Thursday 8 March 2012

SHINTOISME DAN NEGARA, SHINTOISME DAN EKONOMI & KONSEP SHINGAKU

Shintoisme dan negara memiliki hubungan dalam perjalanan sejarah pada era edo atau Tokugawa, Shintoisme pada waktu itu juga mempengaruh bagi kehidupan politik di Jepang. Selain itu dalam kehidupan negara juga terhadap pengaruh langsung bagi ajaran Konfusius dan juga ajran Budhisme. Mengenai Shintoisme dan Ekonomi pada umunya juga memiliki pengaruh erat, karena pada saat itu petani dan pedagang memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi era Tokugawa. Karena Shintoisme merupakan dianggap sebagai agama rakyat yang sedikit banyak mempengaruhi bagi ekonomi saat itu. Namun tetap saja pmikiran Konfusius maupun Hsun Tzu tetap memiliki pengaruh bagi ekonomi tersebut. selain itu pada era Tokugawa juga terkenal dengan adanya Konsep Shingaku yaitu ajran yang berdasarkan oleh pemikiran Ishida Baigan yang nantinya memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat Jepang.
  1. Shintoisme dan Negara
Ketika religi besar di Jepang mempunyai hubungan yang erat dengan dunia politik pada masa-masa awal sejarah Jepang. Catatan tertua yang ditemukan tentang Shinto menunjukkan munculnya suatu kultus negara dari religi kesukuan primitif yang ada pada waktu itu. Pada awal-awal abad era kristen, orang-orang Yamato berusaha memeperkuat hegemoni mereka atas Jepang tengah, dan dalam melakukan upaya politik itu nampaknya mereka berhasil menciptakan mitologi versi mereka sendiri.
Pengaruh langsung dari teori Konfusius terlihat jelas, paling tidak menjelang abad 17. Apa yang disebut Konstitusi Shotoku Taishi yang dikeluarkan pada tahun 604 Masehi, walaupun mengandung elemen-elemen Konfusius dan Budha, dalam hal yang berkaitan dengan teori pemerintahan sepenuhnya menunjukkan warna Konfusius. Konstitusi tersebut mengemukakan teori harmoni sosial yang didasarkan pada pengakuan semua orang atas kekuasaan tertinggi kaisar. Dalam teori Konfusius pengaruh penguasa tidak hanya bersifat politis tetapi juga etis, bahkan magis. Semua konsep yang dimasukkan ini berakibat semakin memperkuat landasan ideologis, magis maupun kedudukan keluarga penguasa. Pada kenyataannya memang baru pada waktu itulah digunakan kata “kaisar”, bukan kepala. Bukan hanya teori religi dan etika mengenai peran kaisar dan pemerintahannya saja yan di ambil dari Cina tetapi juga keseluruhan konsep dan kelembagaan hukum, administrasi, konsep harta milik dan banyak lagi lainnya.
Perkembangan Budhisme tidak sepenuhnya menguntungkan kemajuan rasionalisasi politik. Semakin dititikberatkannya ritual dan magis di istana merupakan faktor yang memperlemah desakan pemusatan kekuasaan yang mulai terjadi pada abad delapan dan semakin menguat sampai munculnya feodalisme terpusat pada akhir abad 12. Sebaliknya, pengaruh Konfusianisme masih tetap memberikan arah kepada rasionalisasi politik di abad-abad itu. Buku keutamaan ketaatan kepada orang tua (Hsiao Ching) secara khusus disebarluaskan. Menjelang akhir abad delapan buku itu diajarkan di semua sekolah, dan setiap anak kecil yang sudah bisa membaca hapal di luar kepala isinya. Atas perintah Koken (memerintah 749-758) setiap rumah harus menyimpan satu eksemplar buku itu, walaupun perlu diragukan apakah perintah ini ditaati sebagaimana seharusnya.
Ajaran Konfusius mengenai keutamaan kesetiaan juga secara luas disebarluaskan dan mempunyai dampak yang cukup penting dalam perkembangan etika kelas prajurit atau ksatria: Bushido. Bushido, jalan prajurit angatlah penting bagi setiap upaya mempelajari nilai-nilai dan etika kmasa Tokugawa atau masa Jepang Modern. Ini disebabkan karena Bushi atau samurai merangkum atau dianggap merangkum nilai-nilai dasar orang Jepang, dan juga karena baik pada masa Tokugawa maupun Jepang modern etika bushido atau paling tidak sebagian besar darinya telah menjadi etika nasional. Era Tokugawa menjadi saksi dari berkembangnya sikap baru terhadap kaisar dan konsep politik-religius baru tentang negara, dua kecenderungan yang berpengaruh besar terhadap sejarah masa selanjutnya. Slogan sonno (pemujaan kaisar) melambangkan perhatian baru yang besar kepada kaisar dan istilah kokutai (badan nasional), mencerminkan konsep baru tentang negara. Menyebut ide-ide yang telah berakar begitu jauh dalam sejarah sebagai sesuatu yang baru terasa paradoks, tetapi dalam konteks era tokugawa ide-ide tersebut dapat dianggap baru. Aliran kokugaku dan aliran Mito dari sejak awalnya gerakan ini bersifat politis dan religius, dia tidak membatasi perhatian hanya pada susastra sebagai tujuan. Namun, baru oleh Kamo Mabuchi (1697-1769) sifat gerakan ini dinyatakan dalam formulasi yang jelas sebagai pedoman bagi para pengikutnya.
  1. Shintoisme dan Ekonomi
Sebagaimana diketahui, para rahib Zen memainkan peran sangat penting di bidang perdagangan pada masa Ashikaga (1392-1573). Selain itu, sekte Zen juga menghargai sangat tinggi kesederhanaan spartan dan keugaharian, dan sesuatu yang bahkan mungkin lebih menarik, kegiatan produktif. D.T. Suzuki mengatakan bahwahari tanpa kerja adalah berarti hari tanpa makan adalah aturan pertama dalam kehidupan kuil Zen. Dan bahwa para guru Zen selalu mengharuskan para rahibnya bekerja keras di ladang, di hutan dan di gunung-gunung. Bahwa kerja adalah sesuatu yang suci karena dipandnag paling tidak sebagai bagian dari upaya membalas rahmat yang telah diterima.
Intisari dari kebijakan ekonomi Konfusian, yang secara rinci berarti dorong poduksi dan kurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi mengambil dua bentuk utama yaitu bentuk lahir dan batin. Bentuk batim adalah pembatasan keinginan dan bentuk lahir adalah pembatasan pengeluaran, artinya ekonomi ugahari. Dari tinjauan singkat tentang pandangan Konfusian mengenai ekonomi politik di atas dapatlah ditangkap bahwa sebetulnya yang diutamakan adalah sistem yang seimbang. Satu hal yang membedakan pandangan ekonomi politik Jepang dari pandangan Cina adalah penekanannya pada dinamisme satu arah dalam pencapaian tujuan dan pengorbanan tanpa pamrih dari setiap anggota kolektivitas untuk pencapaian tujuan bersama dari pada pencapaian harmoni ideal yang statis.
Kebijakan pemerintah yang mendorong ekonomi sama kuatnya dengan imbauan moral yang diberikannya. Aturan-aturan gonin-gumi dengan keras memperingatkan orang untuk tidak bersenang-senang, bermewah-mewah, menenggelamkan diri dalam olahraga perjudian. Peraturan yang menegcam kemewahan ditempel si setiap papan pengumuman pemerintah. Peringatan-peringatan tersebut diperkuat oleh hukum yang secara sistematik mengontrol dan mengatur pengeluaran serta konsumsi orang sehingga bisa mencegah tindakan bermewah-mewah.
Kota-kota Jepang pada Era Edo menawarkan banyak godaan dalam hal kemewahan dan hiburan. Sulit diragukan bahwa dari kalangan kelas pedagang banyak muncul konsumen kemewahan-kemewahan itu dan penggemar rumah-rumah hiburan, tetapi ancaman bahaya dari tingkah laku semacam ini muncul di mana-mana sehingga aturan-aturan rumah pedagang hampir semua bersikap sangat keras terhadapnya. Secara umum aturan-aturan rumah pedagang menggariskan kehidupan keseharian yang hemat dan tertib, hampir-hampir asketis. “selalu bersikap hematlah dan hindari pengeluaran yang tidak bermanfaat”.
Kerja keras dan sikap ugahari nampaknya merupakan sifat yang umum terdapat di kalangan kaum tani di seluruh dunia, tetapi kadarnya menjadi sangat berlebihan di kalangan petani Jepang. Walaupun di satu segi sifat semacam ini di kalangan petani yang miskin merupakan kebutuhan, namun jelas ini bukanlah satu-satunya penjelasan untuk Jepang. Sikap hemat sangat kuat didasari oleh tanggung jawab kepada masyarakat dan keluarga. Sekte-sekte Shinto rakyat yang mempunyai ajaran etika serupa dengan Shingaku berpengaruh sangat kuat di kalangan kaum petani. Lingkup rasionalisasi politik tidaklah terlalu besar di desa. Dapat dipastikan bahwa pertanian yang lebih terdiversifikasi dan efisien berkembang pada Era Edo, sebagian karena bantuan dan dorongan dari pemerintah, dan bahwa industri rumah tangga juga  mulai berkembang dengan standar kualitas dan keseragaman yang cukuo tinggi.
  1. Konsep Shingaku
Shingaku adalah gerakan yang dimulai ketika Ishida Baigan (1685-1744) menggantungkan papan namanya dan memberikan ceramah umumnya yang pertama pada tahun 1729. Setelah kematian Baigan gerakan ini berkembang dari dasawarsa ke dasawarsa selanjutnya sehingga pada awal abad 19 terdapat banyak sekali tempat ceramah Shingaku di seluruh Jepang. Gerakan ini menarik banyak orang dari kelas perkotaan, ribuan dari mereka memadati tempat-tempat ceramahnya selama lebih dari seratus tahun, walaupun pengaruhnya juga mencapai kalangan samurai dan petani. Banyak cendekiawan Jepang menganggapnya sebagai salah satu gerakan yang mempunyai pengaruh terbesar pada moralitas rakyat awam pada era Tokugawa.
Ishida Baigan dilahirkan di desa Higashi Agata di propinsi Tamba pda hari ke 15 bulan ke 9 tahun 1685. Dia seorang keturunan petani namun talah memasuki kelas pedagang dengan memulai dari tingkat paling bawah dan akhirnya sampai dan berdiri pada kelas pedagang. Pada usia 15 tahun ia meninggalkan tempat pemagangannya tanpa alasan yang jelas. Dan mulai menyesal atas tindakan yang kasar dan suka mendebat yang hingga membuat teman-temannya tidak menyukainya. Ketika berumur 35 atau 36 dia merasa telah menguasai pengetahuan teoritik tentang alam, tetapi kendati mangalami kemajuan intelektual, perasannya masih tetap ragu. Akhirnya ia menemukan seorang guru yang membuat keraguannya hilang yaitu Oguri Ryoun yang seorang mantan Daimyo yang mengundurkan diri karena beberapa alasan.
Ketika di aberumur 43 dia berhenti dari pekerjaannya di rumah keluarga Kuroyanagi dan mulai memberikan pelajaran privat di berbagai rumah. Dan pada tahun 1729 gurunya Oguri Ryoun meninggal dan mungkin tidak sepenuhnya kebetulan bahwa pada tahun itu pula Baigan pada usia 45 akhirnya menetap di satu rumah dan untuk pertama kalinya membuka tempat ceramah. Mulailah dia memberi ceramah, dan dari bulan ke bulan terus melakukannya sampai saat meninggalnya.
Pemikiran Baigan harus didasarkan pada dua bukunya, Taimondo dan Seikaron. Informasi tambahnnya bisa juga di ambil dari riwayat hidupnya Ishida Sensei Jiseki yang disusun oleh muridnya, yang banyak berisi uraian tentang hidupnya, kebiasaan-kebiasaan dan anekdot-anekdot tentangnya. Konsep Gakumon akan dapat menukik langsung kepada inti sistem Baigan. Gakumon memiliki dua jalur proses. Pertama adalah yang mengarah kepada pencerahan, memahami kodrat atau memahami hati. Kedua praktek susila yang mengikuti pencerahan atau pemahaman tersebut. dalam hal ini, jalur pertama, yang dalam istilah Tilich disebiut bersifat vertikal adalah penyebabnya sedangkan yang kedua bersifat horizontal adalah akibat. Gakumon dalam kaitannya dengan proses vertikal, Baigan mengatakan “memahami hati adalah awal dari Gakumon dan memahami kodrat adalah inti gakumon dan mencapai hati adalah awal serta akhir dari gakumon. Pandangan ini bisa didasarkan pada Mencius yang dikutip oleh Baigan, jalan gakumon tiada lain kecuali mencari hati yang hilang.gakumon, yang sangat erat terkait dengan proses vertikal atau proses mistik-religius, sama erat kaitannya dengan proses horisontal atau proses etis-praktis. Gakumon para arif adalah memahami bahwa tindakan adalah inti dasar sedangkan pengetahuan adalah pelengkapnya. Walaupun Baigan menekankan tindakan spritual atau etis sebagai pengertian gakumon, dia sama sekali tidak mengabaikan artinya yang lebih sempit yaitu belajar atau pengetahuan. Dia mengumpamakan hati sebagai cermin dan menganggap tulisan sebagai semir yang akan memulas hati. Hati para arif, dengannyalah orang harus menyatu. Pada akhirnya kata-kata mereka hanyalah ampas yang bahkan mengalami usaha untuk memahami hati. Pemahaman tentang hati bukanlah sesuatu yang bisa ditularkan melalui kata-kata tetapi harus dicari sendiri. Inilah gakumon sejati.
Memahami hati atau memahami kodrat menurut pikiran Baigan mengandung arti seperti yang pernah ia katakan “tujuan tertinggi dari Gakumon adalah mengosongkan hati sendiri untuk memahami hakikat diri. Mengenal hakikat dirinya adalah mengenal langit”. Buku ketujuh mencius mengatakan bahwa “dia yang telah mengosongkan hatinya, mengenal alam dirinya, mengenal lam diri berarti  mengenal langit”. Mengenal langit paling tidak untuk Baigan, berarti bahwa hati seseorang menyatu dengan langit dan bumi. Dia mengatkan bahwa langit dan bumi menciptakan semua hal dan semua hal dalam inti hatinya, menyatu dengan langit dan bumi.
Kesimpulan
Era Tokugawa menjadi saksi dari berkembangnya sikap baru terhadap kaisar dan konsep politik-religius baru tentang negara, dua kecenderungan yang berpengaruh besar terhadap sejarah masa selanjutnya. Slogan sonno (pemujaan kaisar) melambangkan perhatian baru yang besar kepada kaisar dan istilah kokutai (badan nasional), mencerminkan konsep baru tentang negara. Kebijakan pemerintah yang mendorong ekonomi sama kuatnya dengan imbauan moral yang diberikannya. Aturan-aturan gonin-gumi dengan keras memperingatkan orang untuk tidak bersenang-senang, bermewah-mewah, menenggelamkan diri dalam olahraga perjudian. Peraturan yang menegcam kemewahan ditempel si setiap papan pengumuman pemerintah. Peringatan-peringatan tersebut diperkuat oleh hukum yang secara sistematik mengontrol dan mengatur pengeluaran serta konsumsi orang sehingga bisa mencegah tindakan bermewah-mewah. Mengenai konsep Shingaku yang berkembang pesat pada era Tokugawa merupakan asas pikiran Ishida Baigan, yang dikembangkannya melalui ceramah-ceramahnya. Pemikiran Baigan harus didasarkan pada dua bukunya, Taimondo dan Seikaron. Informasi tambahnnya bisa juga di ambil dari riwayat hidupnya Ishida Sensei Jiseki yang disusun oleh muridnya, yang banyak berisi uraian tentang hidupnya, kebiasaan-kebiasaan dan anekdot-anekdot tentangnya. Baigan mengumpamakan hati sebagai cermin dan menganggap tulisan sebagai semir yang akan memulas hati.
Referensi
Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment