Saturday 25 May 2013

Perdagangan Orang (Human Trafficking) di Thailand



Penduduk Thailand pada saat ini diperkirakan mencapai 61,23 juta orang. Sebagian besar penduduk merupakan etnis Thai yaitu sekitar 75%, sementara sisanya adalah Cina 14% dan etnis lain sekitar 11%. Kebanyakan dari mereka menganut agama Buddha. Thailand merupakan negara yang tidak pernah dijajah. Pada masa kolonialisme di Asia Tenggara, negara ini berfungsi sebagai penyangga antara kolonialis Inggris di Burma dan Perancis di Vietnam. Thailand memiliki sejarah kudeta militer terbanyak di Asia tenggara, namun mereka tetap tampil sebagai negara dengan perekonomian yang cukup baik.[1]
Human Trafficking di Thailand
Thailand merupakan negara asal, tujuan dan juga transit untuk perdagangan manusia. Tujuan dari perdagangan manusia ini adalah untuk diperdagangkan sebagai pekerja seks ataupun sebagai eksploitasi tenaga kerja khususnya di wilayah sungai Mekong atau Mekong Sub-Region. Kebanyakan yang menjadi korban adalah para migran, etnis minoritas di Thailand, dan juga orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, hal ini disebabkan mereka memiliki resiko yang lebih besar untuk dijadikan sebagai korban perdagangan orang dan juga eksploitasi tenaga kerja. Pria Thailand pada umumnya yang memiliki keterampilan yang rendah banyak dijadikan sebagai pekerja paksa oleh para majikan mereka untuk membayar utang.[2] Diperkirakan setiap tahunnya di Thailand ada 500.000 wisatawan seks, dan juga ada 4,6 juta orang Thailand yang secara teratur mengunjungi para pekerja seks di sana.[3]
Thailand juga sebagai negara transit bagi korban perdagangan orang yang berasal dari Korea Utara, Cina, Vietnam, Pakistan, Burma dan juga berasal dari negara dunia ketiga antara lain seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Rusia, Eropa Barat, Korea Selatan dan juga Amerika Serikat. Kebanyakan para korban perdagangan dieksploitasi tenaga kerjanya, mereka biasanya ditemukan bekerja dalam produksi garmen, pengolahan hasil laut, dan juga menjadi pembantu rumah tangga. Bagian dari perdagangan orang di Thailand terdiri dari perdagangan pria, wanita dan juga anak-anak. Perdagangan seks anak juga menjadi masalah di Thailand. Menurut pemerintah Thailand anak-anak baik itu laki-laki maupun perempuan kadang-kadang dipaksa, untuk terpikat dan masuk kedalam prostitusi. UNESCO menyatakan bahwa kurangnya status hukum merupakan hal terbesar bagi resiko terjadinya perdagangan orang.[4] Yang banyak menjadi korban perdagangan orang tidak hanya warga Thailand sendiri, namun banyak juga yang berasal dari luar Thailand. Para korban yang bukan berasal dari Thailand tidak akan menerima bantuan dari pemerintah, hal itu diatur dalam undang-undang imigrasi Thailand.[5]

Banyak sumber yang menyatakan bahwa usia termuda korban perdagangan orang di Thailand adalah sekitar umur 11-15 tahun. Mereka memasuki sistem perdagangan orang dengan harapan mereka dapat membantu kehidupan keluarga mereka. Sementara itu, banyak perempuan Myanmar dikirim ke Thailand melalui distrik Tak Mae Sot dan Chiang Rai, kemudian mereka dikirim kembali ke pusat pelatihan dalam hal pelayanan seks. Mereka juga dipilih berdasarkan wajah mereka, yang cantik akan dikirim ke Bangkok, sementara sisanya akan dikirim ke provinsi perbatasan di Selatan Thailand. Thailand merupakan negara yang sangat jelas dalam hal perdagangan orang, bahkan mereka telah memiliki rute untuk memperdagangkan korbannya. Berdasarkan laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada perdagangan orang (TIP) melaporkan bahwa, Thailand telah memasuki ranking Tier 2 Watch List.[6] Banyak korban perdagangan orang tersebut tertipu dan juga terpikat karena mereka menghadapi kemiskinan, pengangguran, keluarga berantakan, dan juga masalah pemerintahan yang tidak stabil. Pekerja ilegal dari Thailand pada umumnya difasilitasi oleh para pelaku perdagangan orang dengan dokumen perjalanan palsu dan juga pengolahan warga asing ke negara-negara dunia ketiga. Para pelaku selalu mengatakan janji palsu kepada para korbannya bahwa mereka tidak akan terkena penyakit AIDS dalam rangka bekerja sebagai pekerja seks di sana.[7]
Thailand merupakan negara yang mana beranggapan bahwa anak-anak perempuan memiliki peran sebagai penanggung jawab keluarganya. Mereka diharapkan oleh orang tuanya dapat membayar kembali terhadap uang bagi air susu ibunya tersebut.[8] Daerah yang kurang subur di Thailand seperti di bagian utara dan timur Thailand merupakan tempat bagi perekrutan tradisional bagi industri seks. Kawasan ini lebih miskin dibandingkan dengan daerah lainnya seperti di wilayah tengah dan selatan Thailand. Banyak dari gadis-gadis desa di Thailand berangsur meninggalkan desanya untuk dikirim dan bekerja untuk memberikan pelayanan seks, baik untuk para pria Thailand maupun untuk warga asing lainnya. Kebanyakan dari mereka pada umumnya paham mengenai cara kerja industri seks ini, dan mereka juga mengerti bagaimana cara untuk mengurus karir mereka. Taraf pemahaman mereka hingga sedemikian jauh, sehingga para pemilik rumah bordil mulai terkesan pada perempuan beretnis Thailand ini, dan dapat dengan baik dimanfaatkan bagi usaha tersebut.[9]
Permintaan untuk seks mendorong terjadinya perdagangan seks secara global, sementara itu kemiskinan, kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan adanya keinginan anak-anak untuk hidup lebih baik membuat mereka rentan untuk menjadi korban. Kebanyakan yang menjadi korban adalah mereka anak-anak yang kurang berpendidikan, mereka kebanyakan beranggapan mudah untuk meyakinkan bahwa mereka harus melakukan apa yang orang dewasa memberitahu mereka untuk melakukannya. Mereka juga percaya mereka dapat menghidupi keluarga mereka dengan dijual dan dikirim ke luar negeri oleh keluarga mereka. Dan pada akhirnya mereka adalah orang-orang yang sangat rentan dalam menjadi korban tindak kriminal perdagangan orang.[10] Dalam perdagangan orang tersebut Thailand berjanji akan menyelesaikan masalah ini dan berusaha turun dari ranking yang telah dia dapati dalam perdagangan tersebut. menteri Luar Negeri Thailand Surapong Tovichakchaikul mengatakan bahwa Thailand berusaha untuk keluar dari ranking tersebut dan akan membahasa mengenai anti perdagangan orang dengan para instansi terkait.[11] Hal ini merupakan salah satu usaha bagi Thailand untuk mengurangi korban-korban dan juga berusaha menghentikan praktik dari perdagangan orang tersebut di negaranya.
Faktor Penyebab Perdagangan Orang di Thailand
              Banyak faktor-faktor penyebab bagi terjadinya perdagangan orang di Thailand. Antara lain karena adanya kemakmuran relatif di sekitar wilayah Mekong Sub-Region. Faktor lain disebabkan karena kemiskinan, kurangnya lowongan pekerjaan, kurangnya pendidikan, dan juga adanya keluarga yang berantakan. Mata rantai antara kemiskinan, prostitusi dan perdagangan perempuan memang rumit. Namun pada umumnya, seperti negara-negara berkembang di Thailand, kemiskinan bukan lagi hal utama dalam mengantarkan perempuan muda menjadi seorang pelacur. Di utara Thailand, prostitusi merupakan pilihan karir bagi banyak gadis muda. Pada tahun 1990, ada studi yang bertujuan untuk menentukan alasan apa sebabnya keluarga Thailand mendesak anak-anak gadisnya agar menjadi pelacur. Kesimpulannya adalah bahwa 60% dari keluarga yang mengirimkan anak-anak gadisnya ke rumah bordil tidak dipaksa untuk berbuat demikian karena kemiskinan yang menahun. Bahkan mereka termotivasi oleh hasrat untuk memiliki barang-barang mewah.[12]
              Kadang kontes kecantikan dapat menjadi metode dan kerapkali dipraktikkan guna menjaring gadis-gadis cantik. Pemenang akan menerima uang tunai, dan fotonya akan terpampang dalam berita, dan ia juga akan menerima tiket ke dunia prostitusi. Sejumlah perantara yang sudah maju akan memikirkan taktik yang baik untuk meningkatkan pangsa pasarnya, lalu mengirimkan foto-foto itu untuk disetujui oleh rumah bordil. Mereka juga akan diiklankan di internet guna menarik pelanggan yang potensial, terutama para wisatawan seks. Dalam hal ini, Thailand merintis cara ini untuk mengupayakan agar seks komersial menjadi industri terdepan, yang profesional dan berteknologi canggih yang sesuai bagi abad ke-21 sekarang ini.[13]
Upaya-Upaya Untuk Mengurangi Perdagangan Seks
              Pada tahun 2010, perdana menteri Thailand melakukan pertemuan dengan organisasi buruh dan masyarakat sipil untuk mengkoordinasikan upaya-upaya anti-perdagangan orang, selain itu, pemerintah Thailand juga terus berupaya untuk melatih ribuan polisi, tenaga kerja, jaksa, pekerja sosial, dan pejabat imigrasi pada untuk dapat mengidentifikasi para korban dan juga para pelaku.[14] Tidak hanya itu pemerintah Thailand juga terus mendukung kegiatan pencegahan dan kesadaran mayarakat tentang seks dan perdagangan tenaga kerja serta pariwisata seks selama setahun. Adanya keterlibatan masyarakat memperkuat kesadaran mereka tentang isu-isu yang berhubungan dengan perdagangan seks anak. Pemerintah Thailand juga berusaha untuk mengurangi permintaan domestik terhadap ilegal seks komersial dan pariwisata seks anak, para polisi juga sesekali menutup tempat operasi pelacuran. Mereka juga telah memberikan peringatan dan tuntutan pidanan yang berat bagi tenaga kerja seks anak di bawah umur.[15]
              Di Thailand, LSM yang meneliti perdagangan perempuan dan pelacuran hanya memusatkan perhatian pada bangkok dan daerah utaranya. Pemerintah Thailand perlu memastikan implementasi dari undang-undang anti perdagangan manusia di seluruh Thailand, meningkatkan aparat penegak hukum, jaksa dan hakim dalam rangka meningkatkan keefektifan dalam penyidikan. Selain itu juga perlunya intervensi untuk deportasi harus dipertimbangkan dan ditawarkan kepada korban perdagangan, Thailand juga harus meratifikasi protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan khususnya perempuan dan anak-anak, mempercepat deklarasi ASEAN terhadap perdagangan perempuan dan anak-anak, selain itu pemerintah Thailand juga perlu melengkapi rancangan kebijakan strategi nasional pencegahan eksploitasi seksual anak-anak di sektor pariwisata.[16] Meskipun berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, namun tampaknya hal ini tidak berjalan efektif. Antara lain disebabkan banyaknya korupsi yang dilakukan pemerintah, kurangnya pemahaman pejabat lokal mengenai perdagangan orang, kurangnya pemantauan pemerintah mengenai praktik perdagangan orang, kurangnya pengadilan-pengadilan yang berbasis hak asasi manusia, dan juga mereka mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi para korban.
Kesimpulan
Thailand merupakan salah satu negara bagi berlangsungnya kejahatan kriminal transnasional yaitu perdagangan orang. Thailand dikenal sebagai negara asal, transit dan juga tujuan bagi korbannya. Mereka tidak hanya diekploitasi sebagai tenaga kerja paksa, namun juga dijadikan sebagai eksploitasi seks. Pada umumnya mereka berasal dari daerah miskin dan menginginkan perubahan terhadap hidupnya namun mereka dibohongi dan direkrut menjadi pekerja seks dan pekerja lainnya. Selain itu faktor lainnya adalah kurangnya pendidikan, lowongan pekerjaan dan juga banyaknya masalah dalam keluarga mereka menyebabkan mereka rentan menjadi korban. Akibat tingginya masalah perdagangan orang ini Thailand telah dikategorikan masuk ke dalam Tier 2 Watch list. Oleh karena itu banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Thailand untuk mengurangi angka ini. Antara lain membuat undang-undang anti perdagangan orang dan berusaha untuk mengimplementasikannya, memperkuat kesadaran masyarakat mengenai bahayanya perdagangan orang, meningkatkan kinerja aparat penegak hukum, dan juga memberi sanksi yang berat bagi terjadinya tindakan perdagangan seks anak-anak dan sebagainya. Meskipun banyak cara yang dilakukan pemerintah Thailand untuk mengurangi korban perdagangan orang, namun ternyata hal ini sulit dilakukan karena di dalam tubuh pemerintah sendiri banyak terjadi korupsi, kurangnya pemantauan yang komprehensif dari pemerintah, kurangnya pemahaman di antara pejabat lokal mengenai perdagangan orang, kurangnya pengadilan dengan pendekatan hak asasi manusia, dan juga sulitnya mengidentifikasi para korban perdagangan orang tersebut. Namun tetap saja diharapkan bahwa praktik perdagangan orang di Thailand dapat dikurangi bahkan dihentikkan.
Jumlah Kata: 1.813

Daftar Pustaka
Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nizmi, Yusnarida Eka. 2011. Regionalisme dan Globalisme: Kajian Tematik, Perdagangan Orang di Berbagai Belahan Dunia. Pekanbaru: Pusbangdik.
Brown, Louis. 2005. Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta: Buku Obor.
 “Thailand”, A Web Resource for Combating Human Trafficking, <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand>  [diakses 21 Oktober 2012].
 “Trafficking In Thailand”, 22 November 2010, <http://thaitrafficking.wordpress.com/> [diakses 21 Oktober 2012].
Ngern, Chaiyakorn Bai & Waharak, Thachayan. “Thailand Remains Major Centre for Human Trafficking”, The Nation, 28 Juni 2012, <http://www.nationmultimedia.com/national/Thailand-remains-major-centre-for-human-traffickin-30185065.html> [diakses 21 Oktober 2012].
“Thailand”, Factbook on Global Sexual Exploitation, <http://www.uri.edu/artsci/wms/hughes/thailand.htm>  [diakses 21 Oktober 2012].
“Sex Trafficking of Children In Thailand”, ECPAT International, <http://ecpat.net/EI/Publications/Trafficking/Factsheet_Thailand.pdf> [diakses 21 Oktober 2012].
 “Thailand Promises to Solve Human Trafficking Scourage”, Bangkok Post, 22 Juni 2012, <http://www.bangkokpost.com/news/local/299135/thailand-promises-to-solve-human-trafficking-scourge> [diakses dari  21 Oktober 2012]
“Thailand”, A Web Resource for Combating Human Trafficking, <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand> [diakses dari  21 Oktober 2012].
 “Human Trafficking In Thailand”, Wikipedia The Free Encyclopedia, <http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Thailand> [diakses 21 Oktober 2012].


[1] Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan.,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Hal. 19.
[2] “Thailand”, A Web Resource for Combating Human Trafficking, diakses dari <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand> pada tanggal 21 Oktober 2012.
[3] “Trafficking In Thailand”, 22 November 2010, diakses dari  <http://thaitrafficking.wordpress.com/> pada tanggal 21 Oktober 2012.
[4] “Thailand”, A Web Resource for Combating Human Trafficking, diakses dari <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand> pada tanggal 21 Oktober 2012.
[5]Yusnarida Eka Nizmi, Regionalisme dan Globalisme: Kajian Tematik, Perdagangan Orang di Berbagai Belahan Dunia (Pekanbaru: Pusbangdik, 2011). Hal. 113.
[6]Chaiyakorn Bai-Ngern,Thachayan Waharak, “Thailand Remains Major Centre for Human Trafficking”, The Nation, 28 Juni 2012, diakses dari <http://www.nationmultimedia.com/national/Thailand-remains-major-centre-for-human-traffickin-30185065.html> pada tanggal 21 Oktober 2012.
[7] “Thailand”, Factbook on Global Sexual Exploitation, diakses dari <http://www.uri.edu/artsci/wms/hughes/thailand.htm>  pada tanggal 21 Oktober 2012.
[8] Louis Brown, Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia (Jakarta: Buku Obor, 2005). Hal. 39.
[9] Ibid.,
[10] “Sex Trafficking of Children In Thailand”, ECPAT International, diakses dari <http://ecpat.net/EI/Publications/Trafficking/Factsheet_Thailand.pdf> pada tanggal 21 Oktober 2012.
[11] “ Thailand Promises to Solve Human Trafficking Scourage”, Bangkok Post, 22 Juni 2012, diakses dari <http://www.bangkokpost.com/news/local/299135/thailand-promises-to-solve-human-trafficking-scourge> pada tanggal 21 Oktober 2012.
[12] Brown, op. cit., Hal. 63-64.
[13] Ibid., Hal. 99.
[14] “Thailand”, A Web Resource for Combating Human Trafficking, diakses dari <http://www.humantrafficking.org/countries/thailand> pada tanggal 21 Oktober 2012.
[15] “Human Trafficking In Thailand”, Wikipedia The Free Encyclopedia, diakses dari <http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Thailand> pada tanggal 21 Oktober 2012.
[16] ECPAT Internasional, Ibid.,

No comments:

Post a Comment