Pendahuluan
Hukum
internasional merupakan keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan nasional) yang
bukan bersifat perdata. Hukum internasional juga dapat diartikan dengan membuat
rumusan sebagai suatu keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari
sendi-sendi dan aturan-aturan perilaku terhadap aman negara-negara merasakan
dirinya terikat untuk menaatinya dalam hubungan antara negara itu satu dengan
lainnya.
Hukum
Internasional Sebagai Parameter Power
Hukum
internasional tidak hanya sekedar cerminan atas prinsip-prinsip warisan masa
lalu yang akan melahirkan dasar-dasar bagi kepentingan ekonomi, sosial dan
politik, akan tetapi “it is in large part
of determined” dari semua aspek-aspek tersebut.
Di sisi lain, merupakan suatu
kebutuhan bagi masyarakat internasional dalam kaitannya dengan interaksi
hubungan antar bangsa (relations of
states) diperlukan suatu upaya untuk memeprsatukan berbagai faktor
sebagaimana terdapat dalam hubungan antarnegara (unifying factors in the relations of state) yakni masalah:
bagaimanakah kedudukan masyarakat negara-negara (community of states) dalam konstelasi era modern yang didasari oleh
prinsip-prinsip “common welfare of the
nations as the body”.
Untuk menujuu
cita-cita kesejahteraan umum bangsa-bangsa sebagai suatu badan, dengan melalui
suatu badan-badan pemerintahan yang terpusat (central agency of government) yang mengatur ke dalam suatu kelompok
kolektivitas. Ada aturan-aturan yang mengarahkan wacana hubungan-hubungan
antarnegara-negara ke dalam sebuah kolektivitas tersebut disebut sebagai hukum
internasional. Aturan-aturan yang dilakukan dengan melalui hukum internasional
ini oleh negara-negara dalam kerangka hubungan antarnegara, bersifat normatif
di samping dalam hubungan tersebut dibatasi oleh prinsip-prinsip kedaulatan
nasional masing-masing negara, dan akan dijadikan karakteristik identitas
utama.
Jadi, hukum internasional yang
dipahami adalah senantiasa ditempatkan ke dalam sekumpulan
pengaturan-pengaturan yang mengikat kolektivitas politik yang dalam hal ini
adalah negara-negara yang melakukan interaksi di dalam hubungannya dengan
negara-negara lain. Pengaturan-pengaturan tersebut dilihat dalam pengertian
yang sangat mendasar, meliputi berbagai aktivitas hubungan antarnegara. Dan
sebagai salah satu dari aktivitas tersebut terdapat dalam kegiatan diplomasi.
Terdapat empat
pandangan dalam hukum internasional. Pandangan pertama datang dari Kaum Naturalis yang mengatakan bahwa hukum
dan peraturan semuanya berasal dari Tuhan, dan oleh karenanya hukum tersebut bersifat universal dan
tidak dapat diubah. Naturalis melihat adanya sebuah hukum yang berlaku secara universal, namun menyetujui adanya kemungkinan suatu
perang terjadi. Masalah dalam
pandangan Kaum Naturalis ini terletak dalam definisi apakah hukum Tuhan itu
sendiri. Melihat berbagai
perbedaan yang terdapat dalam agama, budaya, dan moralitas di dunia, jelaslah
bahwa standar internasional
yang berdasar pada pandangan Naturalis akan menghadapi tugas yang sulit.
Pandangan yang kedua
merupakan pandangan dari Kaum Positifis. Dalam pandangannya, Kaum Positifis
menolak kekuasaan Ilahi
sebagai dasar dari hukum, Kaum Positifis berpendapat dasar dari hukum
internasional adalah subjek pembuat hukum itu sendiri. Pandangan Kaum Positifis ini mendapat dua
kritik. Pertama, pandangan tersebut seakan membolehkan aktor internasional untuk menolak hukum
internasional hanya dengan mengatakan mereka tidak lagi setuju pada hukum tersebut. Kedua, pandangan
tersebut membuat aktor internasional dapat memutuskan apa yang mereka inginkan menjadi hukum dan peraturan
yang harus ditaati bersama. Bagi Kaum Naturalis, pandangan ini sangat tidak bermoral. Pandangan
ketiga dalam hukum internasional merupakan pandangan Kaum Ekletik. Pandangan tersebut menyetujui adanya
dua macam hukum internasional.
Hukum yang pertama merupakan hukum yang bersumber dari Tuhan, yang bersifat
universal dan kekal.
Sedang hukum yang kedua adalah hukum buatan manusia yang bersifat terbatas dan
dilakukan atas dasar
sukarela. Bagi Kaum Ekletik, hukum buatan manusia merupakan interpretasi dari
manusia mengenai hukum
Ilahi. Pandangan keempat datang dari Kaum Neorealis, yang mengatakan bahwa hukum internasional sebenarnya hanya
merupakan produk dari pihak yang berkuasa. Hukum internasional tidak universal dan tidak kekal. Bagi Kaum
Neorealis, hukum internasional adalah hasil dari power/kekuasaan.
Pembahasan soal tempat atau
kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan
atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum internasional
merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian
tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai
suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam
kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif pula dengan ketentuan atau
bidang hukum lainnya, di antaranya ialah bidang hukum yang paling penting ialah
ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaannya
masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional.
Masyarakat
internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum
koordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan
berdaulat. Dalam hukum internasional, hubungan yang ada bersifat koordinasi
(kerjasama), mengingat negara-negara di dunia sama derajatnya, bukan bersifat
subordinasi layaknya hukum nasional.
Menurut ahli seperti John Austin, Spinoza, dan lainnya, hukum internasional bukanlah hukum, dengan alasan: Hukum internasional tidak memiliki kekuasaan eksekutif yang kuat. Hukum internasional bersifat koordinasi, tidak subordinasi. Hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, yudikatif, dan polisional. Hukum internasional tidak bisa memaksakan kehendak masyarakat internasional.
Menurut ahli seperti John Austin, Spinoza, dan lainnya, hukum internasional bukanlah hukum, dengan alasan: Hukum internasional tidak memiliki kekuasaan eksekutif yang kuat. Hukum internasional bersifat koordinasi, tidak subordinasi. Hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, yudikatif, dan polisional. Hukum internasional tidak bisa memaksakan kehendak masyarakat internasional.
Hukum internasional berdasar pada
pikiran masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang
bedaulat dan merdeka. Maksudnya, masing-masing negara berdiri sendiri dan tidak
berada di bawah kekuasaan negara lain sehingga merupakan suatu tertib hukum
antara anggota masyarakat ineternasional yang ada. Dalam sistem hukum
internasional tidak ada kekuatan tertinggi yang dapat memaksakan keputusannya
kepada negara-negara yang diaturnya. Tidak ada badan legislatif internasional
yang membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung negara-negara
anggota, disamping tidak adanya angkatan bersenjata untuk melaksanakan sanksi-sanksi
kepada negara-negara pelanggar hukum. Walaupun Hukum Internasional masih jauh
dari bentuk supranasional, tetapi sistem hukum tersebut telah berhasil
merumuskan berbagai asas dan ketentuan hukum yang mengatur segala macam
hubungan dan kegiatan masyarakat internasional yang kian hari makin padat dan
kompleks di era globalisasi ini.
Seperti telah dikatakan, masyarakat
internasional dalam bentuknya sekarang merupakan suatu tertib hukum koordinasi
dari sejumlah negara yang masing-masing berdaulat. Dalam taat masyarakat
internasional yang demikian, tidak pula terdapat suatu badan legislatif maupun
kekuasaan kehakiman dan polisional yang dapat memaksakan berlakunya kehendak
masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam kaidah hukumnya. Pendapat yang demikian kiranya perlu ditinjau ulang, sebab
keraguan akan keberadaan lembaga eksekutif, legeslatif , yudikatif serta
polisional dalam hukum internasional telah digantikan oleh peranan beberapa bidang
khusus sejak dibentuknya Organisasi Internasional PBB. Keberadaan lembaga
pembuat undang-undang atau legislatif dapat digantikan oleh
kesepakatan-kesepatan yang dibuat oleh dan diantara subyek hukum Internasional
baik yang bersifat bileteral, atau multilateral. Hal ini karena kedudukan
negara sebagai subyek hukum Internasional adalah
koordinatif atau sejajar.
Kesimpulan
Hukum
internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala
internasional. Adanya masyarakat internasional
ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan
yang disebabkan antara lain
oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia.
oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia.
Hukum
internasional berdasar pada pikiran masyarakat internasional yang terdiri atas
sejumlah negara yang bedaulat dan merdeka. Maksudnya, masing-masing negara
berdiri sendiri dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain sehingga
merupakan suatu tertib hukum antara anggota masyarakat inetrnasional yang ada.
Dalam
sistem hukum internasional tidak ada kekuatan tertinggi yang dapat memaksakan
keputusannya kepada negara-negara yang diaturnya. Hukum
internasional tidak memiliki lembaga legislatif, yudikatif, dan polisional. Hukum
internasional tidak bisa memaksakan kehendak masyarakat internasional. Walaupun
Hukum Internasional masih jauh dari bentuk supranasional, tetapi sistem hukum
tersebut telah berhasil merumuskan berbagai asas dan ketentuan hukum yang
mengatur segala macam hubungan dan kegiatan masyarakat internasional yang kian
hari makin padat dan kompleks di era globalisasi ini.
Referensi
Kusumaatmadja,
Mochtar & R. Agoe, Etty. 2003. Pengantar
Hukum Internasional. Bandung: Alumni.
Sitepu,
P. Anthonius. 2011. Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
https://masniam.wordpress.com/2011/06/27/%E2%80%8E-dalam-sistem-hukum-internasional-tidak-ada-kekuatan/
No comments:
Post a Comment