Wednesday 28 March 2012

Hukum Internasional Sebagai Parameter Power

Pendahuluan
            Hukum internasional merupakan keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan nasional) yang bukan bersifat perdata. Hukum internasional juga dapat diartikan dengan membuat rumusan sebagai suatu keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari sendi-sendi dan aturan-aturan perilaku terhadap aman negara-negara merasakan dirinya terikat untuk menaatinya dalam hubungan antara negara itu satu dengan lainnya.
Hukum Internasional Sebagai Parameter Power
            Hukum internasional tidak hanya sekedar cerminan atas prinsip-prinsip warisan masa lalu yang akan melahirkan dasar-dasar bagi kepentingan ekonomi, sosial dan politik, akan tetapi “it is in large part of determined” dari semua aspek-aspek tersebut.
            Di sisi lain, merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat internasional dalam kaitannya dengan interaksi hubungan antar bangsa (relations of states) diperlukan suatu upaya untuk memeprsatukan berbagai faktor sebagaimana terdapat dalam hubungan antarnegara (unifying factors in the relations of state) yakni masalah: bagaimanakah kedudukan masyarakat negara-negara (community of states) dalam konstelasi era modern yang didasari oleh prinsip-prinsip “common welfare of the nations as the body”.
            Untuk menujuu cita-cita kesejahteraan umum bangsa-bangsa sebagai suatu badan, dengan melalui suatu badan-badan pemerintahan yang terpusat (central agency of government) yang mengatur ke dalam suatu kelompok kolektivitas. Ada aturan-aturan yang mengarahkan wacana hubungan-hubungan antarnegara-negara ke dalam sebuah kolektivitas tersebut disebut sebagai hukum internasional. Aturan-aturan yang dilakukan dengan melalui hukum internasional ini oleh negara-negara dalam kerangka hubungan antarnegara, bersifat normatif di samping dalam hubungan tersebut dibatasi oleh prinsip-prinsip kedaulatan nasional masing-masing negara, dan akan dijadikan karakteristik identitas utama.
            Jadi, hukum internasional yang dipahami adalah senantiasa ditempatkan ke dalam sekumpulan pengaturan-pengaturan yang mengikat kolektivitas politik yang dalam hal ini adalah negara-negara yang melakukan interaksi di dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Pengaturan-pengaturan tersebut dilihat dalam pengertian yang sangat mendasar, meliputi berbagai aktivitas hubungan antarnegara. Dan sebagai salah satu dari aktivitas tersebut terdapat dalam kegiatan diplomasi.
            Terdapat empat pandangan dalam hukum internasional. Pandangan pertama datang dari Kaum Naturalis yang mengatakan bahwa hukum dan peraturan semuanya berasal dari Tuhan, dan oleh karenanya hukum tersebut bersifat universal dan tidak dapat diubah. Naturalis melihat adanya sebuah hukum yang berlaku secara universal, namun menyetujui adanya kemungkinan suatu perang terjadi. Masalah dalam pandangan Kaum Naturalis ini terletak dalam definisi apakah hukum Tuhan itu sendiri. Melihat berbagai perbedaan yang terdapat dalam agama, budaya, dan moralitas di dunia, jelaslah bahwa standar internasional yang berdasar pada pandangan Naturalis akan menghadapi tugas yang sulit. Pandangan yang kedua merupakan pandangan dari Kaum Positifis. Dalam pandangannya, Kaum Positifis menolak kekuasaan Ilahi sebagai dasar dari hukum, Kaum Positifis berpendapat dasar dari hukum internasional adalah subjek pembuat hukum itu sendiri. Pandangan Kaum Positifis ini mendapat dua kritik. Pertama, pandangan tersebut seakan membolehkan aktor internasional untuk menolak hukum internasional hanya dengan mengatakan mereka tidak lagi setuju pada hukum tersebut. Kedua, pandangan tersebut membuat aktor internasional dapat memutuskan apa yang mereka inginkan menjadi hukum dan peraturan yang harus ditaati bersama. Bagi Kaum Naturalis, pandangan ini sangat tidak bermoral. Pandangan ketiga dalam hukum internasional merupakan pandangan Kaum Ekletik. Pandangan tersebut menyetujui adanya dua macam hukum internasional. Hukum yang pertama merupakan hukum yang bersumber dari Tuhan, yang bersifat universal dan kekal. Sedang hukum yang kedua adalah hukum buatan manusia yang bersifat terbatas dan dilakukan atas dasar sukarela. Bagi Kaum Ekletik, hukum buatan manusia merupakan interpretasi dari manusia mengenai hukum Ilahi. Pandangan keempat datang dari Kaum Neorealis, yang mengatakan bahwa hukum internasional sebenarnya hanya merupakan produk dari pihak yang berkuasa. Hukum internasional tidak universal dan tidak kekal. Bagi Kaum Neorealis, hukum internasional adalah hasil dari power/kekuasaan.
            Pembahasan soal tempat atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif pula dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya, di antaranya ialah bidang hukum yang paling penting ialah ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaannya masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional.
            Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat. Dalam hukum internasional, hubungan yang ada bersifat koordinasi (kerjasama), mengingat negara-negara di dunia sama derajatnya, bukan bersifat subordinasi layaknya hukum nasional.
Menurut ahli seperti John Austin, Spinoza, dan lainnya, hukum internasional bukanlah hukum, dengan alasan: Hukum internasional tidak memiliki kekuasaan eksekutif yang kuat. Hukum internasional bersifat koordinasi, tidak subordinasi. Hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, yudikatif, dan polisional. Hukum internasional tidak bisa memaksakan kehendak masyarakat internasional.
            Hukum internasional berdasar pada pikiran masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang bedaulat dan merdeka. Maksudnya, masing-masing negara berdiri sendiri dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain sehingga merupakan suatu tertib hukum antara anggota masyarakat ineternasional yang ada. Dalam sistem hukum internasional tidak ada kekuatan tertinggi yang dapat memaksakan keputusannya kepada negara-negara yang diaturnya. Tidak ada badan legislatif internasional yang membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung negara-negara anggota, disamping tidak adanya angkatan bersenjata untuk melaksanakan sanksi-sanksi kepada negara-negara pelanggar hukum. Walaupun Hukum Internasional masih jauh dari bentuk supranasional, tetapi sistem hukum tersebut telah berhasil merumuskan berbagai asas dan ketentuan hukum yang mengatur segala macam hubungan dan kegiatan masyarakat internasional yang kian hari makin padat dan kompleks di era globalisasi ini.
            Seperti telah dikatakan, masyarakat internasional dalam bentuknya sekarang merupakan suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara yang masing-masing berdaulat. Dalam taat masyarakat internasional yang demikian, tidak pula terdapat suatu badan legislatif maupun kekuasaan kehakiman dan polisional yang dapat memaksakan berlakunya kehendak masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam kaidah hukumnya. Pendapat yang demikian kiranya perlu ditinjau ulang, sebab keraguan akan keberadaan lembaga eksekutif, legeslatif , yudikatif serta polisional dalam hukum internasional telah digantikan oleh peranan beberapa bidang khusus sejak dibentuknya Organisasi Internasional PBB. Keberadaan lembaga pembuat undang-undang atau legislatif dapat digantikan oleh kesepakatan-kesepatan yang dibuat oleh dan diantara subyek hukum Internasional baik yang bersifat bileteral, atau multilateral. Hal ini karena kedudukan negara sebagai subyek hukum Internasional adalah koordinatif atau sejajar.

Kesimpulan
            Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain
oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia.
                Hukum internasional berdasar pada pikiran masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang bedaulat dan merdeka. Maksudnya, masing-masing negara berdiri sendiri dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain sehingga merupakan suatu tertib hukum antara anggota masyarakat inetrnasional yang ada. Dalam sistem hukum internasional tidak ada kekuatan tertinggi yang dapat memaksakan keputusannya kepada negara-negara yang diaturnya. Hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, yudikatif, dan polisional. Hukum internasional tidak bisa memaksakan kehendak masyarakat internasional. Walaupun Hukum Internasional masih jauh dari bentuk supranasional, tetapi sistem hukum tersebut telah berhasil merumuskan berbagai asas dan ketentuan hukum yang mengatur segala macam hubungan dan kegiatan masyarakat internasional yang kian hari makin padat dan kompleks di era globalisasi ini.

Referensi
Kusumaatmadja, Mochtar & R. Agoe, Etty. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni.
Sitepu, P. Anthonius. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
https://masniam.wordpress.com/2011/06/27/%E2%80%8E-dalam-sistem-hukum-internasional-tidak-ada-kekuatan/

No comments:

Post a Comment