Pengertian Hak Asasi Manusia
Konsep hak-hak asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar, yang
pertama ialah bahwa hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak
manusia karena ia seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang
berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin
martabat setiap manusia. Arti yang kedua dari hak-hak asasi manusia adalah
hak-hak menurut hukum, yang disebut sesuai dengan proses pembentukan hukum dari
masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Dasar dari
hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari
para warga, yang tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah
yang merupakan dasar dari arti yang pertama tadi.
1. John Locke (Two
Treaties on Civil Government)
Hak asasi manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir
yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat
(bersifat mutlak). Karena manusia adalah makhliuk sosial, hak-hak itu akan
berhadapan dengan hak orang lain: oleh sebab itu:
·
Hak asasi harus
dikorbankan untuk kepentingan masyarakat, sehingga lahir kewajiban.
·
Hak asasi
semakin berkembang meliputi berbagai bidang kebutuhan, antara lain hak dibidang
politik, ekonomi, dan sosial budaya.
2. Koentjoro Poerbapranoto (1976)
Hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Artinya,
hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan
dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
3. UU No. 39 Tahun 1999 (Tentang Hak Asasi Manusia)
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hidup
manusia dan martabat manusia telah diabaikan dan dilanggar sepanjang sejarah
dan tetap dilanggar sampai sekarang. Namun demikian, cita-cita akan adanya
peraturan yang berlaku untuk semua manusia tanpa adanya diskriminasi sudah ada
sejak beberapa abad yang lalu. Hal ini sering disebut “hukum alam” yang
didalamnya tercantum paham suatu peraturan yang harus ada dalam suatu
masyarakat. Asas persamaan hak yang dianut dalam hukum alam sudah lama diterima
sebagai sumber dan ukuran dari hak-hak politik. Namun demikian dapat
dikemukakan beberapa pembelaan dalam membedakan antara hak manusia yang
berdasarkan anggapan yang salah bahwa beberapa orang adalah kurang pandai
dibandingkan dengan yang lain atau bahkan lebih rendah derajatnya menurut ilmu
keturunan. Alasan seperti itu dipakai untuk membenarkan perbudakan sebelum abad
ke sembilan belas dan untuk membenarkan diskriminasi terhadap wanita (sexism) maupu terhadap bangsa karena
perbedaan warna kulitnya (racism),
sepanjang sejarah dan sampai zaman sekarang.
Prinsip
persamaan hak untuk semua anggota umat manusia seperti banyak prinsip dasar
lainnya, yang menjadi dasar dari apa yang disebut hak-hak asasi manusia dewasa
ini, dapat ditemukan sebenarnya pada setiap kebudayaan dan peradaban, agama dan
tradisi yang berdasarkan filsafat. Salah satu dari tradisi ini ialah hukum
alam.
Dokumen
Penting Cetusan Tuntutan HAM
a. Magna charta
Tanggal 15 juni 1225 pemimpin pemberontak di Inggris, Stepen Langton,
Archbishop Canterbury dan kawan-kawan, di lapangan rumput di daerah lembah
sungai thames, yang diberi nama Runnymede, membacakan dan menyerahkan
dokumen tuntutan kepada Raja John, tentang:
1. Pernyataan kemerdekaan bagi gereja inggris.
2. Pernyataan kemerdekaan bagi rakyat/penduduk kerajaan
inggris yang bebas, pernyataan ini menyatakan bahwa para petugas keamanan
maupun para pemungut pajak tidak diperbolehkan mengambil gandum atau hewan
tanpa pembayaran yang segera, dalam bentuk uang, kecuali atas kehendak si
pemilik sendiri.
3. Pernyataan bahwa para petugas polisi serta kejaksaan
tidak akan menuduh atau menuntut seseorang tanpa saksi dan fakta yang dapat
dipercaya.
4. Pernyataan bahwa tidak seorang pun dapat ditahan,
ditangkap, dibuang, atau dibunuh tanpa alasan hukum/pertimbangan dari kepala
distrik yang bersangkutan atau berdasarkan undang-undang yang berlaku atau yang
harus dibuat. Keadilan haruslah berdasarkan hukum dan hak-hak itu tidak
diperjualbelikan. Semua berhak atas hal itu.
b.
Petition of
rights
Tahun 1628, dalam badan pewakilan rakyat inggris diajukan berbagai
pertanyaan kepada raja mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Semua
jawaban yang diberikan raja dianggap sebagai suatu ketegasan hukum, terutama
mengenai hal-hal yang sebelumnya masih kabur, tidak jelas, atau tidak terdapat
ketentuannya berupa peraturan tertulis.
c. Habeas Corpus Act
Tahun 1670 diberlakukan Habeas
Corpus Act, yakni undang-undang penegasan penahanan, berupa surat perintah
raja atau atas nama raja kepada seseorang petugas yang diperkirakan telah
menangkap atau menahan seseorang secara tidak adil atau tidak manusiawi.
Berdasarkan surat perintah itu, maka orang yang ditangkap/ditahan harus
diperiksa, sehingga ada ketegasan tentang alas an penahanannya menurut fakta
perbuatan dan hukum. Jadi, dengan Habeas
Corpus Act, maka HAM mengenai kemerdekaan pribadi menjadi lebih nyata.
d. Bill of Rights
Tahun 1689 diumumkan The Bill Of
Rights (piagam hak-hak) di Britania Raya, sebuah undang-undang yang
menyatakan hak-hak dan kebebasan warga negara serta menentukan pergantian raja.
Demikian juga Bill of Rights,
Virginia, Amerika Serikat. Undang-undang ini merupakan amandemen tambahan
terhadap konstitusi USA yang diatur secara tersendiri dalam 10 pasal
tambahan,meskipun secara prinsip HAM telah termuat dalam Declaration of Indepedence mereka.
e. Declaration Des Droits de L’home et du citoyen
Tahun 1789 diberlakukan pernyataan HAM dan warga negara perancis. Dalam
deklarasi itu dinyatakan bahwa manusia dilahirkan merdeka. Lalu dimuat daftar
hak-hak manusia dan warga negara perancis, misalnya hak milik dianggap suci dan
tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.
Macam-macam Hak Asasi Manusia
Hak
asasi yang dikenal kini mencakup berbagai aspek kehidupan yang sangat penting
bagi manusia. Walaupun demikian, hak-hak asasi tersebut tidak dengan serta
merta dirumuskan secara lengkap bagaimana tercantum dalam dokumen-dokumen
perlindungan terhadap HAM. Sesungguhnya pandangan tentang hak asasi manusia
sangat beragam dan bersifat dinamis. Dalam hal ini faktor-faktor seperti sejara
dan pandangan politik juga berpengaruh terhadap keragaman tersebut. Hal ini
antara lain dapat dilihat kembli Magna
Charta (1215), Bill of Rights (1689),
Declaration of Indepedence (1776),
dan pernyataan-pernyataan lain tentang hak asasi manusia.
Kelahiran
dokumen-dokumen semacam itu biasanya diawali oleh adanya kesadaran bahwa
penindasan manusia atas manusia lain merupakan sebuah tindakan penistaan nilai
kemanusiaan. Kesadaran semacam itu bisa mendorong timbulnya pemberontakan atau
berkembangnya pemikiran akan kebebasan yang akhirnya tertuang dalam dokumen
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Declaration of Indepedence, misalnya, merupakan pernyataan
Konstitusi Amerika Serikat yang merdeka dari penjajahan; sementara Declaration des Droit de L’homme et du
Citoyen adalah pengakuan terhadap hak asasi setelah terjadinya Revolusi
Perancis.
Perkembangan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebenarnya dapat kita
telusuri melalui berbagai dokumen semacam itu. Selain dokumen-dokumen yang
secara jelas menyatakan perlindungan seperti itu, terdapat pula berbagai
pemikiran para filsuf atau pemikir politik yang menyatakan hal serupa. Berbagai
pemikiran tersebut jika dirangkum menghasilkan berbagai macam hak asasi manusia
yang mencerminkan martabat kemanusiaan.
Beberapa
pengertian mengenai hak asasi manusia yang dikemukakan oleh para pemikir hingga
abad ke-19 masih sangat mendasar, yaitu menyangkut kebebasan untuk menyatakan
pendapat atau bebas dari rasa takut. Pemaknaan terhadap hak asasi manusia
kemudian berkembang seiring dengan tingkat kemajuan peradaban, dan karenanya
dewasa ini hak-hak asasi manusia mencakup beberapa bidang berikut:
1. Hak-hak asasi pribadi (Personal Rights), yaitu meliputi kebebasan menyatakan pendapat,
kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya.
2. Hak-hak asasi ekonomi (Property Rights), yaitu hak untuk memiliki, membeli, dan menjual,
serta memanfaatkan sesuatu.
3. Hak-hak asasi politik (Political Rights), yaitu hak ikut serta dalam pemerintahan, hak
pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilu), hak untuk mendirikan parpol,
dan sebagainya.
4. Hak-hak asasi untuk mendapat perlakuan yang sama dalam
hukum dan pemerintahan (Rights of Legal
Equality).
5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (Social and Culture Rights), yaitu
meliputi hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan, dan
sebagainya.
6. Hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan perlakuan tata
cara peradilan dan perlindungan (Procedural
Rights). Misalnya, peraturan dalam hal penahanan, penangkapan,
penggeledahan, peradilan, dan sebagainya.
Hak
Individual dan Kelompok
1. Individu dan HAM
Hakikat dan dasar hak asasi manusia semata-mata untuk kepentingan
manusia sendiri, artinya setiap manusia/individu dapat menikmati hak asasi
manusianya. Manusia merupakan satu pribadi utuh dan dalam masyarakat tidak
larut atau tidak hilang jati diri atau kepribadiannya sebagai manusia, ia
mempunyai hak atas dirinya sendiri lepas dari orang lain.
Dengan demikian, setiap individu tetap mempunyai hak asasi manusia tanpa
kecuali. Karena itu, jabatan, pangkat, kedudukan, kekayaan harus tidak
membedakan hak asasi manusianya. Tebal tipisnya serta ukuran hak asasi manusia
dalam praktiknya, terkait dengan kesepakatan dan keputusan politik yang ada,
sedangkan perbedaan kultur, dilihat dari HAM, hanya perbedaan pada permukaan
manusia saja.
Karena itu, sering didengar konsep HAM setiap warga negara berbeda,
lebih-lebih pada pelaksanaannya tidak dapat lepas dari sistem politiknya.
Karena itu Gunawan Muhammad dan Umar Kayam berpendapat, nilai budaya lokal
negara-negara berkembang dapat digali untuk mendukung pemahaman hak asasi
manusia. Persoalannya kemudian bagaimana mengangkat, mengkoordinir sesuai
dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Untuk itu, nilai-nilai asasi yang dimiliki
setiap bangsa perlu dipakai sebagai landasan utama di dalam mengambil
keputusan. Sehingga tidak ada kesan bicara hak asasi manusia bicara berproduk
asing yang dipaksakan, justru semua umat manusia itu hakikatnya sama.
Manusia yang disebut sebagai zoon
politicon (makhluk sosial/binatang berpolitik) oleh Aristoteles, justru
menuntut dan mengharuskan manusia bermasyarakat. Manusia, sejak awalnya memang
makhluk bermasyarakat, bermasyarakat berarti bertemu banyak pikiran orang atau
bertemunya pikiran massa, akan tetapi lebih baik dari pikiran orang per orang.
Munculnya pemikiran atau pendapat objektif, rasional dan jatuh hati kepada
kepentingan masyarakat akan muncul, bilamana jalur pemikiran bersama dilewati.
Persoalannya kemudian, sejauh mana pemikiran atau sampai keputusan
masyarakat/organisasi pemerintah menghormati orang per orang yang karena
keyakinan politiknya tetap berbeda. Disini hak-hak individu bertemu dengan
sisitem politik suatu negara.
Untuk itu, setiap individu diharapkan dan dianggap mengetahui sistem
hukum, politik dan pemerintah beserta
bentuk negaranya, sehingga dapat menghayati dan mengetahui minimal dasar negara
dan dapat memperkirakan aplikasi HAM di negaranya, sehingga tahu akan hak, tahu
kewajiban, tahu tanggung jawabnya, dan tahu pula kebebasannya sehingga dapat
melaksanakan ketentuan yang ada. Untuk itu, perlu diadakan penjelasan
terus-menerus, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh organisasi
kemasyarakatan, lembaga-lembaga sosial, lembaga agama, lembaga pendidikan dan
lain-lain tentang makna HAM.
2. HAM dan Kelompok Etnik
Kalau persoalan individu (perseorangan) dengan hak asasi manusia dapat
didekati lebih dahulu lewat hukum internasional, karena individu selain diakui
sebagai subjek hukum internasional juga oleh hukum nasional, sehingga memiliki
hak, kewajiban dan tanggung jawab tertentu.
Selanjutnya, perbedabatan tentang hak asasi kelompok etnik tertentu
(golongan minoritas) dapat pula diangkat sekaligus untuk memberi kejelasan
tentang hak-hak perseorangan anggota kelompok yang bersangkutan. Hal ini akan
berkembang terus sampai disetujuinya satu “modal” yang tepat.
Dalam negara nasional, kehidupan orang per orang dari berbagai etnik
yang sudah menjadi bagian warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban yang
sama. Untuk itu ada tiga hal yang perlu penjelasan lebih dahulu, pertama harus
ada tafsiran yang benar tentang pengaturan (secara otomatik) setiap negara
terhadap seluruh kelompok penduduk, kedua mengadakan observasi yang berkaitan
dengan keberadaan berbagai kelompok etnik, kelompok sosial dilihat dari aturan
hukum yang ada, dan ketiga posisi yang tepat dari berbagai kelompok. Dalam
negara federal ataupun negara yang memiliki multietnik merupakan kenyataan yang
sudah diterima. Kalau ternyata di dalam politik terjadi konflik antaretnik,
biasanya akibat dari sikap salah satu atau beberapa etnik yang ingin memaksakan
kehendaknya (budayanya), ingin menang sendiri ataupun faktor-faktor lain
(ekonomi misalnya) yang berakar pada sejarah bangsanya.
Sebuah resolusi majelis umum PBB no. 1514-XV, desember 1960 menegaskan “all peoples have the right to free
determination”. Resolusi tersebut merupakan penegasan atas pengakuan
individu (perseorangan) sebagai subjek hukum internasional. Namun, hak
perseorangan tersebut diharapakan tidak akan menggoyahkan integritas dan
persatuan nasional. Oleh karena itulah, hak perseorangan (hak individu) tetap
diakui yang berarti hak asasi individu (perseorangan) maupun hak etnik
(kelompok) dalam batas-batas tertentu tetap diakui.
Perkembangan
Konsep Hukum Internasional Tentang HAM
Perlindungan, pemajuan, pemenuhan serta penghormatan terhadap HAM, yang
menjadi concern seluruh dunia dewasa
ini, merupakan konsep dunia modern yang muncul setelah perang dunia kedua.
Secara historis, dapat dikatakan bahwa konsep HAM ini pada awalnya tumbuh
sebagai koreksi mendasar terhadap konsep negara nasional dalam bentuknya yang
merosot, seperti yang terlihat pada negara fasis, nazi, dan militeristik
sebelum dan selama perang dunia kedua itu.
Dalam
tahap berikutnya, perkembangan instrumen hak asasi ini dipengaruhi oleh perang
dingin antar blok barat yang liberalistic
dengan blok timur yang komunistik, yang masing-masingnya memberikan aksentuasi
yang berbeda terhadap konsep HAM itu. Blok barat mengutamakan hak sipil dan hak
politik, sedangkan blok timur menekankan
hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya. Pada tahun 1993, setelah berakhirnya
perang dingin, diperoleh momentum baru dalam perkembangan HAM ini, tanpa
terpecah oleh perbedaan ideologi antar negara.
Dengan
telah dihancurkannya negara-negara fasis Italia, nazi Jerman dan militeristik
Jepang, serta runtuhnya negara Marxis-feminis Uni Soviet dan berubahnya
ideologi Republik Rakyat Cina serta sisa-sisa negara komunis lainnya. Konsep
negara nasional yang demokratis pada umumnya kembali memainkan peranan penting.
Dewasa ini, perlindungan, pemajuan, peemenuhan, serta penghormatan HAM itu
telah merupakan tugas, tanggung jawab serta kehormatan negara nasional gaya
baru ini, yaitu negara nasional yang bukan saja demokratis tetapi juga member
tempat yang terhormat pada kemanusiaan.
Dalam
dasawarsa terakhir abad ke-20 yang lalu, komitmen negara-negar nasional
tersebut telah dilaksanakan dengan intensitas tinggi, di bawah paying PBB.
Kegiatan berbagai lembaga dalam jajaran PBB ini sedemikian intensif dan
ekstensifnya sehingga cakupan pengertian, instrument-instrumen dan lembaga yang
dirancang untuk melindungi HAM ini, berkembang dengan amat cepat dalam jumlah
yang amat banyak. Seluruhnya itu mengkristalisir dalam bentuk hukum internasional
HAM (international human rights law).
Hak-hak
Dalam Deklarasi Universal
Hak-hak
ini secara garis besar dapat dibagi dalam dua macam hak. Yang pertama yang
berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik, termasuk hak untuk hidup,
kebebasan, keamanan pribadi; kebebasan dari penganiayaan dan perbudakan;
partisipasi politik; hak-hak atas harta benda, perkawinan dan kebebasan dasar
untuk menyatakan pendapat, ungkapan, pikiran, suara hati dan agama, kebebasan
untuk berkumpul dan bersidang.
Yang
kedua adalah hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang berhubungan dengan
pekerjaan , tingkat kehidupan yang pantas, pendidikan dan kebebasan hidup
berbudaya. Selain itu, pasal pertama dari deklarasi menyatakan kemutlakan
hak-hak itu dipandang dari sudut persamaan martabat manusia; dan pasal kedua
menyatakan hak semua orang atas hak yang telah ditetapkan tanpa diskriminasi
apapun. Prioritas yang mendasari hak-hak yang diumumkan dalam deklarasi itu
dimuat dalam mukadimah deklarasi tersebut, yang dimulai dengan mengakui martabat
dan hal yang sama dan yang tidak dicabut dari semua anggota umat manusia.
Konsensus
masyarakat internasional, dinyatakan dalam konvensi hak-hak asasi manusia di
Teheran dalam tahun 1968 yang berbunyi bahwa “deklarasi universal menyatakan
pengertian umum dari bangsa-bangsa di dunia ini tentang hak-hak yang tidak dapt
dicabut dari semua aumat manusia dan merupakan suatu kewajiban bagi anggota
masyarakat internasinal. Tidak ada sanksi hukum yang dapat memaksa
negara-negara untuk mematuhi kewajiban ini. Seperti halnya dengan bidang-bidang
lain dalam hukum dan kebiasaan internasional adalah penarikan kembali
kepercayaan oleh negara-negara terhadap mereka yang tidak mau bekerja sama
dalam melaksanakan kewajibannya.
Hak Asasi
Manusia pada Awal Abad ke-21
Pada awal
abad ke-21 suasana yang melatarbelakangi kampanye internasional untuk memajukan
hak asasi secara global, kadang-kadang dinamakan Revolusi Hak Asasi (The Rights Revolution), telah mengalami
pukulan berat, terutama sesudah peristiwa 11 september 2001 di New York, perang
terhadap Afganistan, dan invasi terhadap koalisi Amerika Serikat dab Inggris
terhadap Irak. Kekuatan moral yang tadinya dimiliki oleh beberapa negara besar
(terutama Amerika Serikat dan Inggris) terhadap beberapa negara yang sering
disebut sebagai pelanggar hak asasi, sudah melemah, karena mereka sendiri telah
melakukan kekerasan serta pelanggaran hak asasi yang berat.
Selain
dari itu ancaman terorisme global telah memaksa banyak negara demokrasi untuk
memperketat keamanan nasional di negara masing-masing, sehingga membuat
undang-undang antiterorisme yang sedikit banyak mengurangi civil liberties yang tadinya sudah lama menjadi tradisi.
Masyarakatnya pada umumnya menerima pembatasan-pembatasan itu, tetapi menyadari
pula bahwa mereka ditantang untuk mencari paradigm baru untuk menyelaraskan
konsepsi mereka mengenai di satu pihak keamanan publik dan di pihak lain
kebebasan pribadi (public safety versus
private freedom).
Sementara
itu perjuangan di forum internasional untuk menegakkan hak asasi maju terus.
Pada tahun 2002 telah didirikan mahkamah pidana internasional (international criminal court atau ICC),
yang berwenang mengadili tindakaan kejahatan yang berat seperti genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Berdirinya badan ini
merupakan hasil persetujuan internasional atas suatu dokumen, Statuta Roma, yang disahkan pada tahun
1998.
Mahkamah
pidana internasional mempunyai kekuasaan besar, tetapi kekuasaan itu dibatasi
oleh ketentuan bahwa setiap pelanggaran yang akan diadili oleh Mahkamah Pidana
Internasional, memerlukan persetujuan dari Dewan keamanan. Salah satu
wewenangnya adalah menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu tindakan
yang melanggar hak, yang dinamakan Command
Responsibility.
Dewan
keamanan sebelumnya telah mendirikan beberapa badan pengadilan ad hoc seperti International Criminal Tribunal for ex Yugoslavia serta Rwanda untuk mengadili kejahatan perang
di daerah-daerah itu.
Mahkamah
Pidana Internasional masih harus membuktikan sejauh mana ia dapat bekerja
secara adil, efektif dan tanpa standar ganda. Kegiatan peace-keeping di bawah
payung PBB dengan melibatkan banyak negara anggotanya, mungkin akan terpengaruh
oleh kehadiran mahkamah ini, dalam arti bahwa ruang gerak bagi personel militer
di lapangan mungkin akan dirasakan lebih terbatas dibandingkan masa lalu.
Amerika Serikat yang menolak Statuta Roma serta Mahkamah Pidana Internasional,
telah mencoba untuk mendapat dukungan dari beberapa negara, agar tentaranya
yang terlibat sebagai peace-keeping force
tidak dikenakan sanksi dari Mahkamah Pidana Internasional itu. Hal itu
dilakukan karena persetujuan yang telah diperolehnya dari Dewan Keamanan selama
dua tahun tidak diperpanjang lagi.
Penegakan
HAM di Indonesia
Penegakan HAM dilakukan negara melalui dua jalur utama yaitu jalur
penegakan HAM melalui peraturan perundang-undangan, serta keputusan politik
baik dari DPR maupun pemerintah, dan kedua melalui mekanisme peradilan.
Terutama
pada masa pemerintahan B. J Habibie, pemerintah dan DPR telah menyetujui
sejumlah undang-undang nasional yang memberikan peluang bagi kehidupan yang
demokratis dan berpeluang memajukan HAM, yaitu:
1. UU. No. 8/1998 tentang kebebasan menyatakan pendapat.
2. UU. No. 39/1999 tentang HAM.
3. UU. No. 2/1999 tentang partai politik.
4. UU. No. 3/1999 tentang pemilihan umum.
5. UU. No. 26/1999 tentang pencabutan UU/penpres No.
11/1963 tentang pemberontakan kegiatan subversi.
6. UU. No. 35/1999 tentang perubahan atas UU. No. 14/1970
tentang kehakiman yang intinya mengalihkan penanganan masalah kehakiman dari
departemen kehakiman kepada MA.
Dengan adanya perubahan UU tersebut, diharapkan
lembaga peradilan dapat terbebas dari campur tangan pemerintah. Hal ini juga
sesuai dengan prinsip-prinsip trias
politica yang diakui dalam konsep HAM.
Upaya penegakan HAM melalui jalan peradilan atau
litigasi. Upaya penegakan HAM juga dapat dilakukan. Kita mengenal secara hukum
peradilan kita dibagi menjadi empat yaitu pengadilan umum (perdata dan pidana),
pengadilan tata usaha negara, pengadilan militer, dan pengadilan agama. Tempat
institusi pengadilan tersebut dapat menjadi mekanisme penyelesaian persoalan
HAM. Pengadilan umum perdata menyelesaikan sengketa antar pihak, pengadilan
umum pidana menyelesaikan kasus publik. Pengadilan tata usaha negara digunakan
untuk mengadili keputusan pejabat negara yang dianggap melanggar hak orang
tertentu. Sementara itu pengadilan militer digunakan untuk mengadili pelaku
yang berasal dari militer. Pengadilan agama menangani kasus-kasus untuk mereka
yang beragama islam secara khusus seperti sengketa perkawinan, waris islam dan
lain-lain. Secara khusus ada juga pengadilan koneksitas, yang menggabungkan
peradilan umum dan militer, ini hanya terjadi jika pelaku kejahatan berasal
baik dari sipil maupun militer.
Penegakan
HAM dalam Negara Hukum (berdasarkan) Pancasila
Penegakan hak-hak asasi manusia dalam negara hukum
(berdasarkan) pancasila, meliputi:
1. Pemahaman baru bahwa antara HAM dan pancasila tidak
ada suatu pertentangan konseptual tentang hakikat martabat manusia dan nilai
individu yang harus dilindungi.
2. Persyaratan bahwa pelaksanaan pemerintahan harus
berdasarkan sistem konstitusional yang mengakui, melindungi dan menjamin
hak-hak para warga negara.
3. Penegasan bahwa tidak terdapat perbedaan esensial
antara ide negara hukum dan pengertian negara hukum (berdasarkan) pancasila.
Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang mempunyai martabat
yang tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena
itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan
tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk
melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan
moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada
hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus
dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam
menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan
menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain. Pemerintah
berkuasa karena rakyat memberi kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan
negara, agar negara dapat memberi perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
Referensi
Levin, Leah. 1987. Hak-hak
Asasi Manusia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Budiyanto. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Syarbaini, Syahrial. 2002. Sosiologi dan Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Fikriyah, Siti. 2008. HAM Kewarganegaraan dan Konstitusi. Jakarta: Nobel Edumedia, 2008.
Effendi,
Masyur. 1993. HAM dalam Hukum Nasional
& Internasional. Malang: Ghalia Indonesia.
Bahar, Saafroedin.
2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi
Manusia. Jakarta: Multazam Mitra Prima.
Budiardjo, Miriam.
2009. Dasar-dasar Ilmu Politik Edisi
Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sudharmono.
1995. Konsepsi Hak-hak Asasi Manusia
Berdasarkan Pancasila. Malang: Usana Offset.
No comments:
Post a Comment