Thursday, 8 March 2012

RELASI BISNIS DENGAN POLITIK

A.        Bisnis dan Politik Pasca Orde Baru

Orde Baru mewarisi kondisi ekonomi yang buruk dari Orde Lama, hal ini dapat dilihat pada sejumlah data sebagai berikut cadangan devisa menciut sampai nol(pada 1965), inflasi meningkat sampai 650%(pada 1966); daerah pedesaan Jawa tergolong sangat miskin, menyebabkan Nathan Keyfitz menggambarkannya sebagai “sesak napas karena kekurangan tanah”. Fokus di awal pemerintahan ialah menyelamatkan perekonomian nasional. Masa Orde Baru untuk kemudian menyusun blue print pembangunan melalui pembangunan lima tahun dan Pembangunan jangka panjang (25 tahun). Kalangan teknokrat yang dipimpin Widjojo Nitisastro memberikan landasan ilmiah dan merancang bangun perekonomian nasional.
Orde Baru menggunakan konsep stabilisasi politik dan pembangunan ekonomi. Konsep tersebut berimbas langsung pada bisnis dan politik. Pembangunan ekonomi yang dikembangkan mengandalkan pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan stabilisasi politik berupa penguatan Negara dari segala bentuk oposisi. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada Orde Baru menurut Perkins tak bisa dilepaskan dari bias delusi yang dilakukan pihak barat untuk menopang keuntungan sejumlah korporat. Pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan pada konglomerasi secara kritis dimaknai sebagai ersatz kapitalisme oleh Yoshihara Kunio. Yoshihara Kunio menuturkan pola hubungan bisnis dan politik di Indonesia ialah ersatz capitalism. Secara asal kata ersatz (bahasa Jerman) berarti subtitusi atau pengganti, kata ini digunakan dalan bahasa Inggris berarti pengganti yang lebih inferior.

Secara etimologis kapitalisme ersatz berarti bukan kapitalisme yang tulen. Ada dua hal yang menyebabkan kapitalisme menjadi ersatz; pertama campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis, kedua kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang memadai. Kapitalisme Asia Tenggara (termasuk Indonesia) disebut semu karena ia didominasi oleh para pemburu rente (rent seekers). Bersifat semu dikarenakan didominasi oleh kaum kapitalis Cina. Sebenarnya, terdapat jenis- jenis kapitalis yang janggal seperti kapitalis konco dan kapitalis birokrat. Di samping itu, ada pemimpin- pemimpin politik, anak- anak dan sanak keluarga mereka, dan keluarga keraton terlibat dalam bisnis. Apa yang mereka buru bukan hanya proteksi terhadap kompetisi asing, tetapi juga konsesi, lisensi,hak monopoli, dan subsidi pemerintah ( dalam bentuk pinjaman berbunga rendah dari lembaga- lembaga keuangan pemerintah). Sebagai akibatnya, telah tumbuh dengan subur segala macam penyelewengan.
Kapitalisme yang tumbuh berupa konglomerat yang dimanjakan dan dibesarkan oleh Negara. Negara dan pemerintah di era tersebut teramat menentukan dalam bidang ekonomi dan politik. Liddle bahkan menyebutkannya dengan Soeharto deterministik. Suatu istilah yang tidak berlebihan mengingat kalangan konglomerat yang tumbuh berkembang memperoleh rente dari kedekatannya dengan penghuni Cendana ini. Dalam buku Kunio dijelaskan di bagian lampiran mengenai profil singkat konglomerat yang tumbuh dari rahim penguasa seperti Sukamdani Sahid, Probosutedjo, Sudwikatmono, putera- puteri presiden, Ciputra, Bob Hasan, Sudono Salim, dan sebagainya.Berkaitan dengan campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dapat dilihat pada kasus mobil nasional pada tahun 1996. Campur tangan berlebihan dapat dilihat pada pembebasan bea berupa pajak barang mewah 35 %, PT Timor Putra Nasional (pemiliknya Tommy Soeharto) menjadi satu satunya perusahaan yang mendapat keistimewaan mobil nasional. Penyikapan seperti inilah yang menjadi potret dari pola hubungan bisnis- politik di era Orde Baru. Peraturan disesuaikan agar menguntungkan bagi kongsi yang sealiran dengan pemerintahan. Harapan melihat munculnya kelas menengah dan kalangan kapitalis tulen tereduksi secara serius. Kalangan kapitalis justru menjadi penikmat status quo dikarenakan pemburuan rente yang dilakukan, sehingga menjelaskan stabilisasi politik yang terjadi dengan merangkul kekuatan modal ke dalam pilar penyangga kekuasaan.Berkaitan dengan perkembangan teknologi yang memadai. Arah kebijakan teknologi Indonesia yang mengarah pada tingkat tinggi berupa pembuatan pesawat terbang, helikopter, namun abai terhadap teknologi pertanian, tekstil- menimbulkan ambivalensi ekonomi. Di satu sisi Indonesia terlihat maju dengan membangun industri dalam skala high cost, yang memerlukan keahlian tinggi dan modal besar; namun di sisi lain teknologi fundamental dan merakyat serta menyangga perekonomian bangsa tidak berkembang dengan optimal. Orde Baru dalam kaitannya dengan korporat asing juga menerapkan pola rente. Pembangunan infrastrukur, pertambangan, listrik, dan teknologi tinggi lainnya membawa pemodal asing masuk ke Indonesia. Kontrak jangka panjang (seperti Kontrak Karya Pembangunan Freeport), dikarenakan besarnya modal dan diharapkan dapat terjadi alih teknologi di kemudian hari. Korporat asing di Orde baru pun menikmati pola bisnis- politik yang diterapkan. Model kolusi memungkinkan bagi pengabaian aspek lingkungan, corporate social responsibility, dan rendahnya upah buruh sebagai keunggulan komparatif Indonesia. Pola ini yang membawa implikasi pada kronisnya krisis ekonomi yang menghantam Indonesia dan membawa implikasi sosial politik yang rumit. Pada bagian reformasi dapat dilihat bagaimana pola ini mengalami pergeseran.
B.        Bisnis dan Politik Masa Reformasi
Masa reformasi menggenggam harapan bagi perbaikan Indonesia ke depannya dibanding era pendahulunya. Namun harapan terkadang bersebrangan dengan kenyataan. Melihat masa reformasi konsep korporatokrasi yang digagas John Perkins layak untuk diutarakan sebagai analisa. Korporatokrasi menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, maka berbagai korporasi besar, bank, dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka. Istilah korporatokrasi dapat digunakan untuk menunjukkan betapa korporasi atau perusahaan besar dalam kenyataannya dapat mendikte, bahkan kadang- kadang membeli pemerintahan untuk meloloskan keinginan mereka.
Meredupnya peran Negara dikarenakan sorotan publik yang begitu besar dan arus tuntutan reformasi yang menghendaki pembagian kekuasaan. Pemerintah yang berkuasa sepanjang era Reformasi merupakan aliansi koalisi sehingga dalam menjalankan kekuasaannya tidak bisa serta merta apa yang diinginkan itu yang dilakukan.Masa Habibie(era transisi-dengan dukungan dari Golkar & militer) Masa Abdurahman Wahid (poros tengah- kalangan partai Islam), Masa Megawati (PDIP ) Masa Susilo Bambang Yudhoyono (koalisi besar ;Demokrat-7,45% suara nasional, Golkar, PKS, PBB), memperlihatkan bagaimana pemerintah harus melakukan kompromi dalam menjalankan roda kekuasaannya.
Masa Reformasi memperlihatkan bagaimana kepentingan bisnis mampu mempengaruhi domain politik. Konglomerat yang dibesarkan oleh Orde Baru, tumbuh sendiri, ataupun korporat besar asing mampu mempengaruhi pemerintah yang memerlukan pilar ekonomi untuk menunjang kepemimpinannya. Contoh dari korporatokrasi dapat dilihat pada Peraturan Presiden No 77/ 2007 tentang kepemilikan modal, pihak asing diperbolehkan memiliki 95 % kepemilikan di bidang pembangkit tenaga listrik, jasa pengeboran minyak dan gas bumi, pengusahaan air minum. Peraturan ini memberi aturan legal bagi perusahaan asing untuk menguasai sendi- sendi vital bangsa.
Korporatokrasi ini jika ditilik dari bisnis dan politik merupakan konsep destruktif bagi keduanya. Dari sisi bisnis, korporat raksasa dengan bantuan economic hit man akan membuat ekuilibrium bisnis semakin timpang. Korporat- korporat besar akan semakin mengglobal dan menghegemonik dalam penguasaan modal, di samping itu ciri kapitalisme sejati berupa persaingan bebas tidak terjadi lagi. Dari sisi politik , kedaulatan pemerintah akan dipertanyakan, ataukah sekedar komprador korporat besar.
Menilik pola hubungan bisnis dan politik pada era Orde Baru dan masa Reformasi maka kita belum melihat tertujunya pola menuju kesejahteraan bersama. Kemakmuran hanya dinikmati segelintir saja dan gagal terdistribusi ke masyarakat secara keseluruhan. Masa reformasi terlebih menjelang pemilihan presiden memiliki momentum politik untuk melakukan sejumlah perbaikan dalam melihat pola bisnis- politik. Alternatif ekonomi kerakyatan, jalan ketiga Giddens, ekonomi syariah, merupakan sekian opsi yang tersedia untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Relasi antara kepentingan politik dan bisnis menjadi bangunan utama penyokong terjadinya korupsi di daerah. Kesimpulan ini diambil dari riset Indonesia Corruption Watch. Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga relasi sangat kental antara kepentingan bisnis dan politik di daerah rawan menimbulkan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan daerah serta pemiskinan sistemik terhadap kesejahteraan rakyat.
Di dalam riset terbaru yang dipublikasikan ICW, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Ade Irawan mengatakan setidaknya ada empat kota yang terindikasi kuat menjalankan tarik-menarik kepentingan bisnis dan politik yakni Semarang (Jawa Tengah), Sukabumi (Jabar), Raha (Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara) dan Samarinda (Kaltim).
Tarik-menarik kepentingan tersebut bertautan dengan perumusan kebijakan anggaran publik yang berhubungan secara ekonomi politik dalam jejaring oligarki bisnis berdasarkan sektor unggulan di empat kota selama otonomi daerah.
Kesimpulan hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) membenarkan sinyalemen banyak kalangan bahwa relasi antara kepentingan politik dan bisnis menjadi bangunan utama penyokong terjadinya korupsi di daerah. Hasil riset “Pemetaan Kepentingan Bisnis Politik di Daerah” oleh ICW di empat daerah menunjukkan pola yang sama, relasi penguasa dengan kelompok bisnis menjadi fondasi kuat terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Terjadi pola simbiosis mutualisme antara elite politik penguasa dan kekuatan ekonomi di daerah dengan menguasai infrastruktu pemerintahan sehingga menyokong pelanggengan praktik korupsi di daerah.
Tidak ada makan siang gratis. Demikian pula tidak ada donasi dari kelompok bisnis kepada politisi atau penguasa utamanya dalam penggalangan modal pilkada yang gratis. Di sana terjadi saling menopang kepentingan antara elite politik dan ekonomi untuk menguasai sumberdaya di daerah. Pola tersebut terjadi dalam rupa konsesi bisnis, barter kepentingan, kemudahan atau fasilitas khusus dalam pengajuan proyek-proyek di daerah. Kelompok bisnis dan elite politik di daerah mempunyai kepentingan yang sama untuk mengeruk sumberdaya di daerah lewat penguasaan politik dan pemerintahan. Elite dan penguasa di daerah mendapat sokongan dana guna pemenangan pilkada dan membangun citra, dan kelompok bisnis diuntungkan lewat kemudahan dan fasilitas khusus menjalankan bisnis dari penguasa setempat.
Relasi bisnis dan politik dengan pola barter kepentingan semacam itu pastinya mengancam demokrasi. Regime demokrasi yang mestinya menghidupkan nilai-nilai fairness, akuntabilitas, transparansi dan anti korupsi mendapat serangan membabi-buta dari praktik korupsi, kolusi, dan persaingan tidak sehat yang dilakukan kelompok kartel bisnis dan politik. Pokok soalnya sudah terjadi pembajakan demokrasi lewat kapitalisasi politik oleh kartel korupsi. Di banyak pilkada terdapat pola indikasi adanya para cukong yang membandari (memasok uang) calon kepala daerah untuk maju dan memenangi pilkada di daerahnya. Seorang bakal calon kepala daerah yang hendak maju dalam pilkada harus menghitung di depan berapa kebutuhan modal yang diperlukan, mulai dari ‘membeli’ kendaraan partai politik, membiayai kampanye, hingga ‘membeli’ suara pemilih di hari pelaksanaan pemilu. Dari ujung awal sampai ujung akhir semua itu diukur mengunakan belanja uang. Besarnya perputaran uang dalam pilkada itu mencengangkan.
Keniscayaan kebutuhan modal besar dalam pilkada itu yang semakin menyuburkan relasi membandari dan dibandari antara kelompok punya uang dan elite politik calon penguasa lokal di daerah. Karena pola semacam itu menjadikan varian praktik korupsi di daerah tidak hanya dalam wilayah APBN saja, tetapi sejatinya meluas dalam modus kartel dan kroni yang terjalin rapi mengeksploitasi sumberdaya ekonomi dan politik di daerah. Praktik korupsi dalam relasi kepentingan bisnis politik semacam ini yang menyeret banyak kepala daerah dalam praktik korupsi yang semakin lama semakin menggurita. Sebab itu, jantung bahaya korupsi di daerah bukan lagi terletak pada penyalahgunaan anggaran negara untuk kepentingan pribadi, melainkan pada penyalahgunaan kekuasaan dengan menyimpangkan strategi kebijakan daerah untuk kepentingan kartel bisnis politik kelompoknya.
KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah dijabarkan di atas dapat diketahui bahwa relasi antara bisnis dengan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Relasi antara kepentingan politik dan bisnis menjadi bangunan utama penyokong terjadinya korupsi di daerah. Kesimpulan ini diambil dari riset Indonesia Corruption Watch. Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga relasi sangat kental antara kepentingan bisnis dan politik di daerah rawan menimbulkan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan daerah serta pemiskinan sistemik terhadap kesejahteraan rakyat. Hal itu terjadi karena adanya penyimpangan kekuasaan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Oleh karena itu kita  harus bersama-sama memerangi agar masalah ini tidak terjadi berlarut-larut sehingga demokrasi yang produktif dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Rais, Amien. 2008. Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press.

Kunio, Yoshihara. 1991. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
http://cps-sss.org/2011/04/04/bisnis-politik-dan-kartel-korupsi/

2 comments:

  1. iya,, ngopi dari dftar pustaka yg diatas... lagian udh saya parafrase kok..

    ReplyDelete