir dan ini yang menyebabkannya tertarik pada Legalisme. Karena dipecat, akhirnya ia menjadi penggembala babi dan semasa hidupnya kemudia mempelajari salah sati kitab klasik Confucianisme. Jawaban soal yang diberikannya, meskipun pada permukaan bersifat Confucianisme seperti diisyaratkan, namun dalam kenyataannya jelas-jelas bersifat Legalisme. Ia mengatakan bahwa kaisar harus dengan bersemangat memaklumkan UU dan menggunakan Shu, metode-metode. Selanjutnya kaisar harus memegang monopoli atas kendali-kendali yang menguasai hidup dan mati dan mengendalikan pemerintahan secara pribadi. Para sarjana yang menilai sangat marah terhapa pekerjaan itu dna memberikan nilai terendah untuknya. Ketika hasil-hasil itu sampai kepada kaisar, ia menaikkannya dan memberi niali tertinggi dan menjadikannya perdana mentri hingga ia meninggal. Kaisar memberi ganjaran sangat banyak terhadap orang-rang yang di atas kertas menganut Confucianisme yang mengelu-elukannya dan menghukum mereka yang mengecamnya.
Sikap eklektik yang dipunyai para penganut Confucianisme tidak sedikit. Dalam kenyataannya, sukar untuk menemukan apa yang dapat dinamakan penganut Confucianisme yang murni pada masa dinasti Han. Salah satu kitab Confucianisme terpenting yaotu Catatan-Catatan Mengenai Ketentuan Upacara , dihimpun sejak abad 1 SM dari dokumen yang memiliki usia berbeda. Meskipun begitu kitab ini banyak mengandung teori-teori yang samar-samar bercorak Legalisme serta Taoisme, dan memasukkan juga teori-teori tentang yin dan yang dan kelima macam daya.
  1. Buddhisme dan Neo-Confucianisme
Timbulnya Buddhisme dilatar belakangi oleh adanya Hinduisme. Tradisi Buddhisme menetapkan tahun 623 sebelum masehi sebagai tahun kelahiran sang buddha, namun kebanyakn sarjana berpendapat bahwa ia hidup antara tahun 560 sampai kira-kira tahun 480 sebelum masehi. Buddha atau dikenal Gautama merupakan putera seorang penguasa suatu negara kecil di India utara. Menikah dan memiliki seorang anak. Namun pada usia dua puluh sembilan tahun pergi meninggalkan rumah untuk mengembara dalam hal keagamaan yang merupakan suatu tradisi. Akhirnya pada suatu waktu ia duduk di bawah pohon pencerahan yang terkenal itu, ia menyelesaikan semedi dan akhir samadi tersebut ia dapat berkata: “kelahiran kembali telah berakhir… aku tidak lagi mempunyai urusan dengan dunia”. Dan ia telah menjadi sang buddha yaitu yang mendapat pencerahan.
Sering dikemukakan bahwa ada kemiripan antara gagasan Taoisme  yang terdapat dalam kitab Lao Tzu dan Chuang Tzu, dengan gagasan yang terkandung dalam sejumlah ahsil karya India. Orang dapat mengacu kalimat-kalimat  dalam kitab-kitab Buddhisme yang menggambarkan kemiripan-kemiripan besar dengan gagasan yang terkandung dalam kitab Lao Tzu dan Chuang tzu. Namun dapat diketahui bahwa Buddhisme dikenal di Cina kira-kira nenjelang awal Tarikh Masehi.
Selama pemerintahan dinasti Sung, yang berlangsung antara tahun 960 sampai tahun 1279, timbul pemikiran Neo-Confucianisme. Benih-benihnya sudah dapat dirunut sampai masa dinasti T’ang. Neo-Confucianisme berupaya menunjukkan bahwa Confucianisme dapat memberikan apa saja yang diinginkan yang dapat diberikan oleh Buddhisme, bahkan lebih dari itu. Hal khusus yang diutamakan yaitu: mengimbangi kosmologi Buddhisme, memberi penjelasan tentan dunia dan etika Confucianisme secara metafisik, dan akhirnya seraya mengerjakan hal tersebut, memberikan pembenaran atas kegiatan sosial dan politik serta mempertahankan hak-hak manusia untuk memperoleh kebahagiaan dengan melakukan usaha-usaha yang biasa dalam perikehidupan yang wajar.
Kesimpulan
            Hsun Tzu merupakan penganut Confucianisme namun memiliki pandangan yang banyak berbeda dengan Confucius terutama dengan ajaran-ajaran lainnya. Hsun Tzu memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan Mencius terutama dalam hal pandangan mengenai kodrat manusia. Dia berpendapat bahwa kodrat manusia buruk sementara Mencius beranggapan sebaliknya. Namun pemikiran Hsun Tzu yang sama dengan Confucianisme yaitu dalam hal pemerintahan
            Penganut Legalisme merupakan penganut yang beranggapan bahwa ajaran Confucianisme merupakana ajaran yang telah lapuk oleh karena itu mereka menggantinya dengan ajaran-ajaran yang memiliki metode-metode baru. Meskipun begitu ada beberapa hal yang tidak sepenuhnya baru yakni dalam hal kekuasaan mutlak bagi penguasa.
            Para penganut ajaran Confucianisme tidak sedikit menganut sikap eklektik. Banyak para penganut Confucianisme yang tidak murni sepenuhnya menjalankan dan menganut ajaran tersebut. Ajaran ini telah banyak di nodai dengan ajaran Legalisme maupun Taoisme. Hal itu terjadi terutama pada masa Dinasti Han ketika Kaisar Wu menjabat sebagai penguasa.
            Buddhisme tidak dapat dipastikan kapan masuknya ke Cina namun dapat diperkirakan sekitar awal Tarikh Masehi. Ajaran ini sangat berkembang pesat di China, meskipun awalnya tidak terlalu mendapat perhatian. Ajaran Neo-Confucianisme menekankan hal khusus keutamaannya adalah bahwa Neo-Confucianisme dapat memberikan apa saja yang diberikan oleh ajaran Buddhisme, bahkan dapat memberikan lebih.
Referensi
Creel, H.G. 1989. AlamPikiranCina. Yogyakarta: Tiara Wacana.

No comments:

Post a Comment