- Fokus Kajian Komunikasi Politik Menurut Disiplin Ilmu Politik
Kajian
komunikasi politik pada awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun penamaan
lebih banyak dikenal istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun 1922 dengan
penelitian dari Ferdinand Tonnies dan Walter Lippman yang meneliti tentang
opini publik dalam masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh Bagehot, Maine, Byrce,
dan Graha Wallas di Inggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini
publik. Bahkan ketika Harold D. Laswell menulis disertasi doktor tentang
Propaganda Technique in the World War (1927). Praktik propaganda berkembang terutama
menjelang perang dunia II ketika Nazi Jerman berhasil melakukan ekspansi dengan
gemilang dibawah propaganda Dr. Joseph Gobbel.
Meskipun
bahasan tentang peranan media massa dan pendapat umum secara parsial sudah
banyak dilakukan untuk mendukung teori dan kekuatan politik, tetapi belum
mengarah pada pembentukan studi komunikasi politik. Nanti setelah terjadi debat
di antara calon presiden Amerika Serikat tahun 1960 yang ditayangkan melalui
televisi, orang mulai banyak memberi perhataian terhadap media dalam
memengaruhi politik.[1]
Formula
Lasswell yang sudah lama dikenal, yaitu siapa, berkaat apa, kepada siapa,
melalui saluran apa, dan bagaimana efeknya, digunakan oleh Nimmo dalam
menjelaskan ruang lingkup komunikasi politik. Dengan formulasi itu, Nimmo
melakukan analisis tentang komunikasi politik, yaitu komunikator politik
(siapa), pesan-pesan politik (berkata apa), media komunikasi politik (melalui
saluran apa), khalayak politik (kepada siapa), dan efek politik (bagaimana
efeknya).
Dalam
penelitian komunikasi, formula Lasswell itu telah melahirkan model penelitian
yang dikenal dengan model Lasswell. Model ini menunjuk pada model analisi,
yaitu analisis sumber (siapa), analisis isi (berkata apa), analisis khalayak
(kepada siapa), analisis media (melalui saluran apa) dan analisis efek
(bagaimana efeknya). Dalam kaitan denagn kajian dan penelitian komunikasi
politik, model Lasswell tersebut banyak dipakai dalam rangka paradigma atau
perspektif mekanistis, sebagaimana dilakukan oleh Nimmo di atas.
Berdasarkan
ruang lingkup itu, terlihat bahwa Nimmo memasukkan hubungan pers dengan
pemerintah sebagai hubungan antara wartawan dengan pejabat pemerintah yang
keduanya digolongkan sebagai komunikator politik. Studi tentang media massa dan
media lainnya juga tercakup di dalamnya. Demikian juga tentang pernyataan
politik, protipe kelompok-kelompok kepentingan, dan pendapat umum, dan
dimasukkan ke dalam lingkup komunikasi politik.
Selain
itu, Kraus dan Davis (1976) melukiskan komunikasi politik sebagai proses
komunikasi massa dan elemen-elemen di dalamnya yang mungkin mempunyai dampak
terhadap perilaku politik. Dalam hal ini Davis membagi komunikasi politik
menjadi komunikasi massa dan sosialiasasi politik, komunikasi massa dan proses
pemilihan umum, komunikasi dan informasi politik, penggunaan media dan proses
politik, dan konstruksi realitas politik dalam masyarakat. Dalam semua segi itu
tercakup di dalamnya masalah hubungan media massa dengan pemerintah.
Ilmuwan
lain yang tegas menunjuk hubungan media massa dengan pemerintah sebagai bagian
pentingh dari studi komunikasi politik ialah Rivers (1980) dan kawan-kawan.
Mereka menyebutkan empat bidang penelitian komunikasi politik yang penting.
Pertama, pengaruh pemerintah terhadap media, yakni studi tentang peraturan, hukum,
pengendalian ekonomi, aturan-aturan pengumpulan berita, dan penyensoran. Kedua,
sistem informasi pemerintahan yang meliputi saluran informasi formal maupun
informal mengenai personel pemerintahan. Ketiga, adalah dampak media terhadap
pemerintah seperti penggunaan media oleh para pejabat, dan dampak pemberitaan
terhadap perilaku pejabat. Keempat, terpusat pada media, kelembagaan, isi
berita, dan aspek-aspek lain yang dipelajari melalui analisi isi.
Akhirnya,
harus diingat bahwa komunikasi politik, dapat disebut sebagai himpunan
kajian-kajian yang sudah lama ada, yaitu retorika politik, agitasi politik,
propaganda politik, dan pendapat umum. Semuanya itu saat ini menjadi cakupan
komunikasi politik dan public relation politik.[2]
- Fokus Kajian Komunikasi Politik Menurut Disiplin Ilmu Komunikasi
Berdasarkan
ruang lingkupnya, berdasarkan pelaksanaan kegiatan komunikasi dapat dibagi
atas:
1. Komunikasi
internal (dalam lingkungan sendiri, rumah tangga, kantor, lembaga, organisasi,
perusahaan)
2. Komunikasi
eksternal (dengan pihak lain/luar atau khalayak/publik)
Sedangkan
ruang lingkup ilmu komunikasi berdasarkan pola hubungan ketika melakukan
kegiatan komunikasi, dapat dibagi atas:
1. Komunikasi
vertikal
2. Komunikasi
horizontal
3. Komunikasi
diagonal.
Sedangkan
ruang lingkup jenis dapat dibedakan dalam penggolongan jenis-jenis komunikasi
berikut ini:
1. Komunikasi interpersonal (antar pribadi)
2. Komunikasi
kelompok (organisasional)
3. Komunikasi
massa[3]
Komunikasi
politik adalah sebuah studi yang interdisiplinari. Yang dibangun atas berbagai
macam disiplin ilmu, terutama dalam hubungannya antara proses komunikasi dan
proses politik. Ia merupakan wilayah pertarungan dan dimeriahkan oelh
persaingan teori, pendekatan, agemda dan konsep dalam membangun jati dirinya.
Oleh karena itu pula, komunikasi yang membicarakan tentang politik kadang
diklaim sebagai studi tentang aspek-aspek politik dari komunikasi publik, dan
sering dikaitkan sebagai komunikasi kampanye pemilu karena mencakup masalah
persuasi terhadap pemilih, debat antarkadidat. Dan penggunaan media massa
sebagai alat kampanye.
Menurut
Lucian Pye, antara komunikasi dan politik memiliki hubungan yang erat dan
istimewa karena berada dalam kawasan politik dengan menempatkan komunikasi pada
posisi yang sangat fundamental. Galnoor misalnya mengatakan bahwa tanpa
komunikasi, tidak akan ada usaha bersama, sehingga tidak ada politik.[4]
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwasanya antara komunikasi dan politik bisa
tidak saling terpisahkan, terutama dalam hal ruang lingkup yaitu dalam hal
khalayak ramai, media massa dan lain sebagainya yang dijadikan bahan kajian
utamanya.
Sebagai
halnya dengan disiplin komunikasi lainnya, komunikasi politik sebagai body of knowledge juga terdiri atas
berbagai unsur, yakni: sumber (komunikator), pesan, media atau saluran,
penerima dan efek.[5]
Kesimpulan
Komunikasi
dan politik merupakan suatu hal yang berbeda. Namun bisa terbentuk karena
adanya hal-hal yang terjadi didalamnya. Komunikasi politik dari segi ilmu
politik memiliki ruang lingkup yang luas, mulai dari propaganda yang merupakan
yang menjadi hal utama, media massa, proses pemilihan umum, kampanye dan
sebagainya. Sementara itu komunikasi politik dari segi pandangan ilmu
komunikasi juga memiliki ruang lingkup yang sama namun tidak seluas seperti
yang benar-benar dideskripsikan di dalam politik. Komunikasi merupakan suatu
interaksi, sementara itu politik merupakan suatu hal yang sangat erat dan
sering dikaitkan dengan kekuasaan. Oleh karena itu banyak orang yang mengatakan
bahwa komunikasi politik merupakan cara interaksi untuk memperoleh kekuasaan
sehingga hal ini sering dikatakan sebagai sebuah propaganda. Banyak orang juga
berpendapat bahwa komunikasi politik juga sering dihubung-hubungkan dengan
pemerintah, hal ini mungkin karena salah satu subjek dari komunikasi politik
adalah pemerintah. Hal ini memang benar-benar tidak dapat dipungkiri
sebagaimana yang kita lihat saat ini komunikasi politik sebagian besar
dilakukan oleh pemerintah.
Referensi
Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan
Strategi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Rudy, T. May & Mir. 2005. Komunikasi & Hubungan Masyarakat
Internasional. Bandung: Refika Aditama.
Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi Politik: Paradigma, Teori,
Aplikasi, Strategi & Komunikaso Politik Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
[1]
Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan
Strategi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), Hlm: 32-33.
[2]
Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori,
Aplikasi, Strategi & Komunikaso Politik Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), Hlm: 10-11.
[3]
[3] T. May Rudy & Mir, Komunikasi & Hubungan Masyarakat
Internasional (Bandung: Refika Aditama, 2005), Hlm: 12.
[4]
Hafield Cangara, Ibid., Hlm: 16.
[5]
Hafield Cangara, Ibid., Hlm: 20.
No comments:
Post a Comment