Shintoisme
dan negara memiliki hubungan dalam perjalanan sejarah pada era edo atau
Tokugawa, Shintoisme pada waktu itu juga mempengaruh bagi kehidupan politik di
Jepang. Selain itu dalam kehidupan negara juga terhadap pengaruh langsung bagi
ajaran Konfusius dan juga ajran Budhisme. Mengenai Shintoisme dan Ekonomi pada
umunya juga memiliki pengaruh erat, karena pada saat itu petani dan pedagang
memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi era Tokugawa. Karena Shintoisme
merupakan dianggap sebagai agama rakyat yang sedikit banyak mempengaruhi bagi
ekonomi saat itu. Namun tetap saja pmikiran Konfusius maupun Hsun Tzu tetap
memiliki pengaruh bagi ekonomi tersebut. selain itu pada era Tokugawa juga
terkenal dengan adanya Konsep Shingaku yaitu ajran yang berdasarkan oleh
pemikiran Ishida Baigan yang nantinya memiliki pengaruh yang besar bagi
masyarakat Jepang.
- Shintoisme dan Negara
Ketika
religi besar di Jepang mempunyai hubungan yang erat dengan dunia politik pada
masa-masa awal sejarah Jepang. Catatan tertua yang ditemukan tentang Shinto
menunjukkan munculnya suatu kultus negara dari religi kesukuan primitif yang
ada pada waktu itu. Pada awal-awal abad era kristen, orang-orang Yamato
berusaha memeperkuat hegemoni mereka atas Jepang tengah, dan dalam melakukan
upaya politik itu nampaknya mereka berhasil menciptakan mitologi versi mereka
sendiri.
Pengaruh
langsung dari teori Konfusius terlihat jelas, paling tidak menjelang abad 17.
Apa yang disebut Konstitusi Shotoku Taishi yang dikeluarkan pada tahun 604
Masehi, walaupun mengandung elemen-elemen Konfusius dan Budha, dalam hal yang
berkaitan dengan teori pemerintahan sepenuhnya menunjukkan warna Konfusius.
Konstitusi tersebut mengemukakan teori harmoni sosial yang didasarkan pada
pengakuan semua orang atas kekuasaan tertinggi kaisar. Dalam teori Konfusius
pengaruh penguasa tidak hanya bersifat politis tetapi juga etis, bahkan magis.
Semua konsep yang dimasukkan ini berakibat semakin memperkuat landasan
ideologis, magis maupun kedudukan keluarga penguasa. Pada kenyataannya memang
baru pada waktu itulah digunakan kata “kaisar”, bukan kepala. Bukan hanya teori
religi dan etika mengenai peran kaisar dan pemerintahannya saja yan di ambil
dari Cina tetapi juga keseluruhan konsep dan kelembagaan hukum, administrasi,
konsep harta milik dan banyak lagi lainnya.
Perkembangan
Budhisme tidak sepenuhnya menguntungkan kemajuan rasionalisasi politik. Semakin
dititikberatkannya ritual dan magis di istana merupakan faktor yang memperlemah
desakan pemusatan kekuasaan yang mulai terjadi pada abad delapan dan semakin
menguat sampai munculnya feodalisme terpusat pada akhir abad 12. Sebaliknya,
pengaruh Konfusianisme masih tetap memberikan arah kepada rasionalisasi politik
di abad-abad itu. Buku keutamaan ketaatan kepada orang tua (Hsiao Ching) secara khusus
disebarluaskan. Menjelang akhir abad delapan buku itu diajarkan di semua
sekolah, dan setiap anak kecil yang sudah bisa membaca hapal di luar kepala
isinya. Atas perintah Koken (memerintah 749-758) setiap rumah harus menyimpan
satu eksemplar buku itu, walaupun perlu diragukan apakah perintah ini ditaati
sebagaimana seharusnya.
Ajaran
Konfusius mengenai keutamaan kesetiaan juga secara luas disebarluaskan dan
mempunyai dampak yang cukup penting dalam perkembangan etika kelas prajurit
atau ksatria: Bushido. Bushido, jalan prajurit angatlah penting bagi setiap upaya
mempelajari nilai-nilai dan etika kmasa Tokugawa atau masa Jepang Modern. Ini
disebabkan karena Bushi atau samurai merangkum atau dianggap merangkum
nilai-nilai dasar orang Jepang, dan juga karena baik pada masa Tokugawa maupun
Jepang modern etika bushido atau paling tidak sebagian besar darinya telah
menjadi etika nasional. Era Tokugawa menjadi saksi dari berkembangnya sikap
baru terhadap kaisar dan konsep politik-religius baru tentang negara, dua
kecenderungan yang berpengaruh besar terhadap sejarah masa selanjutnya. Slogan
sonno (pemujaan kaisar) melambangkan perhatian baru yang besar kepada kaisar
dan istilah kokutai (badan nasional), mencerminkan konsep baru tentang negara.
Menyebut ide-ide yang telah berakar begitu jauh dalam sejarah sebagai sesuatu
yang baru terasa paradoks, tetapi dalam konteks era tokugawa ide-ide tersebut
dapat dianggap baru. Aliran kokugaku dan aliran Mito dari sejak awalnya gerakan
ini bersifat politis dan religius, dia tidak membatasi perhatian hanya pada
susastra sebagai tujuan. Namun, baru oleh Kamo Mabuchi (1697-1769) sifat
gerakan ini dinyatakan dalam formulasi yang jelas sebagai pedoman bagi para
pengikutnya.
- Shintoisme dan Ekonomi
Sebagaimana
diketahui, para rahib Zen memainkan peran sangat penting di bidang perdagangan
pada masa Ashikaga (1392-1573). Selain itu, sekte Zen juga menghargai sangat
tinggi kesederhanaan spartan dan keugaharian, dan sesuatu yang bahkan mungkin
lebih menarik, kegiatan produktif. D.T. Suzuki mengatakan bahwahari tanpa kerja
adalah berarti hari tanpa makan adalah aturan pertama dalam kehidupan kuil Zen.
Dan bahwa para guru Zen selalu mengharuskan para rahibnya bekerja keras di
ladang, di hutan dan di gunung-gunung. Bahwa kerja adalah sesuatu yang suci
karena dipandnag paling tidak sebagai bagian dari upaya membalas rahmat yang
telah diterima.
Intisari
dari kebijakan ekonomi Konfusian, yang secara rinci berarti dorong poduksi dan
kurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi mengambil dua bentuk utama yaitu bentuk
lahir dan batin. Bentuk batim adalah pembatasan keinginan dan bentuk lahir
adalah pembatasan pengeluaran, artinya ekonomi ugahari. Dari tinjauan singkat
tentang pandangan Konfusian mengenai ekonomi politik di atas dapatlah ditangkap
bahwa sebetulnya yang diutamakan adalah sistem yang seimbang. Satu hal yang
membedakan pandangan ekonomi politik Jepang dari pandangan Cina adalah
penekanannya pada dinamisme satu arah dalam pencapaian tujuan dan pengorbanan
tanpa pamrih dari setiap anggota kolektivitas untuk pencapaian tujuan bersama
dari pada pencapaian harmoni ideal yang statis.
Kebijakan
pemerintah yang mendorong ekonomi sama kuatnya dengan imbauan moral yang
diberikannya. Aturan-aturan gonin-gumi dengan keras memperingatkan orang untuk
tidak bersenang-senang, bermewah-mewah, menenggelamkan diri dalam olahraga
perjudian. Peraturan yang menegcam kemewahan ditempel si setiap papan
pengumuman pemerintah. Peringatan-peringatan tersebut diperkuat oleh hukum yang
secara sistematik mengontrol dan mengatur pengeluaran serta konsumsi orang
sehingga bisa mencegah tindakan bermewah-mewah.
Kota-kota
Jepang pada Era Edo menawarkan banyak godaan dalam hal kemewahan dan hiburan.
Sulit diragukan bahwa dari kalangan kelas pedagang banyak muncul konsumen
kemewahan-kemewahan itu dan penggemar rumah-rumah hiburan, tetapi ancaman
bahaya dari tingkah laku semacam ini muncul di mana-mana sehingga aturan-aturan
rumah pedagang hampir semua bersikap sangat keras terhadapnya. Secara umum
aturan-aturan rumah pedagang menggariskan kehidupan keseharian yang hemat dan
tertib, hampir-hampir asketis. “selalu bersikap hematlah dan hindari
pengeluaran yang tidak bermanfaat”.
Kerja
keras dan sikap ugahari nampaknya merupakan sifat yang umum terdapat di
kalangan kaum tani di seluruh dunia, tetapi kadarnya menjadi sangat berlebihan
di kalangan petani Jepang. Walaupun di satu segi sifat semacam ini di kalangan
petani yang miskin merupakan kebutuhan, namun jelas ini bukanlah satu-satunya
penjelasan untuk Jepang. Sikap hemat sangat kuat didasari oleh tanggung jawab
kepada masyarakat dan keluarga. Sekte-sekte Shinto rakyat yang mempunyai ajaran
etika serupa dengan Shingaku berpengaruh sangat kuat di kalangan kaum petani.
Lingkup rasionalisasi politik tidaklah terlalu besar di desa. Dapat dipastikan
bahwa pertanian yang lebih terdiversifikasi dan efisien berkembang pada Era
Edo, sebagian karena bantuan dan dorongan dari pemerintah, dan bahwa industri
rumah tangga juga mulai berkembang
dengan standar kualitas dan keseragaman yang cukuo tinggi.
- Konsep Shingaku
Shingaku
adalah gerakan yang dimulai ketika Ishida Baigan (1685-1744) menggantungkan
papan namanya dan memberikan ceramah umumnya yang pertama pada tahun 1729.
Setelah kematian Baigan gerakan ini berkembang dari dasawarsa ke dasawarsa
selanjutnya sehingga pada awal abad 19 terdapat banyak sekali tempat ceramah
Shingaku di seluruh Jepang. Gerakan ini menarik banyak orang dari kelas
perkotaan, ribuan dari mereka memadati tempat-tempat ceramahnya selama lebih
dari seratus tahun, walaupun pengaruhnya juga mencapai kalangan samurai dan
petani. Banyak cendekiawan Jepang menganggapnya sebagai salah satu gerakan yang
mempunyai pengaruh terbesar pada moralitas rakyat awam pada era Tokugawa.
Ishida
Baigan dilahirkan di desa Higashi Agata di propinsi Tamba pda hari ke 15 bulan
ke 9 tahun 1685. Dia seorang keturunan petani namun talah memasuki kelas
pedagang dengan memulai dari tingkat paling bawah dan akhirnya sampai dan
berdiri pada kelas pedagang. Pada usia 15 tahun ia meninggalkan tempat
pemagangannya tanpa alasan yang jelas. Dan mulai menyesal atas tindakan yang
kasar dan suka mendebat yang hingga membuat teman-temannya tidak menyukainya.
Ketika berumur 35 atau 36 dia merasa telah menguasai pengetahuan teoritik
tentang alam, tetapi kendati mangalami kemajuan intelektual, perasannya masih
tetap ragu. Akhirnya ia menemukan seorang guru yang membuat keraguannya hilang
yaitu Oguri Ryoun yang seorang mantan Daimyo yang mengundurkan diri karena
beberapa alasan.
Ketika
di aberumur 43 dia berhenti dari pekerjaannya di rumah keluarga Kuroyanagi dan
mulai memberikan pelajaran privat di berbagai rumah. Dan pada tahun 1729
gurunya Oguri Ryoun meninggal dan mungkin tidak sepenuhnya kebetulan bahwa pada
tahun itu pula Baigan pada usia 45 akhirnya menetap di satu rumah dan untuk
pertama kalinya membuka tempat ceramah. Mulailah dia memberi ceramah, dan dari
bulan ke bulan terus melakukannya sampai saat meninggalnya.
Pemikiran
Baigan harus didasarkan pada dua bukunya, Taimondo dan Seikaron. Informasi
tambahnnya bisa juga di ambil dari riwayat hidupnya Ishida Sensei Jiseki yang
disusun oleh muridnya, yang banyak berisi uraian tentang hidupnya,
kebiasaan-kebiasaan dan anekdot-anekdot tentangnya. Konsep Gakumon akan dapat
menukik langsung kepada inti sistem Baigan. Gakumon memiliki dua jalur proses.
Pertama adalah yang mengarah kepada pencerahan, memahami kodrat atau memahami
hati. Kedua praktek susila yang mengikuti pencerahan atau pemahaman tersebut.
dalam hal ini, jalur pertama, yang dalam istilah Tilich disebiut bersifat
vertikal adalah penyebabnya sedangkan yang kedua bersifat horizontal adalah
akibat. Gakumon dalam kaitannya dengan proses vertikal, Baigan mengatakan
“memahami hati adalah awal dari Gakumon dan memahami kodrat adalah inti gakumon
dan mencapai hati adalah awal serta akhir dari gakumon. Pandangan ini bisa didasarkan
pada Mencius yang dikutip oleh Baigan, jalan gakumon tiada lain kecuali mencari
hati yang hilang.gakumon, yang sangat erat terkait dengan proses vertikal atau
proses mistik-religius, sama erat kaitannya dengan proses horisontal atau
proses etis-praktis. Gakumon para arif adalah memahami bahwa tindakan adalah
inti dasar sedangkan pengetahuan adalah pelengkapnya. Walaupun Baigan
menekankan tindakan spritual atau etis sebagai pengertian gakumon, dia sama
sekali tidak mengabaikan artinya yang lebih sempit yaitu belajar atau
pengetahuan. Dia mengumpamakan hati sebagai cermin dan menganggap tulisan
sebagai semir yang akan memulas hati. Hati para arif, dengannyalah orang harus
menyatu. Pada akhirnya kata-kata mereka hanyalah ampas yang bahkan mengalami
usaha untuk memahami hati. Pemahaman tentang hati bukanlah sesuatu yang bisa
ditularkan melalui kata-kata tetapi harus dicari sendiri. Inilah gakumon
sejati.
Memahami
hati atau memahami kodrat menurut pikiran Baigan mengandung arti seperti yang
pernah ia katakan “tujuan tertinggi dari Gakumon adalah mengosongkan hati
sendiri untuk memahami hakikat diri. Mengenal hakikat dirinya adalah mengenal
langit”. Buku ketujuh mencius mengatakan bahwa “dia yang telah mengosongkan
hatinya, mengenal alam dirinya, mengenal lam diri berarti mengenal langit”. Mengenal langit paling
tidak untuk Baigan, berarti bahwa hati seseorang menyatu dengan langit dan
bumi. Dia mengatkan bahwa langit dan bumi menciptakan semua hal dan semua hal
dalam inti hatinya, menyatu dengan langit dan bumi.
Kesimpulan
Era
Tokugawa menjadi saksi dari berkembangnya sikap baru terhadap kaisar dan konsep
politik-religius baru tentang negara, dua kecenderungan yang berpengaruh besar
terhadap sejarah masa selanjutnya. Slogan sonno (pemujaan kaisar) melambangkan
perhatian baru yang besar kepada kaisar dan istilah kokutai (badan nasional),
mencerminkan konsep baru tentang negara. Kebijakan pemerintah yang mendorong
ekonomi sama kuatnya dengan imbauan moral yang diberikannya. Aturan-aturan
gonin-gumi dengan keras memperingatkan orang untuk tidak bersenang-senang,
bermewah-mewah, menenggelamkan diri dalam olahraga perjudian. Peraturan yang
menegcam kemewahan ditempel si setiap papan pengumuman pemerintah.
Peringatan-peringatan tersebut diperkuat oleh hukum yang secara sistematik
mengontrol dan mengatur pengeluaran serta konsumsi orang sehingga bisa mencegah
tindakan bermewah-mewah. Mengenai konsep Shingaku yang berkembang pesat pada
era Tokugawa merupakan asas pikiran Ishida Baigan, yang dikembangkannya melalui
ceramah-ceramahnya. Pemikiran Baigan harus didasarkan pada dua bukunya,
Taimondo dan Seikaron. Informasi tambahnnya bisa juga di ambil dari riwayat
hidupnya Ishida Sensei Jiseki yang disusun oleh muridnya, yang banyak berisi
uraian tentang hidupnya, kebiasaan-kebiasaan dan anekdot-anekdot tentangnya.
Baigan mengumpamakan hati sebagai cermin dan menganggap tulisan sebagai semir
yang akan memulas hati.
Referensi
Bellah,
Robert N. 1992. Religi Tokugawa:
Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
No comments:
Post a Comment