A.
Perkembangan Birokrasi Indonesia
Buruknya
birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia. Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti
pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia
dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan
keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan
India. Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor
1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk
terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan
pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain
menurut mereka masih banyak.
Pejabat tinggi
pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri
sendiri dan orang terdekat. Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga
berpendapat, sebagian besar negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan
birokrasi (red tape barriers). Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama
dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan reformasi. Reformasi menurut
temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea Selatan.
Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di bawah
rata-rata, yakni masinng-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7.
Tahun lalu
(1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan
tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi
dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang
terbaik hingga sepuluh yang terburuk. Salah satu faktor dan aktor utama yang
turut berperan dalam perwujudan pemerintahan yang bersih (clean government)
dan kepemerintahan yang baik (good governance) adalah birokrasi. Dalam
posisi dan perannya yang demikian penting dalam pengelolaan kebijakan dan
pelayanan publik, birokrasi sangat menentukan efesiensi dan kualitas pelayanan
kepada masyarakat, serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan. Undangundang telah ditetapkan oleh DPR dan diundangkan oleh
pemerintah, dan berbagai kebijakan publik yang dituangkan dalam berbagai bentuk
aturan perundang-undangan yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan negara
dan pembangunan, akan dapat dikelola secara efektif oleh pemerintah apabila
terdapat “birokrasi yang sehat dan kuat”, yaitu “birokrasi yang profesional,
netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi
negara, dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan
bernegara” .
Birokrasi sesuai
dengan kedudukannya dalam sistem administrasi Negara, dan sesuai pula dengan
sifat dan lingkup pekerjaannya, akan menguasai pengetahuan dan informasi serta
dukungan sumber daya yang tidak dimiliki pihak lain. Dengan posisi dan
kemampuan sangat besar yang dimilikinya tersebut, birokrasi bukan saja
mempunyai akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang tepat secara teknis,
tetapi juga yang mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia usaha.
Birokrasi memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanakan, dan
pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dalam
posisi yang stratejik seperti itu, adalah logis apabila pada setiap
perkembangan politik, selalu terdapat kemungkinan dan upaya menarik birokrasi
pada partai tertentu; birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan,
atau pun memperkuat kekuasaan oleh partai
tertentu atau pihak penguasa. Kalau
perilaku birokrasi berkembang dalam pengaruh politik seperti itu dan menjadi
tidak netral, maka birokrasi yang seharusnya mengemban misi menegakkan
“kualitas, efisiensi, dan efektivitas pelayanan secara netral dan optimal
kepada masyarakat”, besar kemungkinan akan berorientasi pada kepentingan partai
atau partai-partai; sehingga terjadi pergeseran keberpihakan dari “kepentingan
publik” ke pada “pengabdian pada
pihak penguasa atau partai-partai yang
berkuasa”. Dalam kondisi seperti itu, KKN akan tumbuh dan birokrasi akan
kehilangan jati dirinya, dari pengemban misi perjuangan negara bangsa, menjadi
partisan kelompok kepentingan yang sempit.
B.
Reformasi Birokrasi Indonesia
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan
pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan
(business prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Dengan
kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun
aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas
umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu dengan sangat pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan
lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan
disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera
diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik,
sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif
dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan
secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau
tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
Reformasi
birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi
yang rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi weberian).
Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam
pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya
rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan
produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horisontal yang seimbang,
diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya,
disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasanyang ketat. Dalam
pertumbuhannya, birokrasi di Indonesia berkembang secara vertikal linear,
dalam arti “arah kebijakan dan perintah dari atas kebawah, dan
pertanggungjawaban berjalan dari bawah ke atas”, demikian pula “loyalitasnya”;
karenanya koordinasi lintas lembaga yang umumnya dilakukan secara formal sulit
dilakukan. Birokrasi di Indonesia juga masih di pengaruhi sikap budaya
“feodalistis”, tertutup, sentralistik, serta ditandai pula dengan arogansi
kekuasaan, tidak atau kurang senang dengan kritik, sulit dikontrol secara
efektif, sehingga merupakan lahan subur bagi tumbuhnya KKN atau pun neo-KKN.
Dalam kondisi seperti itu akan sulit bagi Indonesia untuk menghadirkan clean
government dan good governance.
C. Unsur-unsur untuk terjadinya Suatu
Reformasi Birokrasi
A. Transformasi nilai
B. Penataan Organisasi dan Tata Kerja
C. Pemantapan Sistem Manajemen
D. Peningkatan Kompetensi SDM, Aparatur
Kesimpulan
Reformasi
birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses, administrasi
negara. Dalam konteks SANKRI, reformasi administrasi negara dan birokrasi di
dalamnya pada hakikinya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang
terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga
merupakan jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang
berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan
pendekatan dan dukungan system administrasi negara yang mengindahkan nilai dan
prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia aparatur negara
(pejabat politik, dan karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan
konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran
eksekuti, legislatif, maupun yudikatif.
Selain dari
unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good governance dibutuhkan
juga komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur negara, dunia
usaha, dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya
koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja
dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan
perilaku yang
sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hokum yang efektif”
(effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan
pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan
berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
No comments:
Post a Comment