Kedudukan
Ulil Amri (Imam/Pemimpin) Dalam Sistem Negara Islam
Dalam
bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap
perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang
prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan
kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai
titik keberhasilan. Dan sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang
yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun
dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa
nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan,
bangunan jama'ah akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran
(Qs. 17 : 16)
"Dan jika Kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah (kaum elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan
tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah
berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri
itu sehancur-hancurnya." (Qs. 17 : 16)
Oleh karena itulah, Islam
memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam
terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur
(Qs. 34 : 15), yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya
menerapkan prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam
dalam sebuah jama'ah atau kelompok, sampai-sampai Rasulullah bersabda yang
maksudnya:
"Apabila kamu mengadakan perjalanan secara
berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin perjalanan)."
Demikian juga jika kita lihat
dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam
kehidupan ummat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat,
maka para shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang
khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga
hari. Para shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin
pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan)
di kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar
sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.
Pemerintah dalam Islam disebut
juga khalifah. Yakni khalifah Allah. Artinya, pengganti Allah atau wakil Allah
di bumi. Mereka bertanggung jawab terhadap rakyat untuk menjalankan kerja-kerja
yang Allah perintahkan. Yakni berkhidmat kepada rakyat, memimpin, mendidik,
mengajar, mengelola, mengurus, menyelesaikan masalah rakyat, membangun kemajuan
negara dan masyarakat. Allah menginginkan semua hamba-hambaNya dipimpin
dan diurus dengan baik agar semuanya mendapat pelayanan dan hak-hak yang
sepatutnya mereka dapat dari Allah SWT di dunia ini. Untuk itu, segala harta
benda dan khazanah perbendaharaan negara diserahkan ke dalam tangan mereka.
Supaya dibagikan dengan adil dan disediakan segala keperluan rakyat dan negara.
Hingga negara berada dalam keadaan aman, makmur dan mendapat keampunan Allah.
Menurut umat Islam ahli hukum
dan adil merupakan syarat dan rukun asli bagi seorang pemimpin, sementara
syarat-syarat lain hanya sebagai pelengkap seperti ilmu tentang malaikat dan
sifat-sifat Allah. Dua ilmu ini tidak punya hubungan dengan masalah
kepemimpinan. Begitu juga bila seseorang menguasai ilmu fisika dan berhasil
menyingkap seluruh potensi yang dimiliki alam atau seseorang yang menguasai
musik tidak serta merta membuatnya layak memimpin. Penguasaan terhadap hal-hal
demikian tidak membuatnya lebih didahulukan dalam urusan kepemimpinan dari
orang yang mengetahui undang-undang Islam sekaligus adil.
Karena pemerintah adalah
pengganti Allah dalam menjalankan keadilan di kalangan manusia, maka Allah SWT
telah memerintahkan hamba-hambaNya agar taat pada pemerintah sesudah ketaatan
pada Allah dan Rasul. Inilah firmanNya:
Wahai
mereka yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan yang mempunyai kuasa di
kalangan kamu (kaum muslimin). (An Nisa' 59)
Ketaatan kepada ulil amri yang
adil, yang benar-benar mewakili atau mengganti Allah mengurus bumi, adalah
penting supaya hukum-hukum Allah yang hendak dijalankan dalam negara dapat
berjalan dengan baik. Dan kehidupan hamba-hambaNya dapat diurus dengan baik.
Terhadap rakyat yang memiliki watak keras kepala dan melawan perintah,
pemerintah dibenarkan menghukum mereka untuk mengkawal kebaikan dalam masyarakat.
Dengan syarat kesalahan itu betul-betul kesalahan yang diiktiraf oleh syariat.
Pemerintah tidak boleh membuat hukum dan undang-undang sendiri dengan tidak
menghiraukan undang-undang dan hukum Allah. Jika didapati pemerintah tidak
menghiraukan hukum Allah, maka akan jatuh kepada hukum baik fasiq, zalim atau
kafir. FirmanNya:
"Barangsiapa yang tidak berhukum dengan
hukum Allah, maka mereka adalah orang fasiq." (Al Maidah: 47)
Kalau pemerintah sudah tidak
taat dengan Allah, maka dalam keadaan itu rakyat tidak lagi wajib taat pada
ulil amri (dalam perkara yang bertentangan dengan syariat). Rasulullah SAW
bersabda:
"Tiada ketaatan kepada seorang makhluk
dalam hal mendurhakai Allah. "
Karena di tangan mereka ada
kekuasaan, kekuatan dan kekayaan negara, maka para ulil amri itu bebas untuk
melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan atau kejahatan. Tergantung kepada beriman
atau tidaknya mereka. Pemerintah yang beriman akan berjaya menjadi penguasa
yang adil seperti yang Allah perintahkan. Tapi pemerintah yang tidak beriman atau
lemah imannya akan menyalahgunakan kuasa dan harta negara untuk kepentingan
nafsu mereka.
Pemerintah yang adil, yang
dapat melayani rakyatnya dengan baik, yang menjatuhkan hukuman dengan tepat dan
meletakkan rakyat pada posisi yang tepat, sehingga rakyat mendapat hak dan
keperluan yang cukup, adalah pemerintah yang telah menunaikan amanah dan
tanggung jawab dengan betul. Rasulullah SAW bersabda:
Sehari seorang raja yang bertindak adil,
lebih besar pahalanya daripada (seorang abid) beribadah 60 tahun. (Riwayat
Ahmad).
Jika kita
perhatikan teks al-Qur’an maupun al-Hadis secara teliti, mendalam, dan dengan
pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan
petunjuk -petunjuk yang jelas tentang kewajipan mendirikan negara Islam. Allah
swt berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian" (QS
an-Nisaa: 59)
Ulil amri di sini
berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan sekadar pemimpin rumah tangga
atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu
dicelahi idiom min (dari/bahagian) menjadi ulil minal amri, maka
artinya akan merujuk kepada pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit
(keluarga, organisasi, pengadilan, dll).
Sedangkan kewajipan pemimpin
tersebut untuk hanya menerapkan syariat Islam saja, tidak syariat yang lain,
ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad,
an-Nasai, dan Ibnu Majah yang berasal dari Ubadah bin ash-Shamit:
"Kami membaiat Rasulullah saw untuk
mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan
sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami
(lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang
pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau kalian melihat kekufuran yang
mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat
dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah’."
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa
pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi
permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada
urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat
dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya,
bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi
sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan
pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).
Pemerintahan
islam merupakan sebuah pemerintahan di mana semua orang posisinya sama di
hadapan undang-undang. Karena undang-undang Islam adalah undang-undang ilahi.
Semua hadir di hadapan Allah, baik pemimpin atau yang dipimpin, baik Nabi, imam
maupun rakyat lainnya. Menurut umat Islam ahli hukum dan adil merupakan syarat
dan rukun asli bagi seorang pemimpin, sementara syarat-syarat lain hanya
sebagai pelengkap seperti ilmu tentang malaikat dan sifat-sifat Allah. Ketaatan
kepada ulil amri yang adil, yang benar-benar mewakili atau mengganti Allah mengurus
bumi, adalah penting supaya hukum-hukum Allah yang hendak dijalankan dalam
negara dapat berjalan dengan baik.
Referensi
Al-Qaradhawi,
Yusuf. 2004. Konsep Islam: Solusi Utama
Bagi Umat. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
http://www.akhirzaman.info/islam/146-khilafah/1427-perspektif-kepemimpinan-dalam-islam.html
No comments:
Post a Comment