Thursday 8 March 2012

KETATANEGARAAN DALAM NEGARA ISLAM

Ketatanegaran dalam negara Islam memiliki berbagai macam sejarah dan cara-cara yang digunakan dalam pelaksanaannya. Namun hal ini tidak pernah terlepas dari tuntunan utamanya yaitu Al-Qur’an dan juga Hadits. Setiap periode kekuasaan islam memiliki corak dan cara pelaksanaannya negaranya masing-masing. Negara Islam hingga saat ini memiliki sejarah yang sangat luas dalam ketatanegaraannya, mulai dari ketatanegaraan islam pada masa Nabi Muhammad SAW, Al-Khulafa’ Al-Rasyidun hingga sampai pada zaman atau masa Turki Usmani.
Ketatanegaraan Dalam Negara Islam
  1. Praktik Kenegaraan Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dan Khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Selama 23 tahun karir kenabian Muhammada SAW., kedua dimensi ini ebrhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama. Muhammad SAW.menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan penekanan pada aspek kaidah dan ibadah.
Terhadap orang Yahudi, Nabi membangun persahabatan dan menghormati keberadaan merek. Karena, bagaimanapun, kaum Yahudi adalah penduduk Madinah juga yang telah tinggal sejak abad pertama dan kedua Masehi, jauh sebelum Nabi berhijrah ke sini. Apalagi, masyarakat Yahudi Madinah, sebelum kedatangan Nabi, mempunyai kelebihan ekonomi, kekuasaan politik dan intelektual. Kaum Yahudi diberi kebebasan untuk menjalankan agama mereka. Sebaliknya, mereka pun mengakui kepemimpinan Nabi Muhammad. Namun setelah melihat pengaruh Nabi yang begitu besar dan kedudukan umat islam yang semakin kuat, timbul sikap keras kepala dan pembangkangan suku-suku Yahudi. Satu demi satu suku Yahudi melakukan pelanggaran terhadap isi piagam Madinah. Mereka mengadaka teror-teror terhadap umat Islam, bahkan berusaha membunuh Nabi Muhammad. Kelompok Yahudi terakhir yang melakukan pengkhianatan yaitu Bani Quraizah bisa diselesaikan, dan praktis kekuatan Yahudi hancur, meskipun masih ada beberapa suku Yahudi lainnya yang masih setia pada piagam Madinah. Dalam suasanan yang lebih tenang, Nabi menjalankan roda pemerintahan sebagai kepalan negara dalam arti yang sesungguhnya. Beliau, dibantu oleh para sahabat, menerapkan politik dalam dan luar negeri.
 Dalam praktiknya, Nabi menjalankan pemerintahan yang tidak terpusat di tangan beliau. Untuk mengambil suatu keputusan politik, misalnya dalam beberapa kasus Nabi melakukan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat. Dalam menjalankan roda pemerintahannya Negara Madinah, nampaknya Nabi Muhammad tidak memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan Yudikatif. Dibawah wahyu Al-Qur’an, Muhammad menjalankan kekuasaan legislatif. Beliau menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah tersebut kepada masyarakat Madinah. Untuk permaslahan yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an, Muhammad sendiir yang mengaturnya. Muhammad menentukan sendiri hukum terhadap permasalahan yang tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Untuk mengadili pelanggaran ketertiban umum, Nabi membentuk lemabaga Hisbah. Lembaga ini antara lain bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan pedagang di pasar. Untuk pemerintahan di daerah beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai gubernur atau hakim. Dalam hubungan internasional, kebijakan politik yang ditempuh Muhammad adalah menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara sahabat. Muhammad juga mengangkat duta-duta ke negara-negara sahabat. Kebijaksanaan-kebijakasanan Nabi ini menegaskan bahwa beliau telah menjalankan perannya sebagai kepala negara. Semua yang dilakukan ini merupakan tugas-tugas seorang sebagai kepala negara dalam pengertian modern.
  1. Pemerintahan Pada Masa Al-Khurafa’Al-Rasyidun
1.      Masa Abu Bakr Al-Siddiq
Setelah terpilih menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakr menyampaikan pidato kenegaraan di mesjid Nabawi. Hal-hal penting yang dapat dicatat dari pidato tersebut adalah, pertama, pelantikan Abu Bakr dapat dikatakan sebagai wujud dari kontrak sosial antara pemimpin dan rakyatnya. Karenanya, Abu Bakr hanya menuntut kepatuhan dan kesetiaan umat Islam kepadanya, selama ia berjalan pada jalan yang benar. Kedua, karena itu, Abu Bakr meminta kepada segenap rakyatnya untuk berpartisipasi aktif melakukan kontrol sosial terhadap dirinya. Dalam hal ini Abuu Bakr memberikan dan menjamin kebebasan berpendapat kepada rakyatnya. Ketiga, tekad Abu Bakr untuk menegakkan keadilan dan HAM dengan melindungi orang-orang yang lemah dari kewenang-wenangan yang kuat. Keempat, seruan untuk membela negara (jihad) pada saat yang dibutuhkan. Kelima, perintah untuk tetap menjalankan shalat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh keberkahan dalam masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut sebenarnya merupakan penegasabn kembali terhadap garis kebijakan politik Nabi Muhammad sebelumnya. Jadi Abu Bakr tinggal melaksanakannya dan menyesuaikannya dengan tuntutan situasi dan masyarakat yang berkembang.
2.      Masa ‘Umar Ibn Al-Khathtab
Setelah dilantik menjadi kepala negara, ‘Umar segera melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Secara prinsip,’Umar melanjutkan garis kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakr. Namun karena permasalahan yang dihadapi ‘Umar semakin berkembang seiring dengan perluasan daerah Islam, ‘Umar melakukan berbagai kebijaksanaan ansipatif terhadap perkembangan dan tantangan yang dihadapi. Kebijaksanaan sebagai kepala negara meliputi pengembangan daerah kekuasaan Islam, pembenahan birokrasi pemerintah, peningkatan kesejahteraan rakyat, pembentukan negara reguler yang digaji oleh negara, pengembangan demokrasi dan kebijaksanaan lainnya.
3.      Masa Khalifah Usman Bin Affan
Pada dasarnya garis kebijakan yang akan dilakukan ‘Usman adalah mencoba mengacu pada garis kebijakan Khalifah Abu Bakr dan ‘Umar. Seperti halnya ‘Umar , ‘Usman juga melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam. ‘usman juga membuat kebijakan perluasaan masjid Al-Haram di Mekah dan Mesjid Nabawi di Madinah. Di samping itu, usman juga melakukan pembangunan fisik lainnya seperti perumahan penduduk, gedung peradilan, jalan-jalan, jembatan dan fasilitas umum lainnya.
4.      Masa Khalifah ‘Ali Ibn Abi Thalib
Pasca pembunuhan ‘Usman, suasana memang begitu kacau. Umata Islam terpecah menjadi beberapa kelompok. Hal pertama yang dilakukan Ali setelah diangkat menjadi Khalifah adalah memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat’Usman sebelumnya dan menarik kembali untuk negara tanah yang telah dibagi-bagikan ‘Usman kepada kerabatnya. Meskipun masa pemerintahan ‘Ali yang selama 6 tahun tidak sunyi dari pergolakan politik, ‘Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dna egaliter. S4elain kebijakan di atas ‘Ali juga mengirim surat kepada para gubernur dan pejabat darah lainnya untuk bijaksana dalam menjalankan tugasnya dan tidak mengecawakan rakyat. ‘Ali pun menyusun UU perpajakan. Kepada pejabatnya di daerah ‘Ali juga memerintahkan agar aib orang ditutupi dari pengetahuan orang lain. Untuk keamanan daerah,’Ali juga menyebar mata-mata (intel).
  1. Ketatanegaraan Pada Masa Bani Umaiyah
Struktur pemerintahan pusat pada masa ini terdiri dari lima departemen, yaitu Diwan al-jund (militer) Diwan al-kharaj (perpajakan dan keuangan), Diwan al-rasail (surat-menyurat), Diwan al-khatam (arsip dan dokumentasi negara) dan Diwan al-barid (layanan pos dan registrasi penduduk). Dalam pemerintahan daerah wilayah kekuasaan Bani Umaiyah dibagi menjadi lima propinsi besar, yaitu 1. Hijaz, Yaman dan Arabia 2. Mesir bagian utara dan selatan 3. Irak dan Persia 4. Mesopotamia, Armenia dan Azarbaijan dan 5. Afrika Utara, Spanyol, Prancis bagian selatan, Sisilia dan Sardinia. Tiap-tiap propinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang bertugas menjalankan administrasi politik dan militer untuk wilayah masing-masing. Selain eksekutif, khalifah juga mengangkat hakim untuk daerah. Mereka memiliki kekuasaan independen dan tidak bisa diintervensi oleh khalifah. Dalam hal ini pemerintahan Bani Umaiyah tetap mempertahankan tradisi al-khulafa’al-rasyidun yang memisahkan antara jabatan eksekutif dan yudikatif.
  1. Ketatanegaraan Pada Masa Bani Abbas
Berbeda dengan pemerintahan Bani Umaiyah sebelumnya, Bani Abbas menyatukan kekuasaan agama dan politik. Perhatian mereka terhadap agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan politik, yaitu  untuk memperkuat posisi dan melegitimasi kekuasaan. Wizarah merupakan salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas kepala negara. Sedangkan wazir adalah orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan. Besarnya pengaruh wazir-wazir dalam pemerintahan membutuhkan tenaga-tenaga untuk membantu tugas-tugasnya dalam mengkoordinir masing-masing departemen. Untuk itu, wazir pun mengangkat para katib untuk menempati pos-posnya. Dalam sistem politik Bani Abbas, Hajib (petugas hijab) berarti pengawal khalifah karena tugas dan wewenang mereka adalah menghalangi dan membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu dengan Khalifah Bani Abbas. Selain aspek tersebut, untuk urusan daerah (propinsi), Khalifah Bani Abbas mengangkat kepala daerah (amir) sebagai pembantu mereka. Seperti halnya masa Bani Umaiyah, kekuasaan yudikatif dibagi kepada bidang hisbah, al-qadha’ dan al-mazhalim. Selain tiga bidang tersebut, Bani Abbas juga membentuk lembaga peradilan militer. Khalifah sendiri juga menyediakan waktu-waktu tertentu yang khusus di istana untuk menanganai perkara-perkara khusus.
  1. Ketatanegaraan Pada Masa Turki Usmani
Selama 600 tahun kekuasaan Turki Usmani, Stanford J. Shaw membagi sejarah Usmani kepada lima periode, yaitu, periode awal (1280-1413), periode restorasi (1413-1451), periode puncak (1451-1566), periode desentralisasi dan reformasi tradisional (1566-1808), periode reformasi modern hingga kehancuran dinasti (1808-1924). Periode awal Usmani ditandai dengan penyusunan basis kekuasaan, perluasan wilayah dan kehancuran sementara akibat serangan Mongol. Memasuki abad ke-19, Turki Usmani sudah semakin kehilangan kekuata. Wilayah-wilayah Eropa satu persatu lepas dari kekuasaannya.
Dalam pelakasanaan pemerintahan, penguasa-penguasa imperium Usmani bergelar Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan adalah gelar mereka untuk masalah-masalah duniawi, sedangkan Khalifah merupakan gelar untuk urusan keagamaan. Sistem pemerintahan Usmani banyak mengadopsi praktik kenegaraan yang berlaku di Bizantium dan Persia. Untuk menjalankan kedu fungsi ini, penguasa Usmani dibantu oleh tiga kekuasaan, yaitu administrasi birokrasi, militer, dan kekuasaan agama. Dalam masalah-masalah agama penguasa Usmani dibantu oleh para mufti dan kadi (qadhi). Mufti berperan sebagai penafsir hukum, sedangkan kadi berperan sebagai pelaksananya. Sejak periode awal, Sultan Usmani di bantu oleh dua pjabat penting di daerah, bey dan kadi. Bey adalah adalah gubernur daerah yang berasal dari kelas militer dan menjadi wakil Sultan dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Sementara kadi mewakili Sultan dalam kekuasaaan hukum.
Kesimpulan
Pada masa Nabi Muhammad, dalam menjalankan sebagai pemimpin negara secara tidak langsung Nabi telah menjalankan suatu kekuasaan politik yang telah bisa dikatakan sebagai modern. Dimana Nabi Muhammad mengangkat duta-duta negara lain, kemudian melakukan hubungan diplomatik, hubungan dagang, mengangkat gubernur, menerapkan politik dalam dan luar negeri dan juga melakukan kekuasaan politik yang terpisah antara legislatif, yudikatif dan eksekutif.
Kemudian pada Masa Al-Khulafa’Al-rasyidun negara islam yang berdasarkan Al-qur;an dan sunnah masih ditegakkan sebagaimana cara mempin Nabi Muhammad. Hanya saja pada masa ini terlalu banyak maslah dalam masyarakat islam sehingga sering terjadi perpecahan dan juga peperangan  antar kelompok umat Islam. Namun setiap Khalifah yang terpilih selalu berusaha untuk mencapai masyarakat yang patuh dan sejahtera sebagaimana pada masa Nabi sebelumnya. Banyaknya masalah yang terjadi dalam negeri membuat masyarakat islam kacau balau dan akhir dari pemerintahan setiap Khalifah tak heran jika Khalifah yang berkuasa pada saat itu mati terbunuh.
Masa Bani Umaiyah bisa dikatakan juga masa yang maju bagi umat islam. Karena bani Umaiyah banyak mengalami perluasan wilayah. Selain itu juga terjadi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Pendapatan utama Umaiyah yaitu, zakat umat islam, rampasan perang, pajak tanah non-muslim, pajak perdagangan dan pajak kepala negara non muslim.
Pada masa Bani Abbas dikembangkan empat sistem yaitu, Aspek Khilafah, wizarah, Kitabah, dan Hijabah. Selain sistem tersebut untuk urusan daerah Khalifah Bani Abbas mengangkat kepala daerah sebagai pembantu mereka. Sumber pendapatan terbesar berasal dari pajak. Selain itu pertanian, perdaganagn dan industri. Setelah mengalami kemajuan yang pesat lama kelamaan Bani Abbas mengalami kemunduran yang akhirnya digantikan oleh Turki Usmani. Turki Usmani bisa dikatakan sebagai peradaban islam yang terkuat dan besar selama yang pernah ada. Daerah kekuasaannya tidak hanya di Asia namun juga hingga Eropa dan Afrika. Turki Usmani berkuasa hingga 600 tahun. Selama kekuasaannya telah terjadi lima periode sejarah, yaitu, periode awal, periode restorasi, periode puncak,periode desentralisasi dan reformasi tradisional, periode reformasi modern hingga kehancuran dinasti. Hancurnya Turki usmani disebabkan karena masuknya pengaruh-pengaruh Eropa. Yang pada akhirnya adalah penghapusan lembaga khilafah dan penghancuran imperium Usmani oleh kemal. Selanjutnya kemal menggantikan negara Usmani menjadi republik Turki yang sekuler.

Referensi
Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

No comments:

Post a Comment