Secara
global hukum islam dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu hukum yang
mengatur hubungan manusia kepada Tuhannya (‘ibadah) danhukum yang mengatur
antara sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan secara umum (mu’amalah).
Bagian pertama mencakup antara lain peraturan-peraturan tentang sholat, puasa,
zakat dan haji. Sedangkan bagian kedua dapat dipecah-pecah lagi menjadi
beberapa bagian. Yang terpenting diantaranya adalah mu’amalah (secara khusus
berkaitan dengan persoalan-persoalan ekonomi seperti jual-beli, perjanjian dan
utang-piutang), jinayah (pidana) dan hukum perkawinan (munakahat).
Fiqh
siyasah memegang peranan penting dan kedudukan penting dalam penerapan dan
aktualisasi hukum islam secara keseluruhan. Dalam fiqh siyasah-lah diatur bagaimana
sebuah ketentuan hukum islam bisa berlaku secara efektif dalam masyarakat
islam. Tanpa keberadaan negara dan pemerintahan, ketentuan hukum islam akan
sulit sekali terjamin keberlakuannya. Barangkali untuk masalah ibadah tidak
etrlalu banyak campur tangan siyasah. Tapi untuk urusan kemasyarakatan yang
kompleks, umat islam membutuhkan fiqh siyasah.
Para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyasah. si
antaranya ada yang menetapkan lima bidang. Namun ada pula yang menetapkannya
kepada empat atau tiga bidang pembahasan. Bahkan ada sebagian ulama yang
membagi ruang lingkup kajian fiqh siyasah menjadi delapan bidang. Namun
perbedaan ini sebenarnya tidak terlalu perinsip, karena hanya bersifat teknis.
Berdasarkan
perbedaan pendapat di atas, pembagian fiqh siyasah dapat disederhanakan menjadi
tiga bagian poko. Pertama, politik
perundang-undangan (al-siyasah al dusturiyah). Kedua, politik luar negeri
(al-siyasah al-kharijiyah). Ketiga, politik keuangan dan moneter (al-siyasah
al-maliyah).
Selain
sumber Al-Qur’an dan sunnah, Ahmad Sukardja mengungkapkan sumber kajian fiqh
siyasah berasal dari manusia itu sendiri dan lingkungannya, seprti pandangan
para pakar politik, ‘urf atau
kebiasaan masyarakat yang bersangkutan, adat istiadat setempat, pengalaman masa
lalu dan aturan-aturan yang pernah dibuat sebelumnya.
Objek
kajian fiqh siyasah adalah tentang hubungan antara masyarakat dan rakyatnya
dalam upaya menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatn bersama. Hubungan ini
meliputi masalah-masalah kebijaksanaan perundang-undangan, hubungan luar negeri
dalam masa damai dan perang serta kebijaksanaan keuangan dan moneter. Dalam
sejarah islam, siyasah telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad setelah beliau
berada di Madinah. Di sini Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, sebagai Rasul
utusan Allah dan sebagai kepala negara Madinah. Setelah beliau wafat, fungsi
kedua ini dilanjutkan oleh al
Khulafa’al-Rasyidun.
1. Periode Klasik
Ciri
yang menandai perkembangan kajian fiqh siyasah pada periode klasik adalah
kemapanan yang etrjadi di dunia Islam. Secara politik, Islam memegang kekuasaan
dan pengaruhnya di pentas inetrnasional. Pada periode ini terdapat dua dinasti,
yaitu Bani Umaiyah (661-750 M) dan Bani Abbas (750-1258 M). pada masa kekuasaan
Bani Umaiyah, kajian fiqh siyasahmasih belum muncul. Bani Umaiyah lebih mengarahkan kebijaksanaan
politiknya pada pengembangan wilayah kekuasaan. Memang ada kelompok oposisi,
seperti Khawarij dan Syi’ah pada masa ini, tetapi tidak mempunyai pengaruh yang
kuat. Pemikiran-pemikiran dan gerakan meereka pun cenderung radikal dan ekstrem
dalam menentang kekuasaan Bani Umaiyah. Pada masa daulat Bani Abbas barulah
kajian fiqh siyasah ini mulai dikembangkan. Namun demikian, kuatnya pengaruh
negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para ulama ketika itu cenderung
mendukung kekuasaan. Inilah yang terjadi di kalangan ulama Sunni pada umumnya.
2. Periode Pertengahan
Periode
pertengahan ditandai dengan hancurnya kerajaan Abbasiyah pada 1258 M di tangan
tentara Mongol. Pada masa ini kekuatan politik islam mengalami kemunduran. Karena itu, kecenderungan
pemikiran Islam mengalami kemunduran. Tokoh yang mengalami langsung tragedi
penyerangan tentara Mongol ke Baghdad adalah Ibn Taimiyah (1263-1328 M). Ibn
Taimiyah mempunyai pemikiran siyasah yangs edikit berbeda dengan pemikir Sunni
abad klasik. Berbeda dengan Sunni pemikir sebelumnya, Ibn Taimiyah tidak
memandang institusi imamah sebagai kewajiban Syar’I, tetapi hanya kebutuhan
praktis saja. Ibn Taimiyah oun tidak mengungkapkan secara tegas syarat Quraisy
sebagai kepala negara. Ia hanya menegaskan dua syarat untuk menjadi kepala
negara, yaitu kejujuran (al-amanah) dan kewajiban atau kekuatan (al-quwwah).
Kedua hal ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan kedua syarat
ini akan tercipta keadilan dalam masyarakat yang merupakan cita-cita dan tujuan
utama syari’at islam.
Pemikir
Sunni lainnya yang juga membahas siyasah adalah Ibn Khaldun (1332-1406 M).
Pandangan politiknya antara lain tertuang dalam karyanayy Muqaddimah. Di antara tesisnya yang ebrbeda dengan pemikir Sunni
lainnya adalah interprestasinya yang kontekstual terhadap hadis Nabi yang
mensyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Ia menganggap hadis ini
bersifat kondisional. Karenanya, suku mana saja memegang posisi puncak
pemerintahan islam, selama ia mempunyai kemampuan dan kecakapan. Jadi syarat
suku Quraisy bagi Ibn Khaldun bukanlah “harga mati”.
Pemikir
islam lainnya yaitu Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762 M). syah Waliyullah
membenarkan pembakangan rakyat terhadap kepala negara yang tiran dan zalim.
Syah Waliyullah bahkan menegaskan bahwa pemerintahan pada periode pasca al0khulafa’al-rasyidun hanyalah berbeda
sedikit saja dari kerajaan Romawi dan kekaisaran Persia.
3. Periode Modern
Periode
modern ditandai dengan oleh semakin lemahnya dunia Islam di bawah penjajahan
bangsa-bangsa Barat. Hampir seluruh negeri muslim berada di bawah imperialisme
dan kolonialisme Barat. Dalam lapangan politik, sikap pertama melahirkan aliran
yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur segala
aspek kehidupan manusia, termasuk politik dan kenegaraan. Sikap kedua
melahirkan aliran yang berpandangan bahwa Islam hanya memberikan seperangkat
tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Sedangkan sikap
ketiga melahirkan aliran sekularisme yang memisahkan kehidupan politik dari
agama. Pemikiran inilah yang selanjutnya berkembang hingga masa kontemporer.
Menurut
pemikir tokoh-tokoh aliran pertama meereka memandang Islam sebagai sueprmarket
yang menyediakan segala kebutuhan hidup manusia dan manusia tinggal hanya
melaksanakan saja ketentuan-ketentuan tersebut. secara umum pemikir-pemikir
kelompok pertama ini juga masih mendambakan adanya negara universal yang
menyatukan seluruh dunia Islam. Selain itu mereka memandang Barat sebagai musuh
Islam. Oleh sebab itu, segala yang datang dari barat ahrus ditolak, karena
tidak sesuai dengan kepribadian Islam. Pemikir kelompok kedua yaitu Ali ‘Abd
al-raziq memandang bahwa Islam tidak mempunyai tata aturan tentang politik.
Nabi Muhammad SAW diuts tidak lain hanyalah untuk menjadi rasul dan tidak
berpretensi utnuk membentuk negara dan kekuatan politik. Menurut Thaha Husein,
supaya Mesir dan umat Islam umunya dapat meraih kemajuan, makam jalan
satu-satunya adalah dengan meniru dan mengadopsi peradaban barat. Sedangkan
menurut pemikir ketiga yaitu Abduh berpendapat bahwa kepala negara adalah
penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh manusia. Abduh menambakan,
Islam juga mengatur hukum-hukum tentang masalah-masalah hubungan antar manusia.
Agar hukum tersebut berjalan secara efektif, maka diperlukan pemimpin atau
kepala negara yang akan melaksanakan dan megawasi pelaksanaannya. Namun
deikian, kepala negara tersebut bukanlah wakil Tuhan, melainkan hanya pemimpin
politik. Karenanya, ia tidak memiliki kekuasaan keagamaan seperti dalam agama
Kristen.
Kesimpulan
Bidang-bidang
kajian fiqh siyasah antara lain membicarakan tentang siapa sumber kekuasaan,
siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar dan bagaimana cara-cara pelaksana
kekuasaan menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya dan kepada siapa
pelaksana kekuasaan mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Fiqh siyasah dapat
disederjanakan menjadi tiga bagian pokok. Antara lain, pertama mengenai politik
perundang-undangan, kedua politik luar negeri dan yang ketiga politik keuangan
dan moneter.
Sumber kajian fiqh siyasah berasal dari Al-Qur’an dan
Sunnah. Secara garis besar, sumber fiqh siyasah dapat dibagi menjadi sumber
primer dan sekunder. Dr. Fathiyah al-Nabrawi membagi sumber-sumber fiqh siyasah
kepada tiga bagian, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, sumber-sumebr tertulis selain
AL-Qur’an dan Sunnah,serta Sumber-sumber yang berupa peninggalan-peninggalan
kaum muslimin terdahulu. Dalam perkembangannya fiqh siyasah terbagi menjadi tiga
yaitu klasik, pertengahan dan zaman modern.
Referensi
Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama.
No comments:
Post a Comment