A. Bisnis dan Politik Pasca Orde Baru
Orde Baru
mewarisi kondisi ekonomi yang buruk dari Orde Lama, hal ini dapat dilihat pada
sejumlah data sebagai berikut cadangan devisa menciut sampai nol(pada 1965),
inflasi meningkat sampai 650%(pada 1966); daerah pedesaan Jawa tergolong sangat
miskin, menyebabkan Nathan Keyfitz menggambarkannya sebagai “sesak napas karena
kekurangan tanah”. Fokus di awal pemerintahan ialah menyelamatkan perekonomian
nasional. Masa Orde Baru untuk kemudian menyusun blue print
pembangunan melalui pembangunan lima tahun dan Pembangunan jangka panjang (25
tahun). Kalangan teknokrat yang dipimpin Widjojo Nitisastro memberikan landasan
ilmiah dan merancang bangun perekonomian nasional.
Orde Baru
menggunakan konsep stabilisasi politik dan pembangunan ekonomi. Konsep tersebut
berimbas langsung pada bisnis dan politik. Pembangunan ekonomi yang
dikembangkan mengandalkan pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan stabilisasi
politik berupa penguatan Negara dari segala bentuk oposisi. Pertumbuhan ekonomi
yang terjadi pada Orde Baru menurut Perkins tak bisa dilepaskan dari bias
delusi yang dilakukan pihak barat untuk menopang keuntungan sejumlah korporat. Pertumbuhan
ekonomi yang mengandalkan pada konglomerasi secara kritis dimaknai sebagai ersatz
kapitalisme oleh Yoshihara Kunio. Yoshihara Kunio menuturkan pola hubungan
bisnis dan politik di Indonesia ialah ersatz capitalism. Secara asal
kata ersatz (bahasa Jerman) berarti subtitusi atau pengganti, kata ini
digunakan dalan bahasa Inggris berarti pengganti yang lebih inferior.
Secara
etimologis kapitalisme ersatz berarti bukan kapitalisme yang tulen.
Ada dua hal yang menyebabkan kapitalisme menjadi ersatz; pertama
campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu prinsip persaingan
bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis, kedua kapitalisme di Asia
Tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang memadai. Kapitalisme Asia
Tenggara (termasuk Indonesia) disebut semu karena ia didominasi oleh para
pemburu rente (rent seekers). Bersifat semu dikarenakan didominasi
oleh kaum kapitalis Cina. Sebenarnya, terdapat jenis- jenis kapitalis yang
janggal seperti kapitalis konco dan kapitalis birokrat. Di samping itu, ada
pemimpin- pemimpin politik, anak- anak dan sanak keluarga mereka, dan keluarga
keraton terlibat dalam bisnis. Apa yang mereka buru bukan hanya proteksi
terhadap kompetisi asing, tetapi juga konsesi, lisensi,hak monopoli, dan
subsidi pemerintah ( dalam bentuk pinjaman berbunga rendah dari lembaga-
lembaga keuangan pemerintah). Sebagai akibatnya, telah tumbuh dengan subur
segala macam penyelewengan.
Kapitalisme yang
tumbuh berupa konglomerat yang dimanjakan dan dibesarkan oleh Negara. Negara
dan pemerintah di era tersebut teramat menentukan dalam bidang ekonomi dan
politik. Liddle bahkan menyebutkannya dengan Soeharto deterministik. Suatu
istilah yang tidak berlebihan mengingat kalangan konglomerat yang tumbuh
berkembang memperoleh rente dari kedekatannya dengan penghuni Cendana ini.
Dalam buku Kunio dijelaskan di bagian lampiran mengenai profil singkat
konglomerat yang tumbuh dari rahim penguasa seperti Sukamdani Sahid,
Probosutedjo, Sudwikatmono, putera- puteri presiden, Ciputra, Bob Hasan, Sudono
Salim, dan sebagainya.Berkaitan dengan campur tangan pemerintah yang terlalu
banyak dapat dilihat pada kasus mobil nasional pada tahun 1996. Campur tangan
berlebihan dapat dilihat pada pembebasan bea berupa pajak barang mewah 35 %, PT
Timor Putra Nasional (pemiliknya Tommy Soeharto) menjadi satu satunya
perusahaan yang mendapat keistimewaan mobil nasional. Penyikapan seperti inilah
yang menjadi potret dari pola hubungan bisnis- politik di era Orde Baru. Peraturan
disesuaikan agar menguntungkan bagi kongsi yang sealiran dengan pemerintahan.
Harapan melihat munculnya kelas menengah dan kalangan kapitalis tulen tereduksi
secara serius. Kalangan kapitalis justru menjadi penikmat status quo
dikarenakan pemburuan rente yang dilakukan, sehingga menjelaskan stabilisasi
politik yang terjadi dengan merangkul kekuatan modal ke dalam pilar penyangga
kekuasaan.Berkaitan dengan perkembangan teknologi yang memadai. Arah kebijakan
teknologi Indonesia yang mengarah pada tingkat tinggi berupa pembuatan pesawat
terbang, helikopter, namun abai terhadap teknologi pertanian, tekstil-
menimbulkan ambivalensi ekonomi. Di satu sisi Indonesia terlihat maju dengan
membangun industri dalam skala high cost, yang memerlukan keahlian
tinggi dan modal besar; namun di sisi lain teknologi fundamental dan merakyat
serta menyangga perekonomian bangsa tidak berkembang dengan optimal. Orde Baru
dalam kaitannya dengan korporat asing juga menerapkan pola rente. Pembangunan
infrastrukur, pertambangan, listrik, dan teknologi tinggi lainnya membawa
pemodal asing masuk ke Indonesia. Kontrak jangka panjang (seperti Kontrak Karya
Pembangunan Freeport), dikarenakan besarnya modal dan diharapkan dapat terjadi
alih teknologi di kemudian hari. Korporat asing di Orde baru pun menikmati pola
bisnis- politik yang diterapkan. Model kolusi memungkinkan bagi pengabaian
aspek lingkungan, corporate social responsibility, dan rendahnya upah
buruh sebagai keunggulan komparatif Indonesia. Pola ini yang membawa implikasi
pada kronisnya krisis ekonomi yang menghantam Indonesia dan membawa implikasi
sosial politik yang rumit. Pada bagian reformasi dapat dilihat bagaimana pola
ini mengalami pergeseran.
B.
Bisnis
dan Politik Masa Reformasi
Masa reformasi
menggenggam harapan bagi perbaikan Indonesia ke depannya dibanding era
pendahulunya. Namun harapan terkadang bersebrangan dengan kenyataan. Melihat
masa reformasi konsep korporatokrasi yang digagas John Perkins layak untuk
diutarakan sebagai analisa. Korporatokrasi menunjukkan bahwa dalam rangka
membangun imperium global, maka berbagai korporasi besar, bank, dan
pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk
memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka. Istilah korporatokrasi
dapat digunakan untuk menunjukkan betapa korporasi atau perusahaan besar dalam
kenyataannya dapat mendikte, bahkan kadang- kadang membeli pemerintahan untuk
meloloskan keinginan mereka.
Meredupnya
peran Negara dikarenakan sorotan publik yang begitu besar dan arus tuntutan
reformasi yang menghendaki pembagian kekuasaan. Pemerintah yang berkuasa
sepanjang era Reformasi merupakan aliansi koalisi sehingga dalam menjalankan
kekuasaannya tidak bisa serta merta apa yang diinginkan itu yang dilakukan.Masa
Habibie(era transisi-dengan dukungan dari Golkar & militer) Masa Abdurahman
Wahid (poros tengah- kalangan partai Islam), Masa Megawati (PDIP ) Masa Susilo
Bambang Yudhoyono (koalisi besar ;Demokrat-7,45% suara nasional, Golkar, PKS,
PBB), memperlihatkan bagaimana pemerintah harus melakukan kompromi dalam
menjalankan roda kekuasaannya.
Masa Reformasi
memperlihatkan bagaimana kepentingan bisnis mampu mempengaruhi domain politik.
Konglomerat yang dibesarkan oleh Orde Baru, tumbuh sendiri, ataupun korporat
besar asing mampu mempengaruhi pemerintah yang memerlukan pilar ekonomi untuk
menunjang kepemimpinannya. Contoh dari korporatokrasi dapat dilihat pada
Peraturan Presiden No 77/ 2007 tentang kepemilikan modal, pihak asing
diperbolehkan memiliki 95 % kepemilikan di bidang pembangkit tenaga listrik,
jasa pengeboran minyak dan gas bumi, pengusahaan air minum. Peraturan ini
memberi aturan legal bagi perusahaan asing untuk menguasai sendi- sendi vital
bangsa.
Korporatokrasi
ini jika ditilik dari bisnis dan politik merupakan konsep destruktif bagi
keduanya. Dari sisi bisnis, korporat raksasa dengan bantuan economic hit
man akan membuat ekuilibrium bisnis semakin timpang. Korporat- korporat
besar akan semakin mengglobal dan menghegemonik dalam penguasaan modal, di
samping itu ciri kapitalisme sejati berupa persaingan bebas tidak terjadi lagi.
Dari sisi politik , kedaulatan pemerintah akan dipertanyakan, ataukah sekedar
komprador korporat besar.
Menilik pola
hubungan bisnis dan politik pada era Orde Baru dan masa Reformasi maka kita
belum melihat tertujunya pola menuju kesejahteraan bersama. Kemakmuran hanya
dinikmati segelintir saja dan gagal terdistribusi ke masyarakat secara
keseluruhan. Masa reformasi terlebih menjelang pemilihan presiden memiliki
momentum politik untuk melakukan sejumlah perbaikan dalam melihat pola bisnis-
politik. Alternatif ekonomi kerakyatan, jalan ketiga Giddens, ekonomi syariah,
merupakan sekian opsi yang tersedia untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih
baik.
Relasi antara kepentingan politik dan bisnis menjadi
bangunan utama penyokong terjadinya korupsi di daerah. Kesimpulan ini diambil
dari riset Indonesia Corruption Watch. Indonesia Corruption
Watch (ICW) menduga relasi sangat kental antara kepentingan bisnis dan politik
di daerah rawan menimbulkan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan
daerah serta pemiskinan sistemik terhadap kesejahteraan rakyat.
Di dalam riset
terbaru yang dipublikasikan ICW, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Ade
Irawan mengatakan setidaknya ada empat kota yang terindikasi kuat menjalankan
tarik-menarik kepentingan bisnis dan politik yakni Semarang (Jawa Tengah),
Sukabumi (Jabar), Raha (Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara) dan Samarinda
(Kaltim).
Tarik-menarik
kepentingan tersebut bertautan dengan perumusan kebijakan anggaran publik yang
berhubungan secara ekonomi politik dalam jejaring oligarki bisnis berdasarkan
sektor unggulan di empat kota selama otonomi daerah.
Kesimpulan
hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) membenarkan sinyalemen banyak
kalangan bahwa relasi antara kepentingan politik dan bisnis menjadi bangunan
utama penyokong terjadinya korupsi di daerah. Hasil riset “Pemetaan Kepentingan
Bisnis Politik di Daerah” oleh ICW di empat daerah menunjukkan pola yang sama,
relasi penguasa dengan kelompok bisnis menjadi fondasi kuat terjadinya korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan. Terjadi pola simbiosis mutualisme antara elite
politik penguasa dan kekuatan ekonomi di daerah dengan menguasai infrastruktu
pemerintahan sehingga menyokong pelanggengan praktik korupsi di daerah.
Tidak ada
makan siang gratis. Demikian pula tidak ada donasi dari kelompok bisnis kepada
politisi atau penguasa utamanya dalam penggalangan modal pilkada yang gratis.
Di sana terjadi saling menopang kepentingan antara elite politik dan ekonomi
untuk menguasai sumberdaya di daerah. Pola tersebut terjadi dalam rupa konsesi
bisnis, barter kepentingan, kemudahan atau fasilitas khusus dalam pengajuan
proyek-proyek di daerah. Kelompok bisnis dan elite politik di daerah mempunyai
kepentingan yang sama untuk mengeruk sumberdaya di daerah lewat penguasaan
politik dan pemerintahan. Elite dan penguasa di daerah mendapat sokongan dana
guna pemenangan pilkada dan membangun citra, dan kelompok bisnis diuntungkan
lewat kemudahan dan fasilitas khusus menjalankan bisnis dari penguasa setempat.
Relasi bisnis
dan politik dengan pola barter kepentingan semacam itu pastinya mengancam
demokrasi. Regime demokrasi yang mestinya menghidupkan nilai-nilai fairness,
akuntabilitas, transparansi dan anti korupsi mendapat serangan membabi-buta
dari praktik korupsi, kolusi, dan persaingan tidak sehat yang dilakukan
kelompok kartel bisnis dan politik. Pokok soalnya sudah terjadi pembajakan
demokrasi lewat kapitalisasi politik oleh kartel korupsi. Di banyak pilkada
terdapat pola indikasi adanya para cukong yang membandari (memasok uang) calon
kepala daerah untuk maju dan memenangi pilkada di daerahnya. Seorang bakal
calon kepala daerah yang hendak maju dalam pilkada harus menghitung di depan
berapa kebutuhan modal yang diperlukan, mulai dari ‘membeli’ kendaraan partai
politik, membiayai kampanye, hingga ‘membeli’ suara pemilih di hari pelaksanaan
pemilu. Dari ujung awal sampai ujung akhir semua itu diukur mengunakan belanja
uang. Besarnya perputaran uang dalam pilkada itu mencengangkan.
Keniscayaan
kebutuhan modal besar dalam pilkada itu yang semakin menyuburkan relasi
membandari dan dibandari antara kelompok punya uang dan elite politik calon
penguasa lokal di daerah. Karena pola semacam itu menjadikan varian praktik
korupsi di daerah tidak hanya dalam wilayah APBN saja, tetapi sejatinya meluas
dalam modus kartel dan kroni yang terjalin rapi mengeksploitasi sumberdaya
ekonomi dan politik di daerah. Praktik korupsi dalam relasi kepentingan bisnis
politik semacam ini yang menyeret banyak kepala daerah dalam praktik korupsi
yang semakin lama semakin menggurita. Sebab itu, jantung bahaya korupsi di
daerah bukan lagi terletak pada penyalahgunaan anggaran negara untuk
kepentingan pribadi, melainkan pada penyalahgunaan kekuasaan dengan
menyimpangkan strategi kebijakan daerah untuk kepentingan kartel bisnis politik
kelompoknya.
KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah
dijabarkan di atas dapat diketahui bahwa relasi antara bisnis dengan politik
memiliki hubungan yang sangat erat. Relasi antara kepentingan politik dan
bisnis menjadi bangunan utama penyokong terjadinya korupsi di daerah. Kesimpulan ini diambil dari riset
Indonesia Corruption Watch. Indonesia Corruption Watch (ICW)
menduga relasi sangat kental antara kepentingan bisnis dan politik di daerah
rawan menimbulkan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan daerah serta
pemiskinan sistemik terhadap kesejahteraan rakyat. Hal itu terjadi karena
adanya penyimpangan kekuasaan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Oleh karena
itu kita harus bersama-sama memerangi
agar masalah ini tidak terjadi berlarut-larut sehingga demokrasi yang produktif
dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Rais, Amien. 2008. Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press.
Kunio, Yoshihara.
1991. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
http://cps-sss.org/2011/04/04/bisnis-politik-dan-kartel-korupsi/
pasti itu ngopy?? hhe
ReplyDeleteiya,, ngopi dari dftar pustaka yg diatas... lagian udh saya parafrase kok..
ReplyDelete