Saturday 25 May 2013

Ilmu Hubungan Internasional Dalam Perspektif Perkembangan Ilmu



Sebuah Model Perkembangan Ilmu
            Dalam memahamai perkembangan Ilmu Hubungan Internasional, kita bisa meminjam model perkembangan ilmu yang diajukan oleh Thomas Kuhn. Ilmu-ilmu pengetahuan alam menurut Kuhn, berkembang sebagai berikut. Pada tahap awalnya, kegiatan keilmuwan itu terutama adalah penelitian sederhana dalam bentuk pengumpulan fakta secara acak. Dalam proses ini semua bahan penelitian dikumpulkan dan dianggap sama penting dan relevan, tanpa ada upya pemilihan atau klasifikasi. Dari kegiatan yang tidak terarah ini , muncul banyak fakta dan generalisasi yang saling bertentangan. Hasil penyelidikan yang dilakukan seorang ilmuwan bertentangan dengan hasil penelitian ilmuwan lainnya. Begitulah, kegiatan keilmuwan tanpa arah ini berjalan terus dan menghasilkan banyak perdebatan, polemic argumentasi. Dengan berlalunya waktu, perbedaan-perbedaan pandangan itu menyurut ketika salah satu dari berbagai aliran pemikiran itu membuktikan kemampuannya, melebihi yang lain, untuk mengintegrasikan berbagai informasi pengetahuan yang tersebar tidak teratur itu.
            Gambaran Kuhn tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam ini bertentanagn dengan pandangan Karl Popper. Menurut pandangan Popperian, ilmu berkembang secara rasional dan akumulatif, yaitu melalui proses falsifikasi dan penemuan baru. Dalam proses ini teori-teori dalam bidang keilmuan yang bersangkutan terus-menerus dihadapkan pada tes falsifikasi (atau systemic criticism of error) dan semakin banyak teori-teorinya yang lulus tes falsifikasi (yaitu, tidak tersalahkan) semakin maju ilmu tersenbut, dan begitupun sebaliknya.

Perkembangan Ilmu Hubungan Internasional
            Perkembangan ilmu hubungan internasional berkembang sejalan dengan perkembangan dalam bidang-bidang studi lain. Bidag studi ilmu hubungan internasional selalu dipengaruhi dengan kuat oleh perkembangan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan intelektual maupun politik. Dan terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II, ilmu ini mengalami perkembangan yang dinamis dan penuh inovasi. Pada kurun waktu inilah orang-orang menemukan banyak konsep-konsep, model-model, teori-teori dan wilayah-wilayah penelitian baru dalam Ilmu Hubungan Internasional. Pada masa ini ilmuwan, kalau tidak ingin ketinggalan dalam suasana keilmuwan yang selalu berubah, harus selalu siap untuk merevisi kerangka berpikirnya.
Studi Hubungan Internasional Sebelum Perang Dunia II
            Sejak lama, obyek studi berujud hubungan antara kelompok-kelompok yang berkuasa yang tinggal di tempat yang berbeda-beda telah menjadi bagian dari studi sejarah. selama berabad-abad pekerjaan para pelopor studi hubungan internasional ini hanya mengumpulkan data yang berserak-serak. Sementara itu para ilmuwan lain juga telah sejak lama mempelajari fenomena social seperti hokum yang mengatur hubungan antarbangsa hakekat kekuasaan, Negara dan kedaulatan, masalah pengelolaan hubungan kekuasaan, dan pengembangan lembaga-lembaga internasional. Dari berbagai studi ini muncullah pada abad 20 suatu bidang studi yang terorganisasi dan dimasukkan dalam kurikulum beberapa universitas di Amerika Serikat, yaitu bidang studi hubungan intenasional. Dan terutama sesudah perang Dunia I, studi dan pengajaran hubungan internasional memperoleh pengakuan sebagai bidang studi yang berdiri sendiri di Amerika Serikat dan Eropa. Menurut E.H. Carr, munculmya hubungan internasional sebagai bidang studi tersendiri adalah akibat dari keinginan, terutama sesudah Perang Dunia I, untuk memahami sebab-sebab terjadinya konflik dan untuk membina dunia yang lebih damai.
            Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan terhadap studi tentang fenomena internasional ini runtuh ketika pecah perang dunia I. banyak studi hubungan internasional sejak itu sampai menjelang perang dunia berikutnya mencerminkan ketidakpercayaan pada asumsi-asumsi paradigm abad ke-19 itu. Tetapi yang menarik adalah bahwa, kesimpulan yang diambil tidak menunjukkan bahwa pendekatan lama itu salah, bahkan pendekatan itu diusulkan untuk diterapkan lagi dengan lebih sungguh-sungguh. Tragedi perang dunia I makin meyakinkan para intelektual pada kurun waktu itu bahwa upaya pencegahan terjadinya kerusakan seperti itu harus digalakkan. Akibatnya, selama masa 1920-an sampai 1930-an, studi hubungan internasional berjalan menurut tiga alur. Yang pertama, hubungan internasional dipelajari melalui penelaahan kejadian-kejadian yang sedang jadi berita utama dan dari bahan itu dicoba dibuat semacam pola umum kejadian. Kedua, hubungan internasional waktu itu dipelajari melalui studi tentang organisasi internasional. Ini didasarkan pada asumsi bahwa konflik bisa dikelola dan diselesaikan kalau dapat diciptakan suatu aturan main atau tertib hukum yang didukung oleh perangkat organisasi seperti Liga Bangsa-Bangsa. Orientasi pendekatan ini adalah reformasi. Ketiga, studi hubungan internasional pada masa itu adalah model analisa yang menekankan ekonomi internasional. Denganberdasar pemikiran Marxos-Lennin, aliran analisa ini menggunakan variabel-variabel ekonomi untuk menjelaskan tejadinya konflik dan perang internasional di masa sebelumnya.
            Pada 1930-an muncul pendekatan yang ingin memperbaiki pendekatan-pendekatan historic, legal dan institusional, yaitu dengan menekankan analisa data dengan tujuan membentuk teori yang bisa memberi penjelasan. Pada 1933 Frederick Schuman menerbitkan buku International Politics yang menolak argumen teoritisi normative dan mempelopori penggunaan konsep kekuasaan untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional secara realistis. Bidang-bidang baru yang dikembangkan pada 1930-an, terutama studi tentang konflik, pada masa sesudah perang dunia II kembali menjadi topic yang dipelajari secara lebih intensif. Terutama sekali, penolakan terhadap teorisasi normative dan utopian itu dipelopori oleh teoritisi realis. Dan ini kemudian melahirkan paradigm baru yang menekankan pentingnya factor kekuasaan dalam menentukan dinamika hubungan internasional
Studi Hubungan Internasional Sesudah Perang Dunia II
            Paradigm realis, yang mendominasi teorisasi hubungan internasional selama kurang lebih dua dasawarsa sesudah perang dunia II, merupakan wujud dari upaya mengembangkan pendekatan teoritis yang sekaligus bisa mendeskripsikan dan menjelaskan perilaku Negara dalam hubungan internasional dan bisa memberikan kerangka preskriptif bagi para negarawan dalam membuat keputusan. Pendekatan seperti itu di Amerika dikembangkan dikembangkan oleh kaum realis yang banyak di antaranya adalah imigran yang melarikan diri dari Eropa Tengah akibat ancaman Nazi Jerman. Salah satu tokohnya adalah Hans J. Morgenthau, menegaskan proposisi bahwa kekuasaan adalah focus utama studi dan praktek hubungan internasional. Morgenthau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang untuk mengendalikan pikiran dan tindakan orang lain.
            Sekalipun begitu, paradigm realis sejak akhir perang dunia II tidak bebas dari kritik yang seringkali pedas. Pengkiritik paling awal adalah para pendukung tradisi teori normative-utopian, yang juga disebut kaum idealis. Tokohnya yaitu, Richard Falk, menuduh kaum realis sebagai mengagung-agungkan kekuasan, mengesampingkan pertimbangan moral dan cenderung mendukung slogan kekuatan menentukan hak. Pengkritik ketiga muncul pada awal 1960-an, kritik mereka diarahkan pada tidak adanya disiplin dan ketepatan dalam pendefinisian konsep-konsep realis seperti kekuasaan, kepentingan nasional dan perimbangan kekuatan. Kekaburan makan konsep ini tidak bisa diukur sehingga tidak bisa dianalisa dengan sungguh-sungguh. Kedua pengkritik ini tidak puas dengan konsep kekuasan, mereka berusaha menunjukkan bahwa perjuangan memperoleh kekuasaan bukan satu-satunya motif yang dominan dalam menentukan perilaku manusia. Kritik mereka ini banyak dipengaruhi oleh tradisi teorisasi dalam ilmu social yang walaupun bibitnya sudah ada sejak 1930-an tetapi baru berkembang kuat pada 1950-an, yaitu tradisi behavioral.
“Revolusi Behavioral” dan Pendekatan “Saintifik”
            Gerakan Behavioralis mendorong studi hubungan internasional ke arah penciptaan teori yang eksplanatori dan prediktif. Yaitu teori yang menjelaskan dan meramalkan. Kaum ini mengkritik ilmuwan sebelumnya yaitu tradisionalis, karena mengabaikan perumusan dan pengujian hipotesis dan pembentukan model atau teori berdasar hipotesa-hipotesa yang saling dikaitkan secara logis. Kontroversi behavioralis dan tradisionalis melahirkan perbedaang pengertian tentang sifat teori dan hubungan internasional. Konsepsi pertama, mendefenisikan teori hubungan internasional sebagai suatu bentukan simbolis, yang terdiri dari serangkaian konsep yang didasarkan pada definisi, hukum, teorem dan aksioma tertentu. Konsepsi kedua justru melakukan kebalikannya, banyak teori dalam hubungan internasional yang diciptakan secara induktif, yaitu dengan membentuk generalisasi tentang perilaku politik yang ditarik secara induktif dari fakta-fakta empiris, masa lalu maupun masa kini, baik menggunakan metode kuantitatif maupun metode perbandingan kasus-kasus.
Studi Hubungan Internasional Pasca-Behavioralis
            Pembahasan perkembangan metodologis studi ini pada akhirnya lebih banyak menunjukkan keanekaragaman daripada kesepakatan akademik. Munculnya suatu paradigm yang dianggap dominan pada suatu masa tidak bertahan lama dan segera ditumbangkan oleh pengkritiknya. Tidak adanya kesepakatan metodologis ini membuat perkembangan teoritis studi ini sangat lamban. Seperti halnya teori-teori social yang lain, teori-teori hubungan internasional relatif masih kasar dan kurang berkembang. teori-teori politik dan hubungan internasional agak primitif. Pemahaman tentang perilaku manusia baru bisa diperoleh melalui spekulasi atau sebagai hasil deduksi dari premis-premis teologis atau filosofis. Baru menjelang akhir abad 19, Karl Marx, sebagai salah satu pemula, menerapkan metode penelitian survai untuk pertama kali dengan menyebarkan 25.000 kuesioner di kalangan buruh. Sosiologi sebagai kegiatan saintifik baru seratus tahun kemudian bisa berkembang dalam penelitian berskala besar. Ilmu politik sebagai kegiatan saintifik dimulai pada 1930-an melalui karya-karya Charles Merriam. Tradisi ini dalam illmu hubungan internasional baru dikembangkan dengan sungguh-sungguh pada sejak 1950-an.
            Keterbelakangan teoritis itu mengecewakan banyak pengkaji ilmu ini. Karena itu teoritisi behavioralis keras mendorong studi hubungan internasional kearah pembentukan generalisasi dan perumusan teori yang eksplanatoris dan prediktif. Dan dalam kaitan itulah mereka mengutamakan persoalan metode penelitian dan teknik pengumpulan serta analisa data. Namun ini pun tidak bebas kritik. Penekanan kaum behavioralis pada masalah metodologis terlalu berlebihan sehingga membuat studi politik, termasuk hubungan internasional menjadi kurang relevan dengan kebutuhan manusia. Teoritisi pasca behavioralis, tidak mengakui pembedaan antara fakta dan nilai. Mereka mensyaratkan bahwa ilmuwan politik dan hubungan internasional harus menilai baik-buruknya suatu system politik, domestic maupun internasional dan harus memihak. Kelompom ini menerima kenyataan bahwa nilai sangat mempengaruhi proses keilmuwan. Perspektif teoritis yang dianut seseorang ilmuwan sosial sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang dianutnya. Karena itu daripada membuang waktu menciptakan kesepakatan yang sangat sulit dilakukan, lebih baik mengakui adanya keanekaragaman perspektif teoritis dalam studi hubungan internasional dan menilai masing-masing berdasar kemampuannya memberikan penjelasan yang paling meyakinkan.

No comments:

Post a Comment