Konsep
Kekuasaan Dalam Pengaruh Hinduisme Terhadap Negara
Dalam
sejarah peradaban Barat, jaman Yunani Kuno dianggap sebagai babak awal terhadap
kajian-kajian tentang negara. Sebab pada jaman Yunani Kuno (sekitar 500 SM)
itulah mulai muncul pemikiran-pemikiran tentang negara oleh para filofof
seperti Plato dan Aristoteles. Namun setelah runtuhnya peradaban Yunani dan
Romawi, dunia Barat memasuki abad kegelapan (dark ages) sekitar abad ke 5,
dimana pemikiran tentang negara didominasi oleh gagasan Kristiani.
Sementara
di dunia Timur tepatnya di India, dalam arthasastra yang ditulis kira-kira
321-300 SM oleh Kautilya, Perdana Menteri kerajaan Chandragupta Maurya juga
telah mengemukakan pemikirannya tentang negara. Dalam bukunya itu, ia
membentangkan teori tentang “ikan besar memakan ikan kecil” (fish law). Menurut
penulis, teori yang dikemukakan Kautilya ini dapat mewakili pemikiran Hindu
tentang negara. Berdasarkan teori yang dikemukakan Kautilya, dapat dipahami
bahwa alasan adanya negara adalah untuk melindungi kelompok yang lemah dari
ancaman kelompok yang lebih kuat. Negara diperlukan untuk mencegah terjadinya
hukum rimba, dimana kelompok yang kuat menindas kelompok yang lemah. Dalam
konteks ini pemikiran Hindu tentang negara bersifat “struktur-fungsional”.
Artinya, eksistensi negara harus mampu memberikan perlindungan atas seluruh
kehidupan sosial (ekonomi, politik, budaya dll) warga negaranya, terlepas dari
latar belakang masyarakat yang ikut bergabung ke dalam negara tersebut.
Berdasarkan
teori Kautilya, dapat diartikan pula tanpa eksistensi negara—dalam bentuk
kongkritnya adalah pemerintah--akan menimbulkan kekacauan atau anarki akibat
tiadanya otoritas yang bertindak sebagai penengah bila terjadi pertentangan
antar kelompok dalam masyarakat. Pendek kata, dalam pandangan Hindu, keberadaan
negara merupakan syarat penting bagi kelangsungan hidup bermasyarakat.
Di
Barat, pandangan tentang eksistensi negara baru muncul kembali melalui
pemikiran-pemikiran Thomas Hobbes sekitar awal abad ke 17 setelah peradaban
Barat hampir 1000 tahun mengalami masa kegelapan (dark ages) akibat dominasi
paham teokrasi yang dipengaruhi oleh doktrin Kristiani. Hal ini disebabkan karena
ilmu pengetahuan tidak berkembang. Konteks sejarah kelahiran pemikiran Hobbes
ini karena di Eropa saat itu dilanda perang antar kelompok yang berkecamuk
tiada hentinya, tak ubahnya seperti anarki sosial. Dalam karyanya
Leviathan—mahluk laut yang besar dan menakutkan—pada intinya Hobbes
membayangkan adanya sebuah penguasa politik yang mampu menertibkan kekacauan
sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Sebagaimana
diuraikan diatas, fungsi pokok negara dalam perspektif Hindu adalah untuk
melindungi seluruh warga negara terutama untuk mencegah kesewenang-wenangan
dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Untuk memperjelas
pandangan Hindu tentang negara ini, ada baiknya diberikan sedikit perbandingan
dari beberapa ideologi dan fakta-fakta sejarah yang mendukung.
Teokrasi
adalah paham yang meyakini agama tertentu sebagai dasar untuk mengatur
kehidupan negara. Asumsinya, karena ajaran agama diwahyukan oleh Tuhan itu
baik, maka ia baik pula menjadi dasar untuk mengatur kehidupan negara. Namun
masalahnya, unsur-unsur masyarakat pembentuk negara itu bersifat majemuk.
Sekalipun dalam suatu negara dimana seluruh penduduknya menganut agama yang
sama, maka tak terhindarkan terjadinya perdebatan dalam menafsirkan
ajaran-ajaran agama tersebut. Dalam banyak kasus, di masing-masing agama
terdapat perbedaan bahkan pertentangan pamahaman tentang teokrasi ini. Kelompok
Islam politik di Indonesia misalnya, hingga hari ini juga belum menemukan
kesepakatan bulat tentang bagaimana operasionalisasi dari konsep syariat Islam
itu, meski sebagai tuntutan politik cukup eksplisit.
Disamping
itu, sejarah peradaban Barat (sekitar abad 5 – 15) yang mengadopsi teokrasi
menunjukkan terjadinya kontradiksi antara cita-cita dan kenyataan. Bentuk
kongkrit teokrasi di Eropa saat itu adalah kekuasaan negara tunduk pada
hukum-hukum gereja. Pemuka-pemuka agama telah berubah fungsi menjadi penguasa
politik. Setiap orang harus tunduk pada peraturan gereja dan tidak ada
kebenaran di luar gereja. Dalam prakteknya teokrasi menimbulkan banyak
penyimpangan terhadap nilai-nilai agama (Kristiani) oleh para pemuka agama itu
sendiri. Sebab itu, dalam sejarah peradaban Barat periode ini disebut dengan
masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu, negara tidak berfungsi melindungi
kehidupan warga negara. Kegagalan bangsa-bangsa Barat dalam menerapkan gagasan
teokrasi, merupakan bukti sejarah yang memperkuat alasan mengapa pandangan
teokrasi itu harus ditolak.
Liberalisme
adalah paham yang menekankan pentingnya hak-hak individu. Istilah liberalisme
yang digunakan disini berkonotasi liberalisme-kapitalis bukan
liberalisme-politik. Konteks kelahiran liberalisme merupakan reaksi atas
absolutisme kekuasaan oleh monarki-monarki di Barat. Pemikir utama liberalisme
adalah John Locke (1632-1704). Locke menyatakan, untuk membatasi kekuasaan
absolut, individu harus diberi hak-hak pribadi terutama menyangkut hak milik.
Namun
praktek liberalisme selanjutnya menimbulkan masalah baru yakni eksploitasi kaum
buruh oleh kaum borjuis di Barat sendiri sekitar abad 18-19. Perkembangan
selanjutnya, liberalisme meyakini mekanisme pasar bebas sebagai instrumen yang
paling efisien dan efektif dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. Paham
ini meyakini perlunya membatasi campur tangan negara dalam mengurus soal
kesejahteraan masyarakat. Menurut penganutnya, makin sedikit kebijakan yang
dibuat pemerintah akan makin baik.
Yang
patut dicermati dari pandangan ini adalah, liberalisme beranggapan entitas
kekuasaan itu hanya terletak pada sektor politik saja, padahal kenyataannya
entitas kekuasaan itu juga melekat pada sektor ekonomi. Liberalisme mengira
bahwa kesewenang-wenangan hanya mungkin timbul dari kekuasaan politik, padahal
pemilik modal dan mekanisme pasar bebas tanpa regulasi negara akan menimbulkan
kesewenang-wenangan yang setara. Maka bila liberalisme dipraktekkan
senyata-nyatanya niscaya negara akan terbatas kemampuannya untuk melindungi
warga negaranya yang lemah secara politik dan ekonomi. Dalam konteks ini, dapat
dimengerti mengapa para pendiri bangsa Indonesia menentang
liberalisme-kapitalis. Para founding fathers meyakini tiada demokrasi politik
tanpa demokrasi ekonomi. Setelah mendapat kritik tajam di Barat sendiri, konsep
negara liberalisme selanjutnya mengalami transformasi menjadi negara
kesejahteraan (welfare state). Negara bertanggung jawab terhadap hak-hak sosial
warga negara seperti kesehatan, pendidikan, pengangguran dan lain-lain.
Menurut
hemat penulis, Hindu kurang sependapat pandangan liberalisme-kapitalis yang
membatasi peran negara yang mengakibatkan negara tidak berkutik untuk
melindungi warga negaranya yang lemah. Kekuasaan negara yang berlebihan tentu
saja harus dibatasi untuk menghidari otoriterisme dan praktek korupsi. Namun
bukan berarti negara dikrangkeng hingga tak berdaya untuk melindungi rakyatnya
sendiri. Dalam kehidupan nyata, kuat lemahnya fungsi negara ini bersifat
dinamis karena dipengaruhi oleh berbagai interaksi kekuatan domestik maupun
internasional.
Sebagaimana
telah disinggung sedikit diatas bahwa praktek liberalisme di Eropa telah
menimbulkan penderitaan bagi kaum buruh, menjadi inspirasi bagi lahirnya
Marxisme sekitar awal abad ke 19. Antara marxisme dan komunisme terdapat
beberapa perbedaan. Sebab itu menggunakan kedua istilah itu untuk maksud yang
sama akan membingungkan. Membandingkan komunisme—bukan marxisme—disini
dilakukan karena operasionalisasi kongkrit tentang negara hanya dapat diamati
dalam rejim-rejim komunis.
Namun
usaha untuk mendekonstruksi konsep negara marxis penting dilakukan agar
memudahkan kita untuk melakukan kritik terhadap cita-cita dan praktek negara
komunis. Karl Marx berasumsi bahwa negara hanya alat bagi kaum borjuis untuk
mengeksploitasi kaum buruh. Sebab itu untuk menghilangkan penindasan oleh kaum
borjuis negara harus dihancurkan. Marx mencita-citakan suatu masyarakat tanpa
kelas (komunis), dimana alat-alat produksi menjadi milik kaum buruh yang
direbut melalui sebuah revolusi.
Kekeliruan
Marxisme karena Marx mengira dengan dihapuskannya negara, penderitaan kaum
buruh/manusia akan segera berakhir dengan terciptanya masyarakat tanpa kelas.
Nyatanya setelah revolusi Bolshevik 1917 usai, tesis Marx tentang masyarakat
tanpa kelas sama sekali tidak terbukti. Partai komunis bahkan menjelma menjadi
kelas baru yang menjalankan monopoli kekuasaan negara. Tragisnya lagi, dibawah
rejim komunis terjadi ribuan pembantaian atas warga negaranya sendiri. Ini
berarti secara fungsional negara telah gagal untuk melindungi hak hidup bagi
warga negaranya sendiri. Kemudian sejarah membuktikan rejim komunis
bertumbangan di Rusia dan Eropa Timur awal tahun 1990-an.
Kesimpulan
Eksistensi negara dalam pamikiran
Hindu menekankan fungsionalisasi dari negara itu—dalam bentuk kongkritnya
adalah pemerintah--agar mampu melindungi dan mengatur ketertiban masyarakat.
Ini berati Hindu mengakui pentingnya kedua entitas, negara dan masyarakat.
Pemikiran Hindu tentang negara ini memiliki relevansi dengan teori-teori
demokrasi yang meyakini pentingnya keberadaan negara dalam hubungannya dengan
masyarakat. Tiada demokrasi tanpa negara.
Menurut hemat penulis, pemikiran
Hindu ini memberikan pandangan negara yang relatif moderat sehingga mencegah
kita melompat-lompat dari perspektif ekstem “kanan” ke ekstrem “kiri”.
Liberalisme-kapitalis, melulu menekankan hak-hak individu dalam perkembangannya
“mempreteli” kekuasaan negara, sedangkan komunisme semata-mata memberikan
kewenangan mutlak pada negara untuk mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat
sehingga cenderung menjadi otoriter seperti penah dipraktekkan negara-negara
komunis. Boleh jadi kita sedang menuju suatu keadaan dimana negara memiliki
suatu derajat otonomi yang relative sifatnya. Sekalipun dalam kenyataan hidup
bernegara sering dijumpai penindasan oleh kelompok yang kuat terhadap yang
lemah, namun negara senantiasa dituntut untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan warga negara.
Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu
No comments:
Post a Comment