Politik luar negeri adalah strategi dan
taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan negara-negara
lain. Dalam arti luas, politik
luar negeri adalah pola perilaku yang digunakan oleh suatu Negara dalam
hubungannya dengan negara-negara lain. Politik luar negeri berhubungan dengan
proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan jalan tertentu. Menurut buku
Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia
(1984-1988), politik luar negeri
diartikan sebagai “suatu kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah
dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha untuk mencapai
tujuan nasional”. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan
kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa. Dari uraian di muka
sesungguhnya dapat diketahui bahwa tujuan politik luar negeri adalah untuk
mewujudkan kepentingan nasional. Tujuan tersebut memuat gambaran mengenai
keadaan negara dimasa mendatang serta kondisi masa depan yang diinginkan.
Pelaksanaan politik luar negeri diawali oleh penetapan kebijaksanaan dan
keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang didasarkan pada faktor-faktor
nasional sebagai faktor internal serta faktor-faktor internasional sebagai
faktor eksternal.
Dasar
hukum pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tergambarkan secara
jelas di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea I dan alinea IV.
Alinea I menyatakan bahwa .… kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Selanjutnya pada alinea
IV dinyatakan bahwa …. dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ….. Dari dua kutipan di atas,
jelaslah bahwa politik luar negeri RI mempunyai landasan atau dasar hukum yang
sangat kuat, karena diatur di dalam Pembukaan UUD 1945. Selain dalam pembukaan terdapat
juga dalam beberapa pasal contohnya pasal 11 ayat 1, 2,3; pasal 13 ayat 1,2,3
dan lain-lain.
Pasal 11
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
(2) Presiden dalam membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
(3) Ketentuan lebih lanjut
tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. ***)
Pasal 13
(1) Presiden mengangkat duta
dan konsul.
(2) Dalam mengangkat duta,
Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*)
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*)
Politik Luar
Negeri di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 – 2009, dalam
visi dan misi beliau diantaranya dengan melakukan usaha memantapkan politik
luar negeri. Yaitu dengan cara meningkatkan kerjasama internasional dan
meningkatkan kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan
kepentingan nasional. Prestasi Indonesia sejak 1 Januari 2007 menjadi anggota
tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dimana Republik Indonesia dipilih oleh 158
negara anggota PBB. Tugas Republik Indonesia di Dewan Keamanan PBB adalah :
1). Ketua Komite Sanksi Rwanda
2). Ketua komite kerja untuk pasukan
penjaga perdamaian
3). Ketua Komite penjatuhan sanksi
untuk Sierra Leone
4). Wakil Ketua Komite penyelesaian
konfik Sudan
5) Wakil Ketua Komite penyelesaian
konflik Kongo
6). Wakil Kertua Komite penyelesaian
konflik Guinea Bissau
Baru-baru
ini Indonesia berani mengambil sikap sebagai satu-satunya negara anggota tidak
tetap DK PBB yang bersikap abstain ketika semua Negara lainnya memberikan
dukungan untuk memberi sanksi pada Iran. Ciri-ciri Politik Bebas Aktif Republik
Indonesia Dalam berbagai uraian tentang politik Luar Negeri yang bebas aktif ,
maka Bebas dan Aktif disebut sebagai sifat politik luar negeri Republik
Indonesia. Bahkan di belakang kata bebas dan aktif masih ditambahkan dengan
sifat-sifat yang lain, misalnya anti kolonialisme, anti imperialisme. Dalam
dokumen Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia
(1984-1989) yang telah ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri RI tanggal 19 Mei
1983, dijelaskan bahwa sifat Politik Luar Negeri adalah: (1) Bebas Aktif …. (2)
Anti kolonialisme … (3) Mengabdi kepada Kepentingan Nasional dan … (4)
Demokratis. Dalam risalah Politik Luar Negeri yang disusun oleh Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Masalah Luar Negeri Departemen Luar
Negeri, Suli Sulaiman ….yang disebut sifat politik luar negeri hanya Bebas
Aktif serta anti kolonialisme dan anti Imperialisme. Sementara M. Sabir lebih
cenderung untuk menggunakan istilah ciri-ciri dan sifat secara terpisah.
Menurut M Sabir, ciri atau ciri-ciri khas biasanya disebut untuk sifat yang
lebih permanen, sedangkan kata sifat memberi arti sifat biasa yang dapat
berubah-ubah.
Dengan
demikian karena bebas dan aktif merupakan sifat yang melekat secara permanen
pada batang tubuh politik bebas aktif, penulis menggolongkannya sebagai
ciri-ciri politik bebas-aktif sedangkan Anti Kolonialisme dan Anti Imperialisme
disebutnya sebagai sifat.
Pengertian Politik Bebas Aktif Republik Indonesia
Sebagaimana
telah diuraikan terdahulu, rumusan yang ada pada alinea I dan alinea IV
Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar hukum yang sangat kuat bagi politik luar
negeri RI. Namun dari rumusan tersebut, kita belum mendapatkan gambaran
mengenai makna politik luar negeri yang bebas aktif. Karena itu dalam uraian
ini akan dikutip beberapa pendapat mengenai pengertian bebas dan aktif. A.W
Wijaya merumuskan: Bebas, berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh
suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau
negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis
giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan
menghormati kedaulatan negara lain. Sementara itu Mochtar Kusumaatmaja merumuskan
bebas aktif sebagai berikut :
Bebas : dalam pengertian bahwa
Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif :
berarti bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia
tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadiankejadian internasionalnya, melainkan
bersifat aktif .
Berikut
ini kutipan beberapa pendapat mengenai pengertian bebas dan aktif.
1.
B.A Urbani menguraikan
pengertian bebas sebagai berikut : perkataan bebas dalam politik bebas aktif
tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai
berikut : supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Jadi menurut pengertian
ini, dapat diberi definisi sebagai “berkebebasan politik untuk menentukan dan
menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai
dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok”.
- Mochtar Kusumaatmaja merumuskan bebas aktif sebagai berikut : Bebas, dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif, berarti bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadiankejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif.
3.
A.W Wijaya merumuskan:
Bebas, berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara
asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super
power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan
persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara
lain.
Setiap
bangsa di muka bumi ini tidak terlepas kerjasamanya dengan bangsa lainnya dalam
upaya untuk mencapai kepentingan nasional dari bangsa tersebut. Kepentingan
nasional merupakan kunci politik luar negeri suatu negara di bumi ini. Suatu
negara dalam forum internasional akan selalu memperjuangkan dan mempertahankan
kepentingan nasionalnya. Sebagai contoh: dalam rangka mengurangi pengangguran
dan peningkatan devisa, negara kita telah melakukan kerja sama dengan
negara-negara tetangga dalam hal pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan
Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri.
Politik
luar negeri Republik Indonesia merupakan suatu kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dalam hubungannya dengan dunia internasional. Kebijakan-kebijakan
yang diamksud tentunya dalam upaya untuk perwujudan mencapaian tujuan nasional.
Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan nasionalnya
ke dalam masyarakat antar bangsa. Adapun tujuan politik luar negeri Republik
Indonesia adalah untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan nasional. Tujuan
tersebut memuat gambaran mengenai keadaan negara dimasa mendatang serta kondisi
masa depan yang diinginkan.
Proses
pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tersebut diawali dengan
penetapan kebijakan dan keputusan dengan mempertimbangkan beberapa hal yang
didasarkan pada faktor-faktor nasional sebagai faktor internal, serta
faktor-faktor internasional sebagai faktor eksternal.
Dalam
ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan, huruf C
angka 2 tentang Hubungan Luar Negeri, dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
- Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitik beratkan pada solidaritas antar negara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.
- Dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.
- Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi pro-aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan nasional.
- Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional, melalui kerjasama ekonomi regional maupun internasional dalam rangka stabilitas, kerjasama dan pembangunan kawasan.
- Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakuan AFTA, APEC dan WTO.
- Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negaranegara sahabat serta memperlancar prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi bagi penyelesaian perkara pidana.
- Meningkatkan kerjasama dalam segala bidang dengan negara tetangga yang berbatasan langsung dan kerjasama kawasan ASEAN untuk memelihara stabilitas, pembangunan dan kesejahteraan.
Landasan Politik Luar Negeri Indonesia
Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang
mengatur hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun
komunitas internasional lainnya. kebijakan tersebut merupakan pencerminan dari
kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga
menjalankan politik luar negeri yag senantiasa berkembang disesuaikan dengan
kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional.
Politik luar negeri Indonesia telah memasuki masa enam dekade
sejalan dengan usia negara Republik Indonesia. Selama enam puluh tahun itu pula
perjalanan bangsa dan negara Indonesia mengalami dinamika dalam menjalankan
politik domestik demi kesejahteraan rakyat, sekaligus mengukuhkan eksistensinya
di dunia internasional, melalui politik luar negeri. Pergantian kepemimpinan
mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menandakan telah berlangsungnya proses demokrasi di Indonesia, meski dengan
berbagai persoalan yang mengiringinya.
Dalam setiap periode pemerintahan juga terjadi pemaknaan yang
bervariasi terhadap prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam perumusan dan
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Perbedaan interpretasi tersebut
diantaranya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di dalam negeri
maupun luar negeri. Sementara itu, terdapat prinsip atau ladasan yang tetap
dipertahankan, namun mengalami persoalan dalam relevansi dan dilema karena
dianggap sudah tidak sesuai dengan perubahan dan perkembangan situasi yang
demikian cepat.
Tulisan yang menggunakan pendekatan deskriptif-formalistik
ini akan membahas mengenai landasan dan prinsip yang dianut dalam pelaksanaan
poltik luar negeri Indonesia pada enam periode kepemimpinan, yaitu mulai dari
Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri
indonesia adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini berarti, pasal-pasal UUD
1945 yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan garis-garis
besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan demikian, semakin jelas
bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan salah satu upaya untuk mencapai
kepentingan nasional Indonesia, yang termuat dalam UUD 1945.
Sementara itu, Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia diposisikan sebagai landasan idiil dalam politik luar negeri
Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk
politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi
pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan
mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa
Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia. Hal ini karena Pancasila
sebagai filsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan
atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat menjalankan
suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.
Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan
dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan
menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa
berubah sesuai dengan kepentingan nasional.
Semasa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melaui maklumat dan
pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan,
dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945, yang
diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut:
- Politik damai dan hidup berdampingan secara damai.
- Politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
- Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain.
- Politik berdasarkan Piagam PBB.
Berdasarkan Maklumat tersebut, sesungguhnya telah jelas
prinsip yang digunakan Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negerinya,
yaitu kebijakan hidup bertetangga baik dengan negara-negara di kawasan,
kebijakan tidak turut campur tangan urusan domestik negara lain dan selalu
mengacu pada Piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain.
Pada dasawarsa 1950-an landasan operasional dari prinsip
bebas aktif mengalami perluaan makna. Hal ini diantaranya dinyatakan oleh
Presiden Soekarno dalam pidatonya berjudul “Jalannya Revolusi Kita (Jarek)”
pada 17 Agustus 1960, bahwa, “Pendirian kita yang bebas aktif itu, secara aktif
pula harus dicerminkan dalam hubungan ekonomi dengan luar negeri, supaya tidak
berat sebelah ke Barat atau ke Timur”.
Kemudian inti dari politik luar negeri Indonesia kembali
dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam “Perincian Pedoman Pelaksanaan
Manifesto Politik Republik Indonesia” sekaligus merupakan garis-garis besar
politik luar negeri Indonesia dengan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/
kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961. Inti kebijakan tersebut antara lain
berisi tentang sifat politik luar negeri Republik Indonesia yang bebas aktif,
anti imperalisme dan kolonialisme, dan memiliki tujuan sebagai berikut:
- Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional Indonesia.
- Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa di dunia.
- Mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian di dunia.
Ketiga tujuan
politik luar negeri tersebut pada kenyataannya tidak bisa dipisah-pisah satu
dari yang lain, khususnya dalam perjuangannya untuk membengun dunia kembali
yang aman, adil, dan sejahtera.
Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri
Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal,
diantaranya adalah sebagai berikut:
Ketetapan MPRS No. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang
Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia. TAP
MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:
- Bebas aktif, anti-imperealisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
- Mengabdi kepada kepentingan nasional dan Amanat Penderitaan Rakyat.
Ketetapan
MPR tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:
- Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi;
- Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negara-negara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat wadah dan kerjasama antara negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara;
- Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional.
Petunjuk Presiden 11 April 1973 sebagai perincian ketetapan
MPR tersebut diatas, dengan menjabarkan berbagai usaha yang perlu dilakukan
untuk melaksanakan prinsip bebas aktif. Upaya-upaya yang perlu dilakukan,
antara lain meliputi hal-hal berikut ini:
- Memperkuat dan mempererat kerjasama antara negara-negara dalam lingkungan ASEAN;
- Memperkuat persahabatan dan memberi isi yang lebih nyata terhadap hubungan bertetangga baik dengan tetangga-tetangga Indonesia;
- Mengembangkan setiap unsur dan kesempatan untuk memperkokoh perdamaian dan stabilitas di wilayah Asia Tenggara;
- Membina persahabatan dengan negara-negara dunia pada umumnya serta mengusahakan peranan yang lebih aktif dalam memecahkan masalah-masalah dunia di lapangan ekonomi dan politik, untuk memperkuat kerjasama antara bangsa-bangsa dan perdamaian dunia;
- Bersama-sama negara berkembang lainnya memperjuangkan kepentingan bersama untuk pembangunan ekonomi
- Petunjuk bulanan Presiden sebagai ketua Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan.
- Keputusan-Keputusan Menteri Luar Negeri.
Selain berbagai ketentuan diatas, landasan operasional
politik luar negeri indonesia juga p
- TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1978
- TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983
- TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1988
- TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1993
Seluruh ketetapan
MPR diatas yang dijabarkan dalam Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang dan Pola
Umum Pelita Dua hingga Enam, pada intinya menyebutkan bahwa: “Dalam bidang
politik luar negeri yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus
meningkatkan peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta
menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera”.
Namun demikan, menarik untuk dicatat bahwa TAP MPR RI No. IV/
MPR/ 1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966. Perbedaan ini seiring dengan
pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan
Indonesia yang selalu didengung-dengungkan oleh Soekarno sebagai
anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR
tahun 1973 diatas. Selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih
difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama
dengan dunia internasional.
Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1978, pelaksanaan politik
luar negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan
pembangunan di segala bidang. Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR
sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan saja, yaitu
bidang ekonomi.
Pada TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983, sasaran politik luar
negeri indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci. Perubahan ini
menandakan bahwa indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional
yang berkembang saat itu.
Pasca-Orde Baru terjadi pemerintahan secara cepat mulai dari
B.J. Habibie sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintahan pasca-Orde Baru ini
setidaknya secara substansif dalam landasan politik luar negerinya dapat
dilihat pada dua kabinet yang memerintah yaitu Kabinet Gotong Royong
(2001-2004) dan Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009). Kabinet Gotong Royong
mengopersionalkan politik luar negeri indonesia melalui:
Ketetapan
MPR No. IV/ MPR/ 1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004.
GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat
mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya
adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang
demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya
upaya reformasi di berbagai bidang. khususnya memberantas segala bentuk
penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan ekonomi
dan penyalahgunaan kekuasaan. Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan
sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar
negeri, yaitu:
- Menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju pencapaian tujuan nasional;
- Ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama untuk kepentingan rakyat Indonesia;
- Memperbaiki performa, penampilan diplomat indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang;
- Meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan ekonomi yang cepat melaui intensifikasi kerja sama regional dan internasional;
- Mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan bebas;
- Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;
- Mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.
Ketetapan MPR diatas, secara jelas menegaskan arah politik luar
negeri Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional,
menitikberatkan pada solidaritas antar-negara berkembang, mendukung perjuangan
kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta meningkatkan
kemandirian bengsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.
UU
No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
UU ini mengatur aspek penyelenggaraan hubungan luar
negeri dan politik luar negeri yang meliputi: sarana, mekanisme pelaksanaan
hubungan luar negeri, pelindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) di luar
negeri, termasuk aparatur pada perwakilan RI.
Prinsip bebas aktif tertuang dalam pasal tiga UU tersebut,
yang menyatakan bahwa politik luar negeri indonesia diabdikan untuk kepentingan
nasional. Pada pasal selanjutnya juga ditegaskan bahwa politik luar negeri
Indonesia dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif,
tidak rutin dan kreatif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan
luwes dalam pendekatan. Selain itu UU ini juga mengatur keterlibatan
pihak-pihak dalam lembaga negara dan lembaga pemerintahan di dalam
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. UU
ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri
dan pelaksanaan politik luar negeri. UU ini memberikan landasan hukum yang kuat
bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri,
serta merupakan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai
beberapa aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik
luar negeri.
UU
no.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
UU yang diundangkan pada 23Ooktober 2000 ini menekankan pada
pentingnya menciptakan suatu kepastian hukum dalam perjanjian internasional,
selain sebagai pedoman dalam mekanisme pembuatan dan pengesahan suatu
perjanjian internasional. Sebelum UU ini muncul, selama ini pengaturan tentang
pengesahan perjanjian internasional dilandaskan pada Surat Presiden Soekarno
kepada DPRS No. 2826/ HK/ 1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan
Perjanjian dengan Negara Lain. Surat presiden tersebut menyatakan bahwa pengesahan
perjanjian internasional dilakukan melalui Undang-Undang atau Keputusan
Presiden, bergantung kepada materi yang diaturnya. Oleh karena, banyak
penyimpangan dalam pelaksanaannya dan sudah tidak lagi sesuai dengan semangat
reformasi, maka dibuatlah UU no. 24 tahun 2000 dengan dilandaskan pada Pasal 11
UUD 1945 dan UU no. 37 tahun 1999, yang berisi pokok-pokok materi sebagai
berikut:
- Pembuatan perjanjian internasional
- Pengesahan perjanjian internasional
- Pemberlakuan perjanjian internasional
- Penyimpanan perjanjian internasional
- Pengakhiran perjanjian internasional
Di dalam Pasal 2 uu ini dinyatakan bahwa Menteri yang
bertanggung jawab terhadap hubungan luar negeri, memberikan pertimbangan
politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. berdasarkan
pasal ini, tampak jelas bahwa DPR mulai dilibatkan dalam proses perjanjian
internasional, dimana hal tersebut tidak terjadi pada periode sebelumnya.
Perubahan
UUD 1945
Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada 19
Oktober 1999 berhasil melakukan perubahan pertama pada beberpa pasal dalam UUD
1945 yaitu pasal 5 ayat 1, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15,
pasal 17 ayat 2 dan 3, pasal 20 dan pasal 21.
Khusus
mengenai hubungan luar negeri, perubahan terjadi pada pasal 13, dimana pra
amandemen menyebutkan bahwa:
- Presiden mengangkat duta dan konsul
- Presiden menerima duta dari negara lain
Bunyi
ketentuan yang baru dari pasal tersebut menyebutkan bahwa:
- Presiden mengangkat duta dan konsul
- Dalam hal mengangkat duta, Presiden memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
- Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memerhatikan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kabinet selanjutnya pada pasca Orde Baru yaitu Kabinet
Indonesia Bersatu. Kabinet ini meletakkan landasan operasional politik luar
negerinya dalam tiga program utama nasional kebijakan luar negeri, yang termuat
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009, yaitu:
- Pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi indonesia dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. Tujuan pokok dari upaya tersebut adalah meningkatkan kapasitas dan kinerja politik luar negeri dan diplomasi dalam memberikan kontribusi bagi proses demokratisasi, stabilitas politik dan persatuan nasional. Langkah ini sejalan dengan pidato Bung Hatta pada 15 Desember 1945, yang menyatakan bahwa “politik luar negeri yang dijalankan oleh negara mestilah sejalan dengan politik dalam negeri”. Seluruh rakyat harus berdiri dengan tegak dan rapat dibelakang pemerintah Republik Indonesia. sebagaimana lebih lanjut disampaikan oleh Hatta, bahwa “persatuan yang sekuat-kuatnya harus ada, barulah pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya dalam diplomasi yang dijalankan”.
- Peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan secara optimal berbagai peluang dalam diplomasi dan kerja sama internasional, terutama kerjasama ASEAN disamping negara-negara yang memiliki kepentingan yang sejalan dengan Indonesia. Langkah mementingkan kerja sama ASEAN dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri merupakan aktualisasi dari pendekatan ASEAN sebagai concentric circle utama politik luar negeri Indonesia.
- Penegasan komitmen perdamaian dunia yang dilakukan dalam rangka membengun dan mengembangkan semangat multilateralisme dalam memecahkan berbagai persoalan keamanan internasional. Langkah diplomatik dan multilarealisme yang dilandasi dengan penghormatan terhadap hukum internasional dipandang sebagai cara yang lebih dapat diterima oleh subjek hukum internasional dalam mengatasi masalah keamanan internasional. Komitmen terhadap perdamaian internasional relevan dengan tujuan hidup bernegara dan berbangsa, sebagaimana dituangkan dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Rasionalisme
Dalam kata pengantarnya terhadap buku Indonesian Foreign
Policy and the Dilemma of Dependence (1976), George Kahin berargumen bahwa
politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh politik
domestik. Dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh usaha untuk memperluas akses
terhadap sumber-sumber daya eksternal tanpa mengorbankan kemerdekaannya.Dari
waktu ke waktu, argumen ini belum hilang relevansinya. Persoalan mencari titik
kesetimbangan antara dinamika politik domestik dan usaha Indonesia mendapatkan
sumber daya eksternal tanpa mengorbankan prinsip kemandirian dan kemerdekaan
selalu menjadi persoalan pelik bagi setiap rezim pemerintahan kita, baik dari
masa Soekarno hingga pemerintahan Megawati saat ini.
Persoalan inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh
Bung Hatta dalam pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan
oleh Bung Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada
1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi konflik internal antarkelompok elite
setelah persetujuan Linggarjati dan Renville.Ia menyimpulkan bahwa pro-kontra
terhadap kedua persetujuan antara pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan
pemerintah kerajaan Belanda itu sebenarnya merupakan gambaran konkret dari
dinamika politik internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua adikuasa
ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta mulai
memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan aktif.
Bila diamati dengan cermat, sebagaimana ditemukan dalam
sebuah tulisan Bung Hatta di jurnal internasional terkemuka Foreign Affairs
(vol 51/3, 1953), politik luar negeri bebas aktif diawali dengan usaha
pencarian jawaban atas pertanyaan konkret: have
then Indonesian people fighting for their freedom no other course of action
open to them than to choose between being pro-Russian or pro-American? The
government is of the opinion that position to be taken is that Indonesia should
not be a passive party in the arena of international politics but that it
should be an active agent entitled to determine its own standpoint. The policy
of the Republic of Indonesia must be resolved in the light of its own interests
and should be executed in consonance with the situations and facts it has to
face.
Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif
yang dikemukakan oleh Hatta sama sekali bukan retorika kosong mengenai
kemandirian dan kemerdekaan, akan tetapi dilandasi pemikiran rasional dan
bahkan kesadaran penuh akan prinsip-prinsip realisme dalam menghadapi dinamika
politik internasional dalam konteks dan ruang waktu yang spesifik. Bahkan dalam
pidato tahun 1948 tersebut, Hatta dengan tegas menyatakan, percaya akan diri
sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri tidak berarti bahwa kita
tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional.
Pelajaran terpenting yang bisa kita ambil dari para founding
fathers kita adalah bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan
sentimen belaka. Namun, dengan realitas dan logika yang rasional. Contoh yang
paling sering disebut adalah pilihan yang diambil Uni Soviet pada 1935 ketika
ia harus menghadapi kelompok fasis pimpinan Hitler. Para pemimpin Uni Soviet
menyerukan kader dan sekutunya di seluruh dunia untuk mengurangi permusuhan
dengan kelompok kapitalis dan menyerukan dibentuknya front bersama melawan
fasisme. Kemudian pada 1939, Uni Soviet mengadakan kerja sama nonagresi dengan
musuhnya sendiri, Jerman. Dengan itu, Soviet terbebaskan untuk beberapa waktu
lamanya dari ancaman penaklukan. Contoh inilah yang dikemukakan Hatta untuk
menggambarkan betapa politik internasional sedapat mungkin dijauhkan dari
prinsip sentimental dan didekatkan pada prinsip realisme.
Dalam menghadapi dilema di atas, Soekarno dan Soeharto–dua
presiden yang lama berkuasa–menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soekarno menjalankan
politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan revolusioner. Hal ini
tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia, penolakan keras Soekarno
terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon go to hell with your aid, dan
pengunduran diri Indonesia dari keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Landasan pemikiran Soekarno adalah Indonesia harus menolak perluasan
imperialisme dan kembalinya kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan
keuangan Barat serta PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah
representasi imperialisme dan kolonialisme.
Di lain pihak, Soeharto menghadapinya dengan cara yang
berbeda. Soeharto dan Orde Baru-nya tidak menolak hubungan dengan negara-negara
Barat, dan pada saat yang bersamaan berusaha untuk menjaga independensi politik
Indonesia. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa Indonesia
melalui ASEAN menolak kehadiran kekuatan militer Barat di kawasan regional Asia
Tengggara. Perlu diperhatikan bahwa Hatta, Soekarno, dan Soeharto bekerja dalam
konteks Perang Dingin dengan fixed-premis-nya mengenai dunia yang bipolar,
terbagi dua antara Blok Barat dan Timur.
Tren
demokratisasi
Dengan berlangsungnya proses transisi menuju demokrasi,
beberapa pertanyaan muncul: akankah sebuah rezim demokratis yang solid bisa
dihadirkan di Indonesia? Ataukah rezim otoriter, dengan beragam bentuk dan
levelnya, tetap mewarnai politik domestik Indonesia dan pada akhirnya wajah
sentralistis dari perumusan kebijakan luar negeri kita tetap dominan?
Di sisi lain, politik internasional pun mengalami perubahan
fundamental. Setelah Perang Dingin usai, yang ditandai dengan runtuhnya tembok
Berlin yang menyimbolisasi dunia yang bipolar dan pecah berantakannya negara
Uni Soviet, format konstelasi politik internasional belum lagi menemukan
bentuknya. Variabel yang harus diperhatikan pun semakin kompleks setelah
terjadinya aksi terorisme ke New York dan Washington pada 11 September 2001.
Perang melawan teror yang dikampanyekan Amerika Serikat di seluruh dunia,
amanat demokratisasi dan juga tantangan-tantangan baru yang muncul setelah
Perang Dingin membawa kita pada satu pertanyaan: di manakah dan bagaimanakah
Indonesia menempatkan dirinya?
Tampaknya peristiwa 11 September 2001 dan segala konsekuensi
yang mengikutinya menunjukkan dengan sangat jelas, baik kepada warga negara
biasa ataupun para pembuat kebijakan, bahwa politik domestik Indonesia sangat
terkait erat dengan dinamika politik internasional dan demikian pula
sebaliknya. Bila dulu dikenal adagium foreign policy begins at home, yang
menyiratkan pengertian bahwa politik luar negeri merupakan cerminan dari
politik dalam negeri, maka kini kita bisa saksikan bahwa politik domestik bisa
amat dipengaruhi oleh dinamika eksternal kita.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam pernyataan pers
Departemen Luar Negeri (Deplu) yang dikeluarkan awal 2002 ini menyebut faktor
‘intermestik’, yakni keharusan untuk mendekatkan faktor internasional dan
faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, diplomasi tidak lagi hanya
dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia ke luar,
tapi diplomasi juga menuntut kemampuan untuk mengomunikasikan
perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri. Konsekuensi logis dari
situsi ini adalah bahwa kita harus mampu berpikir outward-looking dan
inward-looking pada saat bersamaan.
Sudah jelas bagi kita bahwa setelah Perang Dingin usai, isu
utama dalam politik internasional bergeser dari rivalitas ideologis dan militer
mejadi isu-isu mengenai kesejahteraan ekonomi yang mewujud dalam usaha
meliberalisasi perdagangan dunia, demokrasi, dan perlindungan terhadap
lingkungan hidup. Singkatnya, di samping isu yang state-centric, isu-isu yang
nonstate centric semakin mendapatkan perhatian.
Isu-isu ini tidak meniadakan isu keamanan dan isu militer
lama, akan tetapi banyak aspek dari isu keamanan mengalami perubahan bentuk.
Pada dekade 1990-an, isu keamanan nontradisional berbasis maritim semakin
mengemuka. Statistik memperlihatkan bahwa isu keamanan nontradisional seperti
pembajakan (piracy at sea), people smuggling, human-trafficking, serta isu
small arms transfer semakin meningkat frekuensinya. Bagi negara kepulauan
dengan batas wilayah yang terbuka dan luas seperti Indonesia, tentu saja hal
ini menjadi persoalan yang harus mendapat perhatian utama.
Diplomasi kita telah berhasil mengadvokasi kepentingan
Indonesia melalui diakuinya status Indonesia sebagai negara kepulauan melalui
Law of The Sea Convention pada 1982. Dalam sebuah tulisannya, Professor Hasjim
Djalal menyebutkan bahwa penerapan status kepulauan ini telah memperluas
wilayah laut Indonesia hingga 5 juta kilometer persegi! Karena itu, menjaga
kedaulatan dan keamanan laut dan udara di atasnya akan menjadi tantangan
terbesar bagi Indonesia di masa yang akan datang. Hal ini tidak hanya menjadi
tugas angkatan bersenjata kita untuk semakin mengorientasikan diri pada
pengembangan kapasitas kelautan dan udara daripada terus-menerus bertumpu pada
kekuatan teritorial darat yang bisa dikatakan semakin tidak relevan apabila
dikaitkan jenis dan bentuk ancaman yang baru tersebut.
Tentunya, kebijakan luar negeri kita harus mampu meneruskan
keberhasilan diplomasi bidang kemaritiman yang sudah berhasil dicapai dan
menginkorporasikannya dengan tantangan berbasis maritim seperti tersebut di
atas. Kelak kita perlu memilih apakah Indonesia akan memaksimalkan potensinya
menjadi sebuah maritime power sungguhan atau hanya menjadikannya sebagai
legenda historis nenek moyang.
Demokratisasi dan juga situasi eksternal yang berubah cepat
juga menimbulkan situasi di mana keterlibatan sebanyak mungkin aktor, baik
negara ataupun nonnegara, dalam kebijakan luar negeri Indonesia semakin tidak
terhindarkan. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran penting karena ia
memperlihatkan bagaimana advokasi kelompok-kelompok nonnegara yang bergerak
dalam bidang HAM sangat efektif dalam proses perjuangan masyarakat Timor Timur
mencapai kemerdekaannya. Sementara, Indonesia sangat terlambat dalam melibatkan
beragam aktor nonnegara dalam berbagai isu.
Kendala
utamanya tampaknya terletak pada mindset kita bahwa kedaulatan negara dipahami
sebagai sebuah konsepsi yang state-centric, sehingga isu-isu seperti hak asasi
manusia, lingkungan hidup, dan human security yang tentu saja akan melibatkan
aktor-aktor nonnegara dianggap sebagai isu yang akan mereduksi kedaulatan dari
state. Padahal, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, politik luar negeri
harus dibimbing tidak hanya oleh prinsip-prinsip ideasional belaka, tapi harus
pula dibimbing oleh prinsip-prinsip rasional. Ketika situasi dan tantangan yang
ada semakin menuntut keterlibatan lebih banyak aktor untuk menghadapinya maka
tidak ada pilihan lain selain mengakomodasinya. Di samping itu, demokratisasi
menuntut keadaan ketika semua orang atau kelompok memiliki akses yang sama terhadap
perumusan kebijakan, termasuk kebijakan luar negeri. Hal terakhir yang penting
adalah prinsip bebas aktif harus ditafsirkan sebagai sebuah situasi di mana
Indonesia bebas memilih dengan siapa ia bisa memajukan kepentingan nasionalnya
secara aktif. Karena kita tidak lagi hidup dalam dunia dikotomis seperti pada
masa Perang Dingin.
No comments:
Post a Comment