Thursday, 8 March 2012

KAJIAN FIQH SIYASAH DAN PERKEMBANGANNYA

Secara global hukum islam dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia kepada Tuhannya (‘ibadah) danhukum yang mengatur antara sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan secara umum (mu’amalah). Bagian pertama mencakup antara lain peraturan-peraturan tentang sholat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan bagian kedua dapat dipecah-pecah lagi menjadi beberapa bagian. Yang terpenting diantaranya adalah mu’amalah (secara khusus berkaitan dengan persoalan-persoalan ekonomi seperti jual-beli, perjanjian dan utang-piutang), jinayah (pidana) dan hukum perkawinan (munakahat).
Fiqh siyasah memegang peranan penting dan kedudukan penting dalam penerapan dan aktualisasi hukum islam secara keseluruhan. Dalam fiqh siyasah-lah diatur bagaimana sebuah ketentuan hukum islam bisa berlaku secara efektif dalam masyarakat islam. Tanpa keberadaan negara dan pemerintahan, ketentuan hukum islam akan sulit sekali terjamin keberlakuannya. Barangkali untuk masalah ibadah tidak etrlalu banyak campur tangan siyasah. Tapi untuk urusan kemasyarakatan yang kompleks, umat islam membutuhkan fiqh siyasah.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyasah. si antaranya ada yang menetapkan lima bidang. Namun ada pula yang menetapkannya kepada empat atau tiga bidang pembahasan. Bahkan ada sebagian ulama yang membagi ruang lingkup kajian fiqh siyasah menjadi delapan bidang. Namun perbedaan ini sebenarnya tidak terlalu perinsip, karena hanya bersifat teknis.
Berdasarkan perbedaan pendapat di atas, pembagian fiqh siyasah dapat disederhanakan menjadi tiga bagian poko. Pertama,  politik perundang-undangan (al-siyasah al dusturiyah). Kedua, politik luar negeri (al-siyasah al-kharijiyah). Ketiga, politik keuangan dan moneter (al-siyasah al-maliyah).
Selain sumber Al-Qur’an dan sunnah, Ahmad Sukardja mengungkapkan sumber kajian fiqh siyasah berasal dari manusia itu sendiri dan lingkungannya, seprti pandangan para pakar politik, ‘urf atau kebiasaan masyarakat yang bersangkutan, adat istiadat setempat, pengalaman masa lalu dan aturan-aturan yang pernah dibuat sebelumnya.
Objek kajian fiqh siyasah adalah tentang hubungan antara masyarakat dan rakyatnya dalam upaya menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatn bersama. Hubungan ini meliputi masalah-masalah kebijaksanaan perundang-undangan, hubungan luar negeri dalam masa damai dan perang serta kebijaksanaan keuangan dan moneter. Dalam sejarah islam, siyasah telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad setelah beliau berada di Madinah. Di sini Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, sebagai Rasul utusan Allah dan sebagai kepala negara Madinah. Setelah beliau wafat, fungsi kedua ini dilanjutkan oleh al Khulafa’al-Rasyidun.
1.      Periode Klasik
Ciri yang menandai perkembangan kajian fiqh siyasah pada periode klasik adalah kemapanan yang etrjadi di dunia Islam. Secara politik, Islam memegang kekuasaan dan pengaruhnya di pentas inetrnasional. Pada periode ini terdapat dua dinasti, yaitu Bani Umaiyah (661-750 M) dan Bani Abbas (750-1258 M). pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, kajian fiqh siyasahmasih belum muncul. Bani  Umaiyah lebih mengarahkan kebijaksanaan politiknya pada pengembangan wilayah kekuasaan. Memang ada kelompok oposisi, seperti Khawarij dan Syi’ah pada masa ini, tetapi tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Pemikiran-pemikiran dan gerakan meereka pun cenderung radikal dan ekstrem dalam menentang kekuasaan Bani Umaiyah. Pada masa daulat Bani Abbas barulah kajian fiqh siyasah ini mulai dikembangkan. Namun demikian, kuatnya pengaruh negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para ulama ketika itu cenderung mendukung kekuasaan. Inilah yang terjadi di kalangan ulama Sunni pada umumnya.
2.      Periode Pertengahan
Periode pertengahan ditandai dengan hancurnya kerajaan Abbasiyah pada 1258 M di tangan tentara Mongol. Pada masa ini kekuatan politik islam mengalami  kemunduran. Karena itu, kecenderungan pemikiran Islam mengalami kemunduran. Tokoh yang mengalami langsung tragedi penyerangan tentara Mongol ke Baghdad adalah Ibn Taimiyah (1263-1328 M). Ibn Taimiyah mempunyai pemikiran siyasah yangs edikit berbeda dengan pemikir Sunni abad klasik. Berbeda dengan Sunni pemikir sebelumnya, Ibn Taimiyah tidak memandang institusi imamah sebagai kewajiban Syar’I, tetapi hanya kebutuhan praktis saja. Ibn Taimiyah oun tidak mengungkapkan secara tegas syarat Quraisy sebagai kepala negara. Ia hanya menegaskan dua syarat untuk menjadi kepala negara, yaitu kejujuran (al-amanah) dan kewajiban atau kekuatan (al-quwwah). Kedua hal ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan kedua syarat ini akan tercipta keadilan dalam masyarakat yang merupakan cita-cita dan tujuan utama syari’at islam.
Pemikir Sunni lainnya yang juga membahas siyasah adalah Ibn Khaldun (1332-1406 M). Pandangan politiknya antara lain tertuang dalam karyanayy Muqaddimah. Di antara tesisnya yang ebrbeda dengan pemikir Sunni lainnya adalah interprestasinya yang kontekstual terhadap hadis Nabi yang mensyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Ia menganggap hadis ini bersifat kondisional. Karenanya, suku mana saja memegang posisi puncak pemerintahan islam, selama ia mempunyai kemampuan dan kecakapan. Jadi syarat suku Quraisy bagi Ibn Khaldun bukanlah “harga mati”.
Pemikir islam lainnya yaitu Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762 M). syah Waliyullah membenarkan pembakangan rakyat terhadap kepala negara yang tiran dan zalim. Syah Waliyullah bahkan menegaskan bahwa pemerintahan pada periode pasca al0khulafa’al-rasyidun hanyalah berbeda sedikit saja dari kerajaan Romawi dan kekaisaran Persia.
3.      Periode Modern
Periode modern ditandai dengan oleh semakin lemahnya dunia Islam di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Hampir seluruh negeri muslim berada di bawah imperialisme dan kolonialisme Barat. Dalam lapangan politik, sikap pertama melahirkan aliran yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik dan kenegaraan. Sikap kedua melahirkan aliran yang berpandangan bahwa Islam hanya memberikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Sedangkan sikap ketiga melahirkan aliran sekularisme yang memisahkan kehidupan politik dari agama. Pemikiran inilah yang selanjutnya berkembang hingga masa kontemporer.
Menurut pemikir tokoh-tokoh aliran pertama meereka memandang Islam sebagai sueprmarket yang menyediakan segala kebutuhan hidup manusia dan manusia tinggal hanya melaksanakan saja ketentuan-ketentuan tersebut. secara umum pemikir-pemikir kelompok pertama ini juga masih mendambakan adanya negara universal yang menyatukan seluruh dunia Islam. Selain itu mereka memandang Barat sebagai musuh Islam. Oleh sebab itu, segala yang datang dari barat ahrus ditolak, karena tidak sesuai dengan kepribadian Islam. Pemikir kelompok kedua yaitu Ali ‘Abd al-raziq memandang bahwa Islam tidak mempunyai tata aturan tentang politik. Nabi Muhammad SAW diuts tidak lain hanyalah untuk menjadi rasul dan tidak berpretensi utnuk membentuk negara dan kekuatan politik. Menurut Thaha Husein, supaya Mesir dan umat Islam umunya dapat meraih kemajuan, makam jalan satu-satunya adalah dengan meniru dan mengadopsi peradaban barat. Sedangkan menurut pemikir ketiga yaitu Abduh berpendapat bahwa kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh manusia. Abduh menambakan, Islam juga mengatur hukum-hukum tentang masalah-masalah hubungan antar manusia. Agar hukum tersebut berjalan secara efektif, maka diperlukan pemimpin atau kepala negara yang akan melaksanakan dan megawasi pelaksanaannya. Namun deikian, kepala negara tersebut bukanlah wakil Tuhan, melainkan hanya pemimpin politik. Karenanya, ia tidak memiliki kekuasaan keagamaan seperti dalam agama Kristen.
Kesimpulan
            Bidang-bidang kajian fiqh siyasah antara lain membicarakan tentang siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya dan kepada siapa pelaksana kekuasaan mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Fiqh siyasah dapat disederjanakan menjadi tiga bagian pokok. Antara lain, pertama mengenai politik perundang-undangan, kedua politik luar negeri dan yang ketiga politik keuangan dan moneter.
            Sumber kajian fiqh siyasah berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Secara garis besar, sumber fiqh siyasah dapat dibagi menjadi sumber primer dan sekunder. Dr. Fathiyah al-Nabrawi membagi sumber-sumber fiqh siyasah kepada tiga bagian, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, sumber-sumebr tertulis selain AL-Qur’an dan Sunnah,serta Sumber-sumber yang berupa peninggalan-peninggalan kaum muslimin terdahulu. Dalam perkembangannya fiqh siyasah terbagi menjadi tiga yaitu klasik, pertengahan dan zaman modern.

Referensi
            Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

No comments:

Post a Comment