Sebagaimana yang
telah diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW mendirikan negara Madinah. Dan dalam
islam negara adalah penting karena digunakan sebagai alat untuk menerapkan
wahyu, mencapai ketentraman, kesejahteraan sebagaimana tujuan islam. Namun
negara bukanlah tujuan Islam. Dalam menjalankan pemerintahannya Nabi tidak
memberikan ketentuan atau peraturan yang baku dan tidak mutlak harus diikuti
oleh umatnya. Oleh karena itu beliau tidak menunjuk siapa pengganti beliau
selanjutnya karena hal ini bersifat teknis.
Dari perkembangan politik pada awal sejarah islam dapat disimpulkan ada
empat aliran yang timbul, yaitu Sunni, Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Pada
saat zaman Nabi Muhammad SAW kelompok Sunni merupakan mayoritas dan kelompok
minoritas adalah kelompok Syi’ah.
Sunni
berpikiran Pro pemerintah yang berkuasa (status
quo). Mereka cenderung untuk membela dan mempertahankan kekuasaan. Dan
terkadang pemikiran mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang
memerintah. Pada umumnya, ulama Sunni melarang rakyat melakukan pemberontokan
terhadap penguasa meskipun zalim. Mereka berendapat bahwa penguasa yang zalim
lebih baik daripada tidak ada penguasa.
Kalangan
Sunni biasanya menganggap bahwa kekuasaan kepala negara (khalifah)berasal dari Tuhan. Dalam sejarah islam, yang pertama kali
memperkenalkan dirinya sebagai khalifah (wakil) Tuhan di Bumi-nya adalah
khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari Bani Abbas. Pernyataan inu menunjukkan
bahwa Khalifah memerintah berdasarkan mandat Tuhan. Kekuasaannya adalah suci
dan mutlak serta harus dipatuhi. Khalifah adalah bayang-bayang Allah di dunia (the shadow of god on earth). Ibn Abi
Rabi’, Al-ghazali, dan juga Ibn Taimiyah memiliki pandanganyang sama mengenai
kekuasaan ini. Di sebuah ayat dalam al-quran dikatakn bahwa “wahai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di
antara kalian”. Berdasarkan ayat ini lah Ibn Abi Rabi’ mengatakan bahwa hal ini
merupakan penegasan Allah bahwa ia telah memberi keistimewaan kepada raja
dengan segala keutamaannya dan memperkokoh kedudukan mereka di Bumi-Nya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa sumber kekuasaan adalah Tuhan. Kemudian kekuasaaan
ini dilimpahkan-Nya hanya kepada sebagian kecil hamba-Nya. Oleh sebab itu,
kekuasaan kepala negara bersifat sakral (muqaddas)
dan umat harus mengikuti kepala
negara. Ibn taimiyah juga menyatakan bawa keberadaan kepala negar dibutuhkan
umat islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi
juga untuk menjamin berjalannya hukum-hukum Tuhan.
Namun
oleh beberapa pemikir Sunni, konsep khalifah (kepala negara) sebagai khadim al ummah (pelayan umat) diubahh
menjadi zhill Allah (bayang-bayang
Allah) yang memiliki kekuasaan besar dan luas. Pemikiran ini tentu saja tidak
terlepas dari keentingan politik para penguasa untuk mempertahankan
supremasinya terhadap rakyat. Dengan demikian, para penguasa dapat aman dengan
kedudukannya. Di samping itu, pengaruh-pengaruh kebudayaan asing yang
berkembang ketika itu, terutama dari Persia, yang menempatkan penguasa sebagai
wakil Tuhan, sedikit banyaknya juga memberi andil terhadap berkembnagnya konsep
tersebut di dunia Islam Sunni. Ini barangkali dapat dilacak dari besarnya peran
orang-orang Persia dalam pemerintahan Daulat Bani Abbas.
Ciri
lain pemikiran politik Sunni adalah penekanna mereka terhadap suku Quraisy
sebagai syarat kepala negara. Pandnagan mereka dilandasi pada hadis nabi yang
menyatakan bahwa imam-imam (pemimpin) umat islam harus berasal dari suku
Quraisy. Ibn Khaldun berpendapat bahwa syarat Quraisy tersebut bukanlah “harga
mati” yang harus dilaksanakan dalam setiap masa. Menurutnya nabi menjelaskan
persayatan suku Quraisy untuk menjadi kepala negara adalah karena pada masa itu
suku Quraisy memiliki wibawa dan kekuatan yang di segani di Jaziran Arab.
- Pemikiran Syi’ah
Syi’ah
lahir akibat adanya kelompok mayoritas
Sunni yang berusaha unutk mengambil alih politik Islam. Syi’ah berpendapat
bahwa yang seharusnya memegang kekuasaan sesuadah Nabi wafat adalah Ali ibn Abi
Thalib, suami Fathimah binti Rasululllah dan keturunannya sebagaimana dalam
hadis Ghadir Khumm. Selain itu golongan syi’ah juga menyampaikan hadis lain
untuk menguatkan adanya wasiat nabi tentanh kekhalifahan Ali. Pada perkembangan
selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte.
Peerpecahan ini disebabkan antara lain perbedaaan pandangan mereka tentang
sifat imam apakah ma’shum (terpelihara
dari dosa) atau tidak, dan perbedaan di dalam menentukan pengganti imam. Dari
sekian banyaknya jumlahnya, sekte-sekte Syi’ah dapat dikelompokkan ke dalam
aliran yang moderat, ekstrem dan di antara kedua kutub tersebut. kelompok yang
moderat cenderung memandang Ali sebagai “manusia biasa”. Mereka juga bisa
menerima kekhalifahan abu bakr dan ‘Umar. Sedangkan kelompok ekstrem
memperlakukan ‘Ali sebagai superman. Mereka
menempatkan Ali sebagai penjelmaan Tuhan. Sementara kelompok ini ada yang
menganggap Alis sebagai pewaris sah jabatan khalifah (imam) danmenuduhh Abu
Bakr dan ‘Umar telah merebutnya dari atngan Ali. Akan tetapi mereka
memperlakukan Ali tidak seperti seorang Nabi yang lebioh utama dari nabi
Muhammad sendiri, apalagi penjelmaan Tuhan.
Terdapat
tiga sekte yang besar dan semuanya berpengaruh dalam mazhab Zyi’ah hingga
sekarang, yaitu Zaidiyah, Isma’iliyah (sab’iyah) dan imamiyah (isna
‘Asyariyah). Menurut Zaidiyah, nabi tidak mengatakan bahwa Ali adalah orang
yang akan menggantikan beliau, apalagi mewasiatkannya. Beliau hanya menyebutkan
sifat-sifat dan kualifikasi calon pengganti beliau saja, yaitu takwa, berilmu,
zahid, berani dan pemurah. ‘Ali berhak menduduki jabatan tersebut karena semua
sifat ini terhimpun dalam kepribadian Ali. Berdasarkan pendapat ini, mereka
dapat menerima kepemimpinan Khalifah Abu Bakr dan ‘Umar. Dalam masalah sifat
imam, sekte Zaidiyah berpendapat bahwa imam tidak bersifat ma’shum (terbebas dari dosa dan kesalahan). Sedangkan bagi
Imamiyah, kema’shuman imam berarti
terpeliharanya imam dari perbuatan dosa dan kesalahan. Menurut mereka, sebagai
pengganti nabi, sorang imam tidak hanya mengatur masyarakat dengan adil, tetapi
juga harus mampu menafsirkan syari’at dengan pengertiannya yang tersirat. Untuk
itu, imam harus ditunjuk dari langit ketetapan nash yang berupa wasiat
nabi-Nya. Kecuali sekte Zaidiyah, pengikut-pengikut Syi’ah juga meyakini
doktrin kegaiban imam. Sedangkan sekte imamiyah berpendapat bahwa imam mereka
yang mustatir atau gaib (bersembunyi)
Adalah Muhammad al-mahdi al muntazhar.
Secara
sosio politiknya, berkembangnya doktrin Syi’ah ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Pertama, imam-imam Syi’ah, selain ‘Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah
memegang kekuasaan politik. Kedua keyataan bahwa sebagian pengikut Syi’ah
berasal dari Pesia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah.
Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan
politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al-mahdi al-munthazar yang akan
melepaskan mereka dari penderitaan.
3. Pemikiran Khawarij
Khawarij adalah
kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan ‘ali setelah Arbitrase
(tahkim) yang mengakhiri perseteruan dankontak senjata antara’Ali dan Mu’awiyah
di Siffin. Mereka merasa kecewa atas hasil arbitrase yang merugikan Ali. Mereka
membenci ‘Ali karena mau berdamai dengan pemberontak Mu’awiyah dan lebih
membenci Mu’awiyah yang mencurangi ‘Ali. Berbeda dengan kelompok sunni dan
Syi’ah, mereka tidak mengakui hak-hak istimewa orang atau kelompok tertentu
untuk menduduki jabatan khalifah. Menurut mereka, siapa saja berhak menduduki
jabatan khalifah kalau mereka mampu. Pengikut Khawarij berpendapat bahwa
kekhalifahan bukanlah kewajiban yang berdasarkan Syar’i (agama), sebagaimana
pandangan al-ghazali dan al-mawardi serta Syi’ah. Mereka tidak menganggap bahwa
kepala negara sebagai orang yang sempurna. Ia adalah manusia biasa saja juga
yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Karenanya, mereka menggunakan
mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugs-tugas pemerintahan. Kalau
ternyata kepalan negara menyimpang dari semestinya, dia dapat diberhentikan
atau dibunuh.
4.
Pemikiran Mu’tazilah
Kelompok
Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat
yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali.
Seprti diketahui, setelah ‘Usman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah.
Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. Penamaan
kelompok ini baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan pendapat antara washil
ibn Atha’ dengan gurunya Hasan al-bisri tentang penilaian terhadaporang yang
berdosa besar, apakah masih layak dikatkan mukmin atau tidak. Dalam masalah ini
washil berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak kafir,
tetapi berada diantara posisi keduanya. Pendapat ini dikenal dengan (al-manzilah bain al-manzilatain). Pendapat
washil ini kemudian menjadi salah satu dari lima ajaran pokok Mu’tazilah.
Inilah yang dianggap oleh kalangan ahli sebagai awal lahirnya kelompok
Mu’tazilah.
Sebagaimana pendapat Khawarij, Abd
Al-Jabbar juga berpandangan bahwa pembentukan lembaga Khilafah bukanlah
kewajiban yang berdasarkan Syar’I, melainkan pertimbangan akal semata. Sebagai
aliran rasional, Mu’tazilah berpendapat bahwa dengan kemampuan akalnya, manusia
dapat mengetahui empat hal: yaitu Tuhan, kewajiban mengethau Tuhan, baik dan
jahat serta kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Meskipun
berdasarkan akal, kalau umat islam telah membentuk suatu negara atau
pemerintahan, maka adalah kewajiban umat Islam untuk mematuhi dan melaksanakan
segala konsekuensinya. Sesuai dengan pandangannya tentang pertimbangan akal
untuk membentuk pemerintahan, ‘Abd al-jabbar menempatkan kepala negara pada
posisi yang sama denganumat islam lainnya. Menurutnya kepala negara bukanlah
sosok yang luar biasa sebagaimana pandangan kelompok Syi’ah dan Sunni. Namun
demikian Abd al-jabbar mensyaratkan kepala negara yang akan dipilih harus:
merdeka, mempunyai kekuatan akal dan nalar yang sehat dan lebih dari yang
lainnya, menganut doktrin al-adl wa al-tawhid, dan bersifat wara’.
Kesimpulan
Golongan Sunni
merupakan golongan yang pro pemerintah. Pendapat pemerintah mengenai Khalifah
adalah bahwa khalifah bukan merupakan pelayan umat melainkan bayang-bayang
Allah. Mereka mengatakan bahwa kekuasaan khalifah berasal dari Tuhan. Oleh
karena itu kepala negara adalah bersifat mutlak dan suci oleh karena itu mereka
harus mematuhinya. Sementara itu golongan Syi’ah memiliki tiga sekte yang
mendominasi pemikirannya. Yaitu sekte Zaidiyah yang berpendapat bahw imam tidak
bersifat ma’shum (terbebas dari dosa
dan kesalahan). Sedangkan bagi Imamiyah, kema’shuman
imam berarti terpeliharanya imam dari perbuatan dosa dan kesalahan. Dan
Isma’iliyah berpendapat bahwa imam bersifat ma’shum
artinya semua perbuatannya tidak mungkin salah.
Sangat bebeda dengan pemikiran Sunni
dan Syi’ah, pemikiran Khawarij tidak mengakui hak-hak istimewa orang atau
kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah. Menurut mereka, siapa saja
berhak menduduki jabatan khalifah kalau mereka mampu. Dan terakhir pemikiran
Mu’tazilah yang juga berbeda dengan pemikiran lain namun beberapa memiliki
persamaan dengan pemikiran Khawarij. Sebagaimana pendapat Khawarij, Abd
Al-Jabbar juga berpandangan bahwa pembentukan lembaga Khilafah bukanlah
kewajiban yang berdasarkan Syar’I, melainkan pertimbangan akal semata. Abd
al-jabbar mensyaratkan kepala negara yang akan dipilih harus: merdeka,
mempunyai kekuatan akal dan nalar yang sehat dan lebih dari yang lainnya,
menganut doktrin al-adl wa al-tawhid, dan bersifat wara’.
Referensi
Iqbal,
Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah:
Kontektualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
No comments:
Post a Comment