Penduduk Thailand pada saat ini
diperkirakan mencapai 61,23 juta orang. Sebagian besar penduduk merupakan etnis
Thai yaitu sekitar 75%, sementara sisanya adalah Cina 14% dan etnis lain
sekitar 11%. Kebanyakan dari mereka menganut agama Buddha. Thailand merupakan
negara yang tidak pernah dijajah. Pada masa kolonialisme di Asia Tenggara, negara
ini berfungsi sebagai penyangga antara kolonialis Inggris di Burma dan Perancis
di Vietnam. Thailand memiliki sejarah kudeta militer terbanyak di Asia
tenggara, namun mereka tetap tampil sebagai negara dengan perekonomian yang
cukup baik.[1]
Human
Trafficking
di Thailand
Thailand merupakan negara asal,
tujuan dan juga transit untuk perdagangan manusia. Tujuan dari perdagangan
manusia ini adalah untuk diperdagangkan sebagai pekerja seks ataupun sebagai
eksploitasi tenaga kerja khususnya di wilayah sungai Mekong atau Mekong
Sub-Region. Kebanyakan yang menjadi korban adalah para migran, etnis minoritas
di Thailand, dan juga orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, hal ini
disebabkan mereka memiliki resiko yang lebih besar untuk dijadikan sebagai korban
perdagangan orang dan juga eksploitasi tenaga kerja. Pria Thailand pada umumnya
yang memiliki keterampilan yang rendah banyak dijadikan sebagai pekerja paksa
oleh para majikan mereka untuk membayar utang.[2]
Diperkirakan setiap tahunnya di Thailand ada 500.000 wisatawan seks, dan juga
ada 4,6 juta orang Thailand yang secara teratur mengunjungi para pekerja seks
di sana.[3]
Thailand juga sebagai negara
transit bagi korban perdagangan orang yang berasal dari Korea Utara, Cina,
Vietnam, Pakistan, Burma dan juga berasal dari negara dunia ketiga antara lain
seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Rusia, Eropa Barat, Korea Selatan dan
juga Amerika Serikat. Kebanyakan para korban perdagangan dieksploitasi tenaga
kerjanya, mereka biasanya ditemukan bekerja dalam produksi garmen, pengolahan
hasil laut, dan juga menjadi pembantu rumah tangga. Bagian dari perdagangan
orang di Thailand terdiri dari perdagangan pria, wanita dan juga anak-anak.
Perdagangan seks anak juga menjadi masalah di Thailand. Menurut pemerintah Thailand
anak-anak baik itu laki-laki maupun perempuan kadang-kadang dipaksa, untuk
terpikat dan masuk kedalam prostitusi. UNESCO menyatakan bahwa kurangnya status
hukum merupakan hal terbesar bagi resiko terjadinya perdagangan orang.[4]
Yang banyak menjadi korban perdagangan orang tidak hanya warga Thailand
sendiri, namun banyak juga yang berasal dari luar Thailand. Para korban yang
bukan berasal dari Thailand tidak akan menerima bantuan dari pemerintah, hal
itu diatur dalam undang-undang imigrasi Thailand.[5]
Banyak sumber yang menyatakan bahwa
usia termuda korban perdagangan orang di Thailand adalah sekitar umur 11-15
tahun. Mereka memasuki sistem perdagangan orang dengan harapan mereka dapat
membantu kehidupan keluarga mereka. Sementara itu, banyak perempuan Myanmar
dikirim ke Thailand melalui distrik Tak Mae Sot dan Chiang Rai, kemudian mereka
dikirim kembali ke pusat pelatihan dalam hal pelayanan seks. Mereka juga
dipilih berdasarkan wajah mereka, yang cantik akan dikirim ke Bangkok,
sementara sisanya akan dikirim ke provinsi perbatasan di Selatan Thailand.
Thailand merupakan negara yang sangat jelas dalam hal perdagangan orang, bahkan
mereka telah memiliki rute untuk memperdagangkan korbannya. Berdasarkan laporan
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada perdagangan orang (TIP) melaporkan
bahwa, Thailand telah memasuki ranking Tier 2 Watch List.[6]
Banyak korban perdagangan orang tersebut tertipu dan juga terpikat karena
mereka menghadapi kemiskinan, pengangguran, keluarga berantakan, dan juga
masalah pemerintahan yang tidak stabil. Pekerja ilegal dari Thailand pada
umumnya difasilitasi oleh para pelaku perdagangan orang dengan dokumen
perjalanan palsu dan juga pengolahan warga asing ke negara-negara dunia ketiga.
Para pelaku selalu mengatakan janji palsu kepada para korbannya bahwa mereka
tidak akan terkena penyakit AIDS dalam rangka bekerja sebagai pekerja seks di
sana.[7]
Thailand merupakan negara yang mana
beranggapan bahwa anak-anak perempuan memiliki peran sebagai penanggung jawab
keluarganya. Mereka diharapkan oleh orang tuanya dapat membayar kembali
terhadap uang bagi air susu ibunya tersebut.[8]
Daerah yang kurang subur di Thailand seperti di bagian utara dan timur Thailand
merupakan tempat bagi perekrutan tradisional bagi industri seks. Kawasan ini
lebih miskin dibandingkan dengan daerah lainnya seperti di wilayah tengah dan
selatan Thailand. Banyak dari gadis-gadis desa di Thailand berangsur
meninggalkan desanya untuk dikirim dan bekerja untuk memberikan pelayanan seks,
baik untuk para pria Thailand maupun untuk warga asing lainnya. Kebanyakan dari
mereka pada umumnya paham mengenai cara kerja industri seks ini, dan mereka
juga mengerti bagaimana cara untuk mengurus karir mereka. Taraf pemahaman
mereka hingga sedemikian jauh, sehingga para pemilik rumah bordil mulai
terkesan pada perempuan beretnis Thailand ini, dan dapat dengan baik
dimanfaatkan bagi usaha tersebut.[9]
Permintaan untuk seks mendorong
terjadinya perdagangan seks secara global, sementara itu kemiskinan, kekerasan,
pelecehan, diskriminasi dan adanya keinginan anak-anak untuk hidup lebih baik
membuat mereka rentan untuk menjadi korban. Kebanyakan yang menjadi korban
adalah mereka anak-anak yang kurang berpendidikan, mereka kebanyakan
beranggapan mudah untuk meyakinkan bahwa mereka harus melakukan apa yang orang
dewasa memberitahu mereka untuk melakukannya. Mereka juga percaya mereka dapat
menghidupi keluarga mereka dengan dijual dan dikirim ke luar negeri oleh
keluarga mereka. Dan pada akhirnya mereka adalah orang-orang yang sangat rentan
dalam menjadi korban tindak kriminal perdagangan orang.[10]
Dalam perdagangan orang tersebut Thailand berjanji akan menyelesaikan masalah
ini dan berusaha turun dari ranking yang telah dia dapati dalam perdagangan
tersebut. menteri Luar Negeri Thailand Surapong Tovichakchaikul mengatakan
bahwa Thailand berusaha untuk keluar dari ranking tersebut dan akan membahasa
mengenai anti perdagangan orang dengan para instansi terkait.[11]
Hal ini merupakan salah satu usaha bagi Thailand untuk mengurangi korban-korban
dan juga berusaha menghentikan praktik dari perdagangan orang tersebut di
negaranya.
Faktor Penyebab
Perdagangan Orang di Thailand
Banyak faktor-faktor
penyebab bagi terjadinya perdagangan orang di Thailand. Antara lain karena
adanya kemakmuran relatif di sekitar wilayah Mekong Sub-Region. Faktor lain
disebabkan karena kemiskinan, kurangnya lowongan pekerjaan, kurangnya
pendidikan, dan juga adanya keluarga yang berantakan. Mata rantai antara
kemiskinan, prostitusi dan perdagangan perempuan memang rumit. Namun pada
umumnya, seperti negara-negara berkembang di Thailand, kemiskinan bukan lagi
hal utama dalam mengantarkan perempuan muda menjadi seorang pelacur. Di utara
Thailand, prostitusi merupakan pilihan karir bagi banyak gadis muda. Pada tahun
1990, ada studi yang bertujuan untuk menentukan alasan apa sebabnya keluarga
Thailand mendesak anak-anak gadisnya agar menjadi pelacur. Kesimpulannya adalah
bahwa 60% dari keluarga yang mengirimkan anak-anak gadisnya ke rumah bordil
tidak dipaksa untuk berbuat demikian karena kemiskinan yang menahun. Bahkan
mereka termotivasi oleh hasrat untuk memiliki barang-barang mewah.[12]
Kadang kontes kecantikan dapat
menjadi metode dan kerapkali dipraktikkan guna menjaring gadis-gadis cantik.
Pemenang akan menerima uang tunai, dan fotonya akan terpampang dalam berita,
dan ia juga akan menerima tiket ke dunia prostitusi. Sejumlah perantara yang
sudah maju akan memikirkan taktik yang baik untuk meningkatkan pangsa pasarnya,
lalu mengirimkan foto-foto itu untuk disetujui oleh rumah bordil. Mereka juga
akan diiklankan di internet guna menarik pelanggan yang potensial, terutama
para wisatawan seks. Dalam hal ini, Thailand merintis cara ini untuk
mengupayakan agar seks komersial menjadi industri terdepan, yang profesional
dan berteknologi canggih yang sesuai bagi abad ke-21 sekarang ini.[13]
Upaya-Upaya Untuk
Mengurangi Perdagangan Seks
Pada tahun 2010,
perdana menteri Thailand melakukan pertemuan dengan organisasi buruh dan
masyarakat sipil untuk mengkoordinasikan upaya-upaya anti-perdagangan orang,
selain itu, pemerintah Thailand juga terus berupaya untuk melatih ribuan
polisi, tenaga kerja, jaksa, pekerja sosial, dan pejabat imigrasi pada untuk
dapat mengidentifikasi para korban dan juga para pelaku.[14]
Tidak hanya itu pemerintah Thailand juga terus mendukung kegiatan pencegahan
dan kesadaran mayarakat tentang seks dan perdagangan tenaga kerja serta
pariwisata seks selama setahun. Adanya keterlibatan masyarakat memperkuat
kesadaran mereka tentang isu-isu yang berhubungan dengan perdagangan seks anak.
Pemerintah Thailand juga berusaha untuk mengurangi permintaan domestik terhadap
ilegal seks komersial dan pariwisata seks anak, para polisi juga sesekali
menutup tempat operasi pelacuran. Mereka juga telah memberikan peringatan dan
tuntutan pidanan yang berat bagi tenaga kerja seks anak di bawah umur.[15]
Di Thailand, LSM yang meneliti
perdagangan perempuan dan pelacuran hanya memusatkan perhatian pada bangkok dan
daerah utaranya. Pemerintah Thailand perlu memastikan implementasi dari
undang-undang anti perdagangan manusia di seluruh Thailand, meningkatkan aparat
penegak hukum, jaksa dan hakim dalam rangka meningkatkan keefektifan dalam
penyidikan. Selain itu juga perlunya intervensi untuk deportasi harus
dipertimbangkan dan ditawarkan kepada korban perdagangan, Thailand juga harus
meratifikasi protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan
khususnya perempuan dan anak-anak, mempercepat deklarasi ASEAN terhadap
perdagangan perempuan dan anak-anak, selain itu pemerintah Thailand juga perlu
melengkapi rancangan kebijakan strategi nasional pencegahan eksploitasi seksual
anak-anak di sektor pariwisata.[16]
Meskipun berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, namun tampaknya hal ini
tidak berjalan efektif. Antara lain disebabkan banyaknya korupsi yang dilakukan
pemerintah, kurangnya pemahaman pejabat lokal mengenai perdagangan orang,
kurangnya pemantauan pemerintah mengenai praktik perdagangan orang, kurangnya
pengadilan-pengadilan yang berbasis hak asasi manusia, dan juga mereka
mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi para korban.
Kesimpulan
Thailand merupakan salah satu negara
bagi berlangsungnya kejahatan kriminal transnasional yaitu perdagangan orang.
Thailand dikenal sebagai negara asal, transit dan juga tujuan bagi korbannya.
Mereka tidak hanya diekploitasi sebagai tenaga kerja paksa, namun juga
dijadikan sebagai eksploitasi seks. Pada umumnya mereka berasal dari daerah
miskin dan menginginkan perubahan terhadap hidupnya namun mereka dibohongi dan
direkrut menjadi pekerja seks dan pekerja lainnya. Selain itu faktor lainnya
adalah kurangnya pendidikan, lowongan pekerjaan dan juga banyaknya masalah
dalam keluarga mereka menyebabkan mereka rentan menjadi korban. Akibat
tingginya masalah perdagangan orang ini Thailand telah dikategorikan masuk ke
dalam Tier 2 Watch list. Oleh karena itu banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemerintah Thailand untuk mengurangi angka ini. Antara lain membuat
undang-undang anti perdagangan orang dan berusaha untuk mengimplementasikannya,
memperkuat kesadaran masyarakat mengenai bahayanya perdagangan orang,
meningkatkan kinerja aparat penegak hukum, dan juga memberi sanksi yang berat
bagi terjadinya tindakan perdagangan seks anak-anak dan sebagainya. Meskipun
banyak cara yang dilakukan pemerintah Thailand untuk mengurangi korban
perdagangan orang, namun ternyata hal ini sulit dilakukan karena di dalam tubuh
pemerintah sendiri banyak terjadi korupsi, kurangnya pemantauan yang
komprehensif dari pemerintah, kurangnya pemahaman di antara pejabat lokal
mengenai perdagangan orang, kurangnya pengadilan dengan pendekatan hak asasi
manusia, dan juga sulitnya mengidentifikasi para korban perdagangan orang
tersebut. Namun tetap saja diharapkan bahwa praktik perdagangan orang di
Thailand dapat dikurangi bahkan dihentikkan.
Jumlah Kata: 1.813
Daftar
Pustaka
Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara:
Teropong Terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Nizmi, Yusnarida Eka.
2011. Regionalisme dan Globalisme: Kajian
Tematik, Perdagangan Orang di Berbagai Belahan Dunia. Pekanbaru: Pusbangdik.
Brown,
Louis. 2005. Sex Slaves: Sindikat
Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta: Buku Obor.
“Thailand”, A Web Resource for Combating Human Trafficking, <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand>
[diakses 21 Oktober 2012].
“Trafficking In Thailand”, 22 November 2010,
<http://thaitrafficking.wordpress.com/> [diakses 21 Oktober 2012].
Ngern, Chaiyakorn Bai
& Waharak, Thachayan. “Thailand Remains Major Centre for Human
Trafficking”, The Nation, 28 Juni
2012, <http://www.nationmultimedia.com/national/Thailand-remains-major-centre-for-human-traffickin-30185065.html>
[diakses 21 Oktober 2012].
“Thailand”, Factbook on Global Sexual Exploitation,
<http://www.uri.edu/artsci/wms/hughes/thailand.htm> [diakses 21 Oktober 2012].
“Sex Trafficking of
Children In Thailand”, ECPAT
International, <http://ecpat.net/EI/Publications/Trafficking/Factsheet_Thailand.pdf>
[diakses 21 Oktober 2012].
“Thailand Promises to Solve Human Trafficking
Scourage”, Bangkok Post, 22 Juni
2012,
<http://www.bangkokpost.com/news/local/299135/thailand-promises-to-solve-human-trafficking-scourge>
[diakses dari 21 Oktober 2012]
“Thailand”, A Web Resource for Combating Human
Trafficking, <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand>
[diakses dari 21 Oktober 2012].
“Human Trafficking In Thailand”, Wikipedia The Free Encyclopedia, <http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Thailand>
[diakses 21 Oktober 2012].
[1] Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara:
Teropong Terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Hal.
19.
[2] “Thailand”, A Web Resource for Combating Human
Trafficking, diakses dari <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand>
pada tanggal 21 Oktober 2012.
[3] “Trafficking In
Thailand”, 22 November 2010, diakses dari
<http://thaitrafficking.wordpress.com/> pada tanggal 21 Oktober
2012.
[4] “Thailand”,
A Web Resource for Combating Human
Trafficking, diakses dari <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand>
pada tanggal 21 Oktober 2012.
[5]Yusnarida Eka Nizmi, Regionalisme dan Globalisme: Kajian Tematik,
Perdagangan Orang di Berbagai Belahan Dunia (Pekanbaru: Pusbangdik, 2011).
Hal. 113.
[6]Chaiyakorn Bai-Ngern,Thachayan
Waharak, “Thailand Remains Major Centre for Human Trafficking”, The Nation, 28 Juni 2012, diakses dari <http://www.nationmultimedia.com/national/Thailand-remains-major-centre-for-human-traffickin-30185065.html>
pada tanggal 21 Oktober 2012.
[7] “Thailand”, Factbook on Global Sexual Exploitation,
diakses dari <http://www.uri.edu/artsci/wms/hughes/thailand.htm> pada tanggal 21 Oktober 2012.
[8] Louis Brown, Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan
di Asia (Jakarta: Buku Obor, 2005). Hal. 39.
[9] Ibid.,
[10] “Sex Trafficking of
Children In Thailand”, ECPAT International,
diakses dari <http://ecpat.net/EI/Publications/Trafficking/Factsheet_Thailand.pdf>
pada tanggal 21 Oktober 2012.
[11] “ Thailand Promises
to Solve Human Trafficking Scourage”, Bangkok
Post, 22 Juni 2012, diakses dari <http://www.bangkokpost.com/news/local/299135/thailand-promises-to-solve-human-trafficking-scourge>
pada tanggal 21 Oktober 2012.
[12] Brown, op. cit., Hal. 63-64.
[13] Ibid., Hal. 99.
[14] “Thailand”, A Web Resource for Combating Human
Trafficking, diakses dari <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand>
pada tanggal 21 Oktober 2012.
[15] “Human Trafficking In
Thailand”, Wikipedia The Free
Encyclopedia, diakses dari <http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Thailand>
pada tanggal 21 Oktober 2012.
No comments:
Post a Comment