Sebuah Model Perkembangan Ilmu
Dalam
memahamai perkembangan Ilmu Hubungan Internasional, kita bisa meminjam model
perkembangan ilmu yang diajukan oleh Thomas Kuhn. Ilmu-ilmu pengetahuan alam
menurut Kuhn, berkembang sebagai berikut. Pada tahap awalnya, kegiatan
keilmuwan itu terutama adalah penelitian sederhana dalam bentuk pengumpulan
fakta secara acak. Dalam proses ini semua bahan penelitian dikumpulkan dan
dianggap sama penting dan relevan, tanpa ada upya pemilihan atau klasifikasi.
Dari kegiatan yang tidak terarah ini , muncul banyak fakta dan generalisasi
yang saling bertentangan. Hasil penyelidikan yang dilakukan seorang ilmuwan
bertentangan dengan hasil penelitian ilmuwan lainnya. Begitulah, kegiatan
keilmuwan tanpa arah ini berjalan terus dan menghasilkan banyak perdebatan,
polemic argumentasi. Dengan berlalunya waktu, perbedaan-perbedaan pandangan itu
menyurut ketika salah satu dari berbagai aliran pemikiran itu membuktikan
kemampuannya, melebihi yang lain, untuk mengintegrasikan berbagai informasi
pengetahuan yang tersebar tidak teratur itu.
Gambaran
Kuhn tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam ini bertentanagn dengan
pandangan Karl Popper. Menurut pandangan Popperian, ilmu berkembang secara
rasional dan akumulatif, yaitu melalui proses falsifikasi dan penemuan baru. Dalam
proses ini teori-teori dalam bidang keilmuan yang bersangkutan terus-menerus
dihadapkan pada tes falsifikasi (atau systemic
criticism of error) dan semakin banyak teori-teorinya yang lulus tes
falsifikasi (yaitu, tidak tersalahkan) semakin maju ilmu tersenbut, dan
begitupun sebaliknya.
Perkembangan
Ilmu Hubungan Internasional
Perkembangan
ilmu hubungan internasional berkembang sejalan dengan perkembangan dalam
bidang-bidang studi lain. Bidag studi ilmu hubungan internasional selalu
dipengaruhi dengan kuat oleh perkembangan lingkungan sekitarnya, baik
lingkungan intelektual maupun politik. Dan terutama sejak berakhirnya Perang
Dunia II, ilmu ini mengalami perkembangan yang dinamis dan penuh inovasi. Pada
kurun waktu inilah orang-orang menemukan banyak konsep-konsep, model-model,
teori-teori dan wilayah-wilayah penelitian baru dalam Ilmu Hubungan
Internasional. Pada masa ini ilmuwan, kalau tidak ingin ketinggalan dalam
suasana keilmuwan yang selalu berubah, harus selalu siap untuk merevisi
kerangka berpikirnya.
Studi
Hubungan Internasional Sebelum Perang Dunia II
Sejak
lama, obyek studi berujud hubungan antara kelompok-kelompok yang berkuasa yang
tinggal di tempat yang berbeda-beda telah menjadi bagian dari studi sejarah.
selama berabad-abad pekerjaan para pelopor studi hubungan internasional ini
hanya mengumpulkan data yang berserak-serak. Sementara itu para ilmuwan lain
juga telah sejak lama mempelajari fenomena social seperti hokum yang mengatur
hubungan antarbangsa hakekat kekuasaan, Negara dan kedaulatan, masalah
pengelolaan hubungan kekuasaan, dan pengembangan lembaga-lembaga internasional.
Dari berbagai studi ini muncullah pada abad 20 suatu bidang studi yang
terorganisasi dan dimasukkan dalam kurikulum beberapa universitas di Amerika
Serikat, yaitu bidang studi hubungan intenasional. Dan terutama sesudah perang
Dunia I, studi dan pengajaran hubungan internasional memperoleh pengakuan
sebagai bidang studi yang berdiri sendiri di Amerika Serikat dan Eropa. Menurut
E.H. Carr, munculmya hubungan internasional sebagai bidang studi tersendiri
adalah akibat dari keinginan, terutama sesudah Perang Dunia I, untuk memahami
sebab-sebab terjadinya konflik dan untuk membina dunia yang lebih damai.
Asumsi-asumsi
yang mendasari pendekatan terhadap studi tentang fenomena internasional ini
runtuh ketika pecah perang dunia I. banyak studi hubungan internasional sejak
itu sampai menjelang perang dunia berikutnya mencerminkan ketidakpercayaan pada
asumsi-asumsi paradigm abad ke-19 itu. Tetapi yang menarik adalah bahwa,
kesimpulan yang diambil tidak menunjukkan bahwa pendekatan lama itu salah,
bahkan pendekatan itu diusulkan untuk diterapkan lagi dengan lebih
sungguh-sungguh. Tragedi perang dunia I makin meyakinkan para intelektual pada
kurun waktu itu bahwa upaya pencegahan terjadinya kerusakan seperti itu harus
digalakkan. Akibatnya, selama masa 1920-an sampai 1930-an, studi hubungan
internasional berjalan menurut tiga alur. Yang pertama, hubungan internasional
dipelajari melalui penelaahan kejadian-kejadian yang sedang jadi berita utama
dan dari bahan itu dicoba dibuat semacam pola umum kejadian. Kedua, hubungan
internasional waktu itu dipelajari melalui studi tentang organisasi
internasional. Ini didasarkan pada asumsi bahwa konflik bisa dikelola dan
diselesaikan kalau dapat diciptakan suatu aturan main atau tertib hukum yang
didukung oleh perangkat organisasi seperti Liga Bangsa-Bangsa. Orientasi
pendekatan ini adalah reformasi. Ketiga, studi hubungan internasional pada masa
itu adalah model analisa yang menekankan ekonomi internasional. Denganberdasar
pemikiran Marxos-Lennin, aliran analisa ini menggunakan variabel-variabel
ekonomi untuk menjelaskan tejadinya konflik dan perang internasional di masa
sebelumnya.
Pada
1930-an muncul pendekatan yang ingin memperbaiki pendekatan-pendekatan
historic, legal dan institusional, yaitu dengan menekankan analisa data dengan
tujuan membentuk teori yang bisa memberi penjelasan. Pada 1933 Frederick
Schuman menerbitkan buku International
Politics yang menolak argumen teoritisi normative dan mempelopori
penggunaan konsep kekuasaan untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional
secara realistis. Bidang-bidang baru yang dikembangkan pada 1930-an, terutama
studi tentang konflik, pada masa sesudah perang dunia II kembali menjadi topic
yang dipelajari secara lebih intensif. Terutama sekali, penolakan terhadap
teorisasi normative dan utopian itu dipelopori oleh teoritisi realis. Dan ini
kemudian melahirkan paradigm baru yang menekankan pentingnya factor kekuasaan
dalam menentukan dinamika hubungan internasional
Studi
Hubungan Internasional Sesudah Perang Dunia II
Paradigm
realis, yang mendominasi teorisasi hubungan internasional selama kurang lebih
dua dasawarsa sesudah perang dunia II, merupakan wujud dari upaya mengembangkan
pendekatan teoritis yang sekaligus bisa mendeskripsikan dan menjelaskan
perilaku Negara dalam hubungan internasional dan bisa memberikan kerangka
preskriptif bagi para negarawan dalam membuat keputusan. Pendekatan seperti itu
di Amerika dikembangkan dikembangkan oleh kaum realis yang banyak di antaranya
adalah imigran yang melarikan diri dari Eropa Tengah akibat ancaman Nazi
Jerman. Salah satu tokohnya adalah Hans J. Morgenthau, menegaskan proposisi
bahwa kekuasaan adalah focus utama studi dan praktek hubungan internasional.
Morgenthau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang untuk
mengendalikan pikiran dan tindakan orang lain.
Sekalipun
begitu, paradigm realis sejak akhir perang dunia II tidak bebas dari kritik
yang seringkali pedas. Pengkiritik paling awal adalah para pendukung tradisi
teori normative-utopian, yang juga disebut kaum idealis. Tokohnya yaitu,
Richard Falk, menuduh kaum realis sebagai mengagung-agungkan kekuasan,
mengesampingkan pertimbangan moral dan cenderung mendukung slogan kekuatan
menentukan hak. Pengkritik ketiga muncul pada awal 1960-an, kritik mereka
diarahkan pada tidak adanya disiplin dan ketepatan dalam pendefinisian
konsep-konsep realis seperti kekuasaan, kepentingan nasional dan perimbangan
kekuatan. Kekaburan makan konsep ini tidak bisa diukur sehingga tidak bisa
dianalisa dengan sungguh-sungguh. Kedua pengkritik ini tidak puas dengan konsep
kekuasan, mereka berusaha menunjukkan bahwa perjuangan memperoleh kekuasaan
bukan satu-satunya motif yang dominan dalam menentukan perilaku manusia. Kritik
mereka ini banyak dipengaruhi oleh tradisi teorisasi dalam ilmu social yang
walaupun bibitnya sudah ada sejak 1930-an tetapi baru berkembang kuat pada
1950-an, yaitu tradisi behavioral.
“Revolusi
Behavioral” dan Pendekatan “Saintifik”
Gerakan
Behavioralis mendorong studi hubungan internasional ke arah penciptaan teori
yang eksplanatori dan prediktif. Yaitu teori yang menjelaskan dan meramalkan.
Kaum ini mengkritik ilmuwan sebelumnya yaitu tradisionalis, karena mengabaikan
perumusan dan pengujian hipotesis dan pembentukan model atau teori berdasar
hipotesa-hipotesa yang saling dikaitkan secara logis. Kontroversi behavioralis
dan tradisionalis melahirkan perbedaang pengertian tentang sifat teori dan
hubungan internasional. Konsepsi pertama, mendefenisikan teori hubungan
internasional sebagai suatu bentukan simbolis, yang terdiri dari serangkaian
konsep yang didasarkan pada definisi, hukum, teorem dan aksioma tertentu.
Konsepsi kedua justru melakukan kebalikannya, banyak teori dalam hubungan
internasional yang diciptakan secara induktif, yaitu dengan membentuk
generalisasi tentang perilaku politik yang ditarik secara induktif dari
fakta-fakta empiris, masa lalu maupun masa kini, baik menggunakan metode
kuantitatif maupun metode perbandingan kasus-kasus.
Studi
Hubungan Internasional Pasca-Behavioralis
Pembahasan
perkembangan metodologis studi ini pada akhirnya lebih banyak menunjukkan
keanekaragaman daripada kesepakatan akademik. Munculnya suatu paradigm yang
dianggap dominan pada suatu masa tidak bertahan lama dan segera ditumbangkan
oleh pengkritiknya. Tidak adanya kesepakatan metodologis ini membuat
perkembangan teoritis studi ini sangat lamban. Seperti halnya teori-teori
social yang lain, teori-teori hubungan internasional relatif masih kasar dan
kurang berkembang. teori-teori politik dan hubungan internasional agak
primitif. Pemahaman tentang perilaku manusia baru bisa diperoleh melalui
spekulasi atau sebagai hasil deduksi dari premis-premis teologis atau
filosofis. Baru menjelang akhir abad 19, Karl Marx, sebagai salah satu pemula,
menerapkan metode penelitian survai untuk pertama kali dengan menyebarkan
25.000 kuesioner di kalangan buruh. Sosiologi sebagai kegiatan saintifik baru
seratus tahun kemudian bisa berkembang dalam penelitian berskala besar. Ilmu
politik sebagai kegiatan saintifik dimulai pada 1930-an melalui karya-karya
Charles Merriam. Tradisi ini dalam illmu hubungan internasional baru
dikembangkan dengan sungguh-sungguh pada sejak 1950-an.
Keterbelakangan
teoritis itu mengecewakan banyak pengkaji ilmu ini. Karena itu teoritisi
behavioralis keras mendorong studi hubungan internasional kearah pembentukan
generalisasi dan perumusan teori yang eksplanatoris dan prediktif. Dan dalam
kaitan itulah mereka mengutamakan persoalan metode penelitian dan teknik
pengumpulan serta analisa data. Namun ini pun tidak bebas kritik. Penekanan
kaum behavioralis pada masalah metodologis terlalu berlebihan sehingga membuat
studi politik, termasuk hubungan internasional menjadi kurang relevan dengan
kebutuhan manusia. Teoritisi pasca behavioralis, tidak mengakui pembedaan
antara fakta dan nilai. Mereka mensyaratkan bahwa ilmuwan politik dan hubungan
internasional harus menilai baik-buruknya suatu system politik, domestic maupun
internasional dan harus memihak. Kelompom ini menerima kenyataan bahwa nilai
sangat mempengaruhi proses keilmuwan. Perspektif teoritis yang dianut seseorang
ilmuwan sosial sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang dianutnya. Karena itu
daripada membuang waktu menciptakan kesepakatan yang sangat sulit dilakukan,
lebih baik mengakui adanya keanekaragaman perspektif teoritis dalam studi
hubungan internasional dan menilai masing-masing berdasar kemampuannya
memberikan penjelasan yang paling meyakinkan.
No comments:
Post a Comment