- Otoriterisme Hsun Tzu
Hsun
Tzu selalu bertanya “apakah yang merupakan dasar dari persamaan dan perbedaan”.
Dan ia menjawab sendiri bahwa dasar tersebut merupakan kesaksian alat-alat
inderawi karena hal tersebut menunjukkan hal yang sesuai dengan obyek pikiran
yang telah dibentuk oleh seseorang untuk mewakili kelas tertentu. Selain itu
Hsun Tzu juga mengatakan bahwa dia tidak percaya dengan nama-nama yang telah
diberikan kepada sesuatu ditetapkan secara ilahi. Dan ia mengatakan bahwa nama
itu ditetapkan sesuai dengan persetujuan bersama. Ketika nama sesuatu itu telah
mendapat kesepakatan, maka nama sesuatu tersebut akan disebut dengan seperti
itu dan nimakan dengan nama-nama yang memadai. Namun ada nama-nama yang secara
batiniah baik, mudah dipahami, sederhana dan tidak rancu, dan nama itu disebut
dengan nama-nama yang baik.
Dalam
ajarannya Hsun Tzu banyak menggunakan prinsip-prinsip yang antara lain I
berfungsi untuk mematahkan doktrin-doktrin serta filsafat-filsafat dari
ajaran-ajaran para saingannya. Meskipun begitu ajarannya hanya mendapat sedikit
perhatian dari masyarakat Cina terutama penganut ajaran Confucianisme.
Dari
semua ajaran-ajaran Hsun Tzu yang paling terkenal adalah bahwa ia mengatakan
bahwa kodrat manusia itu adalah buruk, dan ini sangat berlawanan dengan ajaran
Mencius yang mengatakan bahwa kodrat manusia adalah baik. Kemungkinan yang mempengaruhi
Hsun Tzu mengenai pandangan itu adalah kenyataan bahwa ia telah banyak menyimak
berbagai pola kebudayaan yang banyak jumlahnya barangkali lebih dari yang telah
disimak oleh Mencius.Chao merupakan negara tumpah darah Hsun Tzu dan itu banyak
dipengaruhi oleh para pengembara yang berkelakuan biadab dan Hsun Tzu juga
pernah tinggal di daerah Ch’I yang berbudaya namun juga pernah tinggal di
daerah Ch’u yang memiliki budaya khusus. Hsun Tzu juga berpendapat jika kodrat
asli manusia yaotu berbuatt seperti yang diinginka maka akan menimbulkan
kesukaan bertengkar, ketamakan serta kesusahan, dan akhirnya manusia mengalami
kekeran. Dan karena hal tersebut hakikat manusia tersebut diubah oleh para guru
dann hukum, dan dibimbing oleh li serta
keadilan. Semua orang pada saat dilahirkan tidak hanya buruk namun juga sama.
Menurutnya semua orang memulai hidup mereka dalam tingkatan yang sama benar.
Dan orang yang paling awam di dunia suatu saat juga dapat menjadi orang paling
bijaksana dengan mengamalkan kebaikan.
Hsun
Tzu mengatakan bahwa guru merupakan pembimbing yang baik dalam hidup, namun hal
ini bertentangan dengan Confucius bahwa Confucius sendiri tidak memiliki guru
dalam hidupnya. Dan HsunTzu mengatakan bahwa apabila seseorang tidak mempunyai
guru atau petunjuk, sedagkan ia seorang yang cerdas, maka niscaya ia akan
menjadi perampok; jika ia pemberani, maka ia akan menjadi penyamun; jika ia
mempunyai keterampilan, maka ia akan menjadi perusuh; jiak ia seorang peneliti,
ia akann tertarik hanya kepada gejala-gejala yang ganjil; jika ia seorang
penganut dialektika maka pendapatnya aneh-aneh. Tetapi jika ia mempunyai guru
atau petunjuk, sedangkan ia seorang yang cerdas; maka dengan cepat ia akan
menjadi orang yang disegani; jiakia mempunyai keterampilan, maka dengan cepat
ia akan merampungkan apa pun yang diusahakannya; jika ia seorang peneliti, maka
dengan cepat ia akan mengambil kesimpulan dari penyelidikannya. Jika seorang
penganut dialektika, maka ia akan dengan cepat menyelesaikan setiap masalahnya.
Manusia yang tidak mempunyai guru atau petunjuk meluhurkan kodrat aslinya;
orangyang mempunyai guru serta petunjuk
mengutamakan pemupukan jiwa sendiri.
Hsun
Tzu sagat menggarisbawahi belajar, ia berpendapat bahwa belajar merupakan pintu
terbuka. Dan jika ini dilakukan dengan usaha dan upaya maka orang dari kalangan
rendah dapat menjadi bangsawan, orang yang tidak tahu-menahu dapat menjadi
bijaksana, dan orang miskin dapat menjadi kaya. Hsunn Tzu berpendapat bahwa
pemerintahan adalah untuk rakyat bukan untuk penguasa. Tindakan yang dapat
memelaratkan rakyat serta memperlakukan para sarjana secara buruk berarti
memancing malapetaka. Tidak seorang pun berhasil dalam peperangan jika
rakyatnya tidak setia kepadanya.
- Totalitarisme Penganut legalisme
Filsafat
ini dikenal sebagai Legalisme, dalam arti yang sangat luas, merupakan filsafat kontrarevolusi, yang
berupaya mempertahankan kekuasaan penguasa terhadap tuntutan yang semakin keras
yang menyatakan bahwa adanyay pemerintah itu utnuk rakyat, bukan untuk penguasa
dan pemerintahan mana pun yang tidak dapat memuaskan rakyat harus dikutuk.
Para
penganut menegaskan bahwa mereka adalah pembaharu-pembaharu yang berani, yang
memaklumkan suatu ajaran baru bagi jaman baru. Dan mereka berpendapat bahwa
ajaran Confucianisme dan Moisme adalah ajaran yang tradisionalisme yang
ketinggalan jaman, memiliki teori-teori yang sudah lapuk dan tidak bersedia
untuk mengambil keuntungan dari modernisasi.
Penganut
Legalisme menganjurkan pemerintahan terpusat yang kuat, yang harus menjalankan
kekuasaan mutlak disertai ancaman hukuman yang berat. Hal ini sangat berbeda
dengan ajaran yang dianut oleh para Confucianisme dan mereka sangat tidak suka
dengan adanya kebijakan ini karena mereka akan kehilangan kekuasaan mereka.
Oleh karena itu juga dapat disimpulkan bahwa para Confucianisme merupakan
penganut Feodalisme. Para penganut Legalisme tidak salah jika mengatakan bahwa
mereka adalah pembaharu, karena metode-metode mereka adalah baru. Namun tidak
dapat dikatakan sepenuhnya bahwa tujuan para penganut Legalisme sepenuhnya
baru. Sebab mereka mengupayakan bagi penguasa seluruh negeri kekuasaan mutlak
terhadap kaulanya yang hampir sama dengan yang dijalankan oleh masing-masing
penguasa feodal pada masa silam yang jaya, sebelum rakyat mulai dirusak jiwanya
oleh para penganut Confucianisme dengan membiarkan mereka membicarakan hal-hal
tersebut.
Para
penganut Legalisme memang menggarisbawahi hukum, tetapi hanya sebagai suatu
sarana, dan bukan satu-satunya sarana untuk mencapai tujuan mereka. Dan para
penganut Legalisme tidak bersifat Legalistik, dalam arti terutama mementingakn
bunyi hukum serta penafsiranny. Fung Yu-Lan secara tepat sepenuhnya menyatakan
bahwa adalah salah untuk mengaitkan alam pikiran mazhab legalisme dengan ilmu
hukum. Pandangan penganut Legalisme mengenai kodrat manusia berbeda dengan
paandnagan penganut Confucianisme. Seperti kebanyakan penganut Legalisme Hsun
Tzu adalah seorang pejabat administratif lapangan, dan mungkin sebagian masa
kerjanya dihabiskan sebagai seorang petugas kepolisian jenis unggul. Hsun Tzu
bersifat skeptik namun sebagai penganut Confucianisme iai menemukan sebuah
rumus untuk memecahkan kesulitan tersebut, dengan mengorbankan logika.
Sebagai
lawan confucianisme, para penganut Legalisme mempunyai landasan yang kokoh dalam
hal penyelenggaraan pemerintahan, yaitu shu,
bagi perilaku pemerintah. Confucius mengatakan bahwa ilmu tidak ada
harganya, kecuali jika pemiliknya dapt menggunakannya sebaik-baiknya dengan
perilaku yang benar untuk memerintah. Namun setelah negara-negara mempunyai
wilayah tertentu yang semakin luas serta terpusat dam kegiatan ekonomi mwnjadi
saemakin berliku-liku, maka penyelenggaraan pemerintahan semakin lama
memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang khusus. Para penganut Legalisme,
menginsyafi hal ini, dan itulah yang mungkin menjadi alasan pokoknya mengapa
pemerintah Cina terus dipengaruhi oleh Legalisme, jauh sesudah Legalisme
sebagai suatu filsafat yang berkembang dalam kenyataannnya tidak ada lagi.
- Penganut Eklektisisme pada Masa Dinasti Han
Pada
tahun 213 sebelum masehi di bawah pemerintahan dinasti Ch’in yang berusia
singkat, hampir semua kepustakaan filsafat dinyatakan terlarang, dan
perbincangan mengenai kitab-kitab klasik yang sangat digemari di kalangan
penganut Confucianisme dilarang. Legalisme naik daun. Beberapa tahun kemudian,
setelah didirikannya dinasti Han, keadaan mengenai filsafat mengalami
perubahann. Ketika tiba pada masa berkuasanya kaisar Wu, yang memerintah tahun
140 sampai tahun 87 sebelum masehi, mereka yang mempelajari tulisan-tulisan
penganut Legalisme dihalangi menduduki jabatan resmi, sebuah universitas
kemaharajaan didirikan untuk mempelajarai kitab-kitab klasik Confucianisme, dan
diadakan langkah-langkah yang banyak jumlahnya untuk mengembangkan sistem
ujian. Semenjak masa itu banyak pejabat Cina lazimnya diangkat berdasar hasil
ujian mengenai kitab-kitab klasik Confucianisme.
Sifat
kekolotan Confucianisme, dan kedudukannya di Cina selama dua ribu tahun
terakhir dipengaruhi secara mendalam oleh apa yang dinamakan kejayaannya pada
masa dinasti Han. Banyak pendapat mengatakan bahwa Kaisar Wu menerima
Confucianisme sebagai filsafat pemerintahannya, karena Confucianisme
mengutamaka kepatuhan para kaula kepada penguasa, dan memperbesar kekuasaan
serta martabat kaisar serta kelas yang berkuasa. Pendapat ini tidak bisa
dipastikan betul atau salah. Namun kita harus mempertimbangkan keadaan dari
segi aspek ekonomi dan politik, karena hal ini merupakan bagian penting dari
bahan keterangannya. Perhatian yang khusus perlu ditaruh pada faktor manusianya
yaitu para penguasanya, para sarjananya, dan
rakyat jelatanya.
Berdasarkan
kenyataan yang terjadi mengenai Kaisar Wu bahwasanya ia sudah menjadi penganut
Confucianisme ketika ia pertama kalinya mewarisi tayhat sebagai seorang anak
laki-laki berusia limabelas tahun, namun tahapan ini dengan cepat dilewatinya;
selama masa hidupnya sebagai orang dewasa, dalam kenyataannya ia penganut
Legalisme, yang dapat secara seksama berpura-pura sebagai penganut
Confucianisme demi kebajikan. Para penasihat yang sebenarnya menentukan
perencanaan kebajikan-kebajikan pemerintahan jelas-jelas bersikap Legalistik
dan menolak Confucianisme.
Ketika
pada masa kaisar Wu selama beberapa waktu sudah menjadi kebiasaan bagi para
sarjana yang memperoleh rekomendasi dari daerah-daerah asal mereka, datang ke
istana guna diuji oleh maharaja. Seorang penganut Confucianisme termasyhur
yaitu Tung Chung-shu menempuh ujian semacam itu pada awal pemerintahan Wu.
Peserta lain yang mengikuti ujian yaitu Kung-Sun Hung. Ia pernah menjadi
seorang sipir dan ini yang menyebabkannya tertarik pada Legalisme. Karena
dipecat, akhirnya ia menjadi penggembala babi dan semasa hidupnya kemudia
mempelajari salah sati kitab klasik Confucianisme. Jawaban soal yang
diberikannya, meskipun pada permukaan bersifat Confucianisme seperti
diisyaratkan, namun dalam kenyataannya jelas-jelas bersifat Legalisme. Ia
mengatakan bahwa kaisar harus dengan bersemangat memaklumkan UU dan menggunakan
Shu, metode-metode. Selanjutnya
kaisar harus memegang monopoli atas kendali-kendali yang menguasai hidup dan
mati dan mengendalikan pemerintahan secara pribadi. Para sarjana yang menilai
sangat marah terhapa pekerjaan itu dna memberikan nilai terendah untuknya.
Ketika hasil-hasil itu sampai kepada kaisar, ia menaikkannya dan memberi niali
tertinggi dan menjadikannya perdana mentri hingga ia meninggal. Kaisar memberi
ganjaran sangat banyak terhadap orang-rang yang di atas kertas menganut
Confucianisme yang mengelu-elukannya dan menghukum mereka yang mengecamnya.
Sikap
eklektik yang dipunyai para penganut Confucianisme tidak sedikit. Dalam
kenyataannya, sukar untuk menemukan apa yang dapat dinamakan penganut
Confucianisme yang murni pada masa dinasti Han. Salah satu kitab Confucianisme
terpenting yaotu Catatan-Catatan Mengenai
Ketentuan Upacara , dihimpun sejak abad 1 SM dari dokumen yang memiliki
usia berbeda. Meskipun begitu kitab ini banyak mengandung teori-teori yang
samar-samar bercorak Legalisme serta Taoisme, dan memasukkan juga teori-teori
tentang yin dan yang dan kelima macam daya.
- Buddhisme dan Neo-Confucianisme
Timbulnya
Buddhisme dilatar belakangi oleh adanya Hinduisme. Tradisi Buddhisme menetapkan
tahun 623 sebelum masehi sebagai tahun kelahiran sang buddha, namun kebanyakn
sarjana berpendapat bahwa ia hidup antara tahun 560 sampai kira-kira tahun 480
sebelum masehi. Buddha atau dikenal Gautama merupakan putera seorang penguasa
suatu negara kecil di India utara. Menikah dan memiliki seorang anak. Namun
pada usia dua puluh sembilan tahun pergi meninggalkan rumah untuk mengembara
dalam hal keagamaan yang merupakan suatu tradisi. Akhirnya pada suatu waktu ia
duduk di bawah pohon pencerahan yang terkenal itu, ia menyelesaikan semedi dan
akhir samadi tersebut ia dapat berkata: “kelahiran kembali telah berakhir… aku
tidak lagi mempunyai urusan dengan dunia”. Dan ia telah menjadi sang buddha
yaitu yang mendapat pencerahan.
Sering
dikemukakan bahwa ada kemiripan antara gagasan Taoisme yang terdapat dalam kitab Lao Tzu dan Chuang
Tzu, dengan gagasan yang terkandung dalam sejumlah ahsil karya India. Orang
dapat mengacu kalimat-kalimat dalam
kitab-kitab Buddhisme yang menggambarkan kemiripan-kemiripan besar dengan
gagasan yang terkandung dalam kitab Lao Tzu dan Chuang tzu. Namun dapat
diketahui bahwa Buddhisme dikenal di Cina kira-kira nenjelang awal Tarikh
Masehi.
Selama
pemerintahan dinasti Sung, yang berlangsung antara tahun 960 sampai tahun 1279,
timbul pemikiran Neo-Confucianisme. Benih-benihnya sudah dapat dirunut sampai
masa dinasti T’ang. Neo-Confucianisme berupaya menunjukkan bahwa Confucianisme
dapat memberikan apa saja yang diinginkan yang dapat diberikan oleh Buddhisme,
bahkan lebih dari itu. Hal khusus yang diutamakan yaitu: mengimbangi kosmologi
Buddhisme, memberi penjelasan tentan dunia dan etika Confucianisme secara
metafisik, dan akhirnya seraya mengerjakan hal tersebut, memberikan pembenaran
atas kegiatan sosial dan politik serta mempertahankan hak-hak manusia untuk
memperoleh kebahagiaan dengan melakukan usaha-usaha yang biasa dalam
perikehidupan yang wajar.
Kesimpulan
Hsun Tzu
merupakan penganut Confucianisme namun memiliki pandangan yang banyak berbeda
dengan Confucius terutama dengan ajaran-ajaran lainnya. Hsun Tzu memiliki
pandangan yang sangat berbeda dengan Mencius terutama dalam hal pandangan
mengenai kodrat manusia. Dia berpendapat bahwa kodrat manusia buruk sementara
Mencius beranggapan sebaliknya. Namun pemikiran Hsun Tzu yang sama dengan
Confucianisme yaitu dalam hal pemerintahan
Penganut Legalisme merupakan
penganut yang beranggapan bahwa ajaran Confucianisme merupakana ajaran yang
telah lapuk oleh karena itu mereka menggantinya dengan ajaran-ajaran yang
memiliki metode-metode baru. Meskipun begitu ada beberapa hal yang tidak
sepenuhnya baru yakni dalam hal kekuasaan mutlak bagi penguasa.
Para penganut ajaran Confucianisme
tidak sedikit menganut sikap eklektik. Banyak para penganut Confucianisme yang
tidak murni sepenuhnya menjalankan dan menganut ajaran tersebut. Ajaran ini
telah banyak di nodai dengan ajaran Legalisme maupun Taoisme. Hal itu terjadi
terutama pada masa Dinasti Han ketika Kaisar Wu menjabat sebagai penguasa.
Buddhisme tidak dapat dipastikan
kapan masuknya ke Cina namun dapat diperkirakan sekitar awal Tarikh Masehi.
Ajaran ini sangat berkembang pesat di China, meskipun awalnya tidak terlalu
mendapat perhatian. Ajaran Neo-Confucianisme menekankan hal khusus keutamaannya
adalah bahwa Neo-Confucianisme dapat memberikan apa saja yang diberikan oleh
ajaran Buddhisme, bahkan dapat memberikan lebih.
Referensi
Creel, H.G.
1989. AlamPikiranCina. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
No comments:
Post a Comment