Thursday, 8 March 2012

KEDUDUKAN ULIL AMRI (IMAM/PEMIMPIN) DALAM SISTEM NEGARA ISLAM

Kedudukan Ulil Amri (Imam/Pemimpin) Dalam Sistem Negara Islam
            Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jama'ah akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran (Qs. 17 : 16)

"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Qs. 17 : 16)
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama'ah atau kelompok, sampai-sampai Rasulullah bersabda yang maksudnya:
"Apabila kamu mengadakan perjalanan secara berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin perjalanan)."
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.
Pemerintah dalam Islam disebut juga khalifah. Yakni khalifah Allah. Artinya, pengganti Allah atau wakil Allah di bumi. Mereka bertanggung jawab terhadap rakyat untuk menjalankan kerja-kerja yang Allah perintahkan. Yakni berkhidmat kepada rakyat, memimpin, mendidik, mengajar, mengelola, mengurus, menyelesaikan masalah rakyat, membangun kemajuan negara dan masyarakat. Allah menginginkan semua hamba-hambaNya  dipimpin dan diurus dengan baik agar semuanya mendapat pelayanan dan hak-hak yang sepatutnya mereka dapat dari Allah SWT di dunia ini. Untuk itu, segala harta benda dan khazanah perbendaharaan negara diserahkan ke dalam tangan mereka. Supaya dibagikan dengan adil dan disediakan segala keperluan rakyat dan negara. Hingga negara berada dalam keadaan aman, makmur dan mendapat keampunan Allah.
Menurut umat Islam ahli hukum dan adil merupakan syarat dan rukun asli bagi seorang pemimpin, sementara syarat-syarat lain hanya sebagai pelengkap seperti ilmu tentang malaikat dan sifat-sifat Allah. Dua ilmu ini tidak punya hubungan dengan masalah kepemimpinan. Begitu juga bila seseorang menguasai ilmu fisika dan berhasil menyingkap seluruh potensi yang dimiliki alam atau seseorang yang menguasai musik tidak serta merta membuatnya layak memimpin. Penguasaan terhadap hal-hal demikian tidak membuatnya lebih didahulukan dalam urusan kepemimpinan dari orang yang mengetahui undang-undang Islam sekaligus adil.
Karena pemerintah adalah pengganti Allah dalam menjalankan keadilan di kalangan manusia, maka Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya agar taat pada pemerintah sesudah ketaatan pada Allah dan Rasul. Inilah firmanNya:
Wahai mereka yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan yang mempunyai kuasa di kalangan kamu (kaum muslimin). (An Nisa' 59)
Ketaatan kepada ulil amri yang adil, yang benar-benar mewakili atau mengganti Allah mengurus bumi, adalah penting supaya hukum-hukum Allah yang hendak dijalankan dalam negara dapat berjalan dengan baik. Dan kehidupan hamba-hambaNya dapat diurus dengan baik. Terhadap rakyat yang memiliki watak keras kepala dan melawan perintah,  pemerintah dibenarkan menghukum mereka untuk mengkawal kebaikan dalam masyarakat. Dengan syarat kesalahan itu betul-betul kesalahan yang diiktiraf oleh syariat. Pemerintah tidak boleh membuat hukum dan undang-undang sendiri dengan tidak menghiraukan undang-undang dan hukum Allah. Jika didapati pemerintah tidak menghiraukan hukum Allah, maka akan jatuh kepada hukum baik fasiq, zalim atau kafir. FirmanNya:
"Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka adalah orang fasiq." (Al Maidah: 47)
Kalau pemerintah sudah tidak taat dengan Allah, maka dalam keadaan itu rakyat tidak lagi wajib taat pada ulil amri (dalam perkara yang bertentangan dengan syariat). Rasulullah SAW bersabda:
"Tiada ketaatan kepada seorang makhluk dalam hal mendurhakai Allah. "
Karena di tangan mereka ada kekuasaan, kekuatan dan kekayaan negara, maka para ulil amri itu bebas untuk melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan atau kejahatan. Tergantung kepada beriman atau tidaknya mereka. Pemerintah yang beriman akan berjaya menjadi penguasa yang adil seperti yang Allah perintahkan. Tapi pemerintah yang tidak beriman atau lemah imannya akan menyalahgunakan kuasa dan harta negara untuk kepentingan nafsu mereka.
Pemerintah yang adil, yang dapat melayani rakyatnya dengan baik, yang menjatuhkan hukuman dengan tepat dan meletakkan rakyat pada posisi yang tepat, sehingga rakyat mendapat hak dan keperluan yang cukup, adalah pemerintah yang telah menunaikan amanah dan tanggung jawab dengan betul. Rasulullah SAW bersabda:
Sehari seorang raja yang bertindak adil, lebih besar pahalanya daripada (seorang abid) beribadah 60 tahun. (Riwayat Ahmad).
            Jika kita perhatikan teks al-Qur’an maupun al-Hadis secara teliti, mendalam, dan dengan pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan petunjuk -petunjuk yang jelas tentang kewajipan mendirikan negara Islam. Allah swt berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian" (QS an-Nisaa: 59)
Ulil amri di sini berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan sekadar pemimpin rumah tangga atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu dicelahi idiom min (dari/bahagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan merujuk kepada pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi, pengadilan, dll).
Sedangkan kewajipan pemimpin tersebut untuk hanya menerapkan syariat Islam saja, tidak syariat yang lain, ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah yang berasal dari Ubadah bin ash-Shamit:
"Kami membaiat Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah’."
Kesimpulan
            Dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya, bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).
            Pemerintahan islam merupakan sebuah pemerintahan di mana semua orang posisinya sama di hadapan undang-undang. Karena undang-undang Islam adalah undang-undang ilahi. Semua hadir di hadapan Allah, baik pemimpin atau yang dipimpin, baik Nabi, imam maupun rakyat lainnya. Menurut umat Islam ahli hukum dan adil merupakan syarat dan rukun asli bagi seorang pemimpin, sementara syarat-syarat lain hanya sebagai pelengkap seperti ilmu tentang malaikat dan sifat-sifat Allah. Ketaatan kepada ulil amri yang adil, yang benar-benar mewakili atau mengganti Allah mengurus bumi, adalah penting supaya hukum-hukum Allah yang hendak dijalankan dalam negara dapat berjalan dengan baik.
           
Referensi
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2004. Konsep Islam: Solusi Utama Bagi Umat. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
http://www.akhirzaman.info/islam/146-khilafah/1427-perspektif-kepemimpinan-dalam-islam.html

No comments:

Post a Comment