Cikal bakal Konflik
Laut China Selatan
Laut China Selatan memang luas.Wilayah laut tersebut
membentang dari membentang dari Singapura yang diawali dari Selat Malaka sampai
ke Selat Taiwan.Wilayah ini pun menjadi rebutan dari beberapa negara yang dekat
dengannya.Tercatat beberapa Negara seperti China, Malaysia, Filipina, Vietnam,
Brunei Darussalam dan Taiwan, saling tukar klaim atas wilayah laut tersebut.
Dengan dalihnya masing-masing negara, mereka mengakui sebagian dari Laut Cina
Selatan sebagai bagian dari teritorialnya.China menjadi negara yang paling
bernafsu memiliki kekuasaan atas wilayah Laut China Selatan.Kekayaan alam yang
dikandung oleh Laut China Selatan, menjadi penyebab utama perebutan wilayah
ini.
Menurut Kementerian Sumber Daya dan Pertambangan
China, diperkirakan kandungan minyak mentah yang berada di Laut China Selatan
mencapai 17,7 miliar ton. Ini jauh lebih besar dibandingkan cadangan minyak di
Kuwait yang mencapai 13 miliar ton. Namun catatan lain menyebutkan cadangan
minyak di wilayah Laut China Selatan hanya mencapai 7,5 miliar barel atau 1,1
ton barel. Selain cadangan minyak dan gas bumi, wilayah perairan Laut China
Selatan amatlah penting. Siapa pun yang menguasainya tentunya akan menjadi
memiliki keuntungan besar. Sebagai salah satu perairan paling sibuk di dunia,
tentunya membawa keuntungan bagi negara-negara yang wilayah lautnya dilewati.Dengan
statusnya yang banyak diklaim oleh beberapa negara, wilayah laut ini pun sangat
strategis untuk dijaga keamanannya.Laut China Selatan jelas juga sangat penting
bagi kestabilan ekonomi dan politik global.Tak kurang, pertentangan dan konflik
yang terjadi melibatkan konflik senjata.Konflik terbaru terjadi antara Filipina
dengan China di Dangkalan Scarborough.Selain itu, Vietnam dengan Filipina pun
sempat memanas setelah kapal dari tiap kedua negara saling memicu ketegangan.
Sengketa berkelanjutan mengenai hak
teritorial atas Kepulauan Spratly dan Paracel, Bantaran Sungai Macclesfield,
dan Karang Scarborough antara Republik Rakyat Cina, Filipina, Vietnam,
Malaysia, Brunei, dan Taiwan telah berkembang menjadi sengketa nama untuk Laut
Cina Selatan.Negara-negara di kawasan itu telah memberi nama yang
berbeda-beda untuk laut tersebut selama sejarah navigasi dan perdagangan yang
panjang di daerah itu. Dalam bahasa Inggris, laut tersebut selalu disebut
sebagai Laut Cina Selatan, atau persamaannya dalam kebanyakan bahasa Eropa.
Orang Eropa pertama yang melayari
dan memberi nama untuk kawasan tersebut adalah marinir Portugis yang
menamakannya Laut Cina, atau Mar da China. Mereka kemudian mengubahnya menjadi
Laut Cina Selatan.Sekarang, Organisasi Hidrografik Internasional menyebutnya
Laut Cina Selatan atau Nan Hai (Laut Selatan) dalam bahasa Cina.
Nama laut bisa ditelusuri hingga 2.000 tahun yang lalu
Nama yang diberikan oleh Cina
untuk
laut tersebut bisa ditelusuri hingga 2.000 tahun yang lalu pada zaman Dinasti
Han, yang satu zaman dengan Republik Romawi dan Kerajaan Romawi. Laut tersebut
dinamakan Zhang Hai, atau Laut Busung, dan seribu tahun kemudian menjadi Laut
Bergolak di bawah zaman pemisahan antara Dinasti Utara dan Selatan. Nama Nan
Hai yang sekarang ini telah digunakan selama lebih dari 300 tahun sejak awal era
Dinasti Qing [Manchu].Meskipun demikian, setidaknya semenjak 500 tahun yang
lalu, dan bahkan mungkin lebih lama, penduduk Asia Tenggara sering menyebutnya
sebagai Laut Champa atau Laut Cham, menamakannya seperti kerajaan maritim
Champa yang terletak di bagian selatan dan tengah Vietnam sampai ke Kamboja
sejak abad ke-7 sampai tahun 1832.
Ketika Jepang menjajah Indocina pada
tahun 1941, laut tersebut dinamakan laut Minami Shina Kai atau Laut Cina
Selatan. Dan Jepang masih menggunakan nama itu sampai sekarang.
Bagi bangsa-bangsa modern yang
sekarang dikenal sebagai Indonesia, Filipina, dan Malaysia, laut tersebut
disebut sebagai Laut Cina Selatan dalam bahasa lokal mereka -- Dagat Timog
Tsina dalam bahasa Tagalog di Filipina dan Laut China Selatan dalam bahasa
Melayu. Orang Filipina menyebut bagian yang terletak di dalam laut
teritorialnya sebagai Laut Luzon atau Dagat Luzon.
Namun, ketika sengketa antara
Filipina dan Cina atas klaim yang bertentangan atas Kepulauan Spratly meningkat
pada tahun 2011, departemen dan juru bicara pemerintah Filipina mulai menyebut
seluruh kawasan laut tersebut sebagai Laut Filipina Barat. Layanan Administrasi
Atmosferik, Geofisika, dan Astronomik Filipina [PAGASA] bersikukuh pada posisi
bahwa kawasan tersebut akan selalu disebut sebagai Laut Filipina.Pulau-pulau
kecil yang disengketakan di laut tersebut juga disebut dengan berbagai nama
yang bertentangan, dengan klaim kedaulatan pelik yang bertentangan atas mereka
yang sudah terjadi selama ratusan tahun. Bangsa-bangsa Barat menyebut satu
kumpulan pulau sebagai kepulauan Spratly.Cina menyebutnya Kepulauan Nansha.
Filipina menyebut Karang Scarborough
sebagai Beting Panatag, Bajo de Masinlóc atau Karburo.Cina telah menamakannya
sebagai Kepulauan Huangyan sejak tahun 1983.Pada tahun 1947, pemerintah
Kuomintang dari Republik Cina menyatakan kedaulatan atas karang tersebut dan
menamakannya Minzhu Jiao atau Karang Demokrasi.Nama Baratnya berasal dari kapal
dagang Scarborough milik Perusahaan Hindia Timur Britania yang tenggelam tanpa
ada yang selamat setelah menabrak karang tersebut pada tahun 1784.Filipina
berusaha menyatakan kedaulatannya atas Karang Scarborough selama setengah abad,
dengan membangun sebuah menara setinggi 27,23 kaki [8,3 meter] di sana pada
tahun 1965.
Para astronom mengunjungi Karang Scarborough pada tahun 1279
Meskipun demikian, Cina bersikukuh
bahwa klaimnya atas karang tersebut sudah ada sejak tahun 1279 ketika astronom
Guo Shoujing mengunjungi situs tersebut selama Dinasti Yuan.Cina memberi nama
kepada kumpulan pulau-pulau yang berbeda di Laut Cina Selatan menurut lokasi
mereka yang dibagi menjadi empat: Kepulauan Paracel adalah Kepulauan Xisha atau
Pantai [atau Pasir] Barat; Kepulauan Spratly disebut Nansha atau Pantai
Selatan; pulau-pulau lain dinamakan Dongsha, dikenal juga dengan nama Prata.
Bantaran Sungai Macclesfield dinamakan Kepulauan Zhongha, atau Pantai [atau
Pasir] Tengah.Cina telah menyatakan kedaulatan atasnya sejak tahun 1935.Klaim
awal oleh pemerintah Kuomintang Jiang Jieshi [Chiang Kai-shek] telah dipertahankan
oleh Republik Rakyat Cina.
Nama Paracel bisa ditelusuri hingga
400 tahun yang lalu pada masa pedagang Portugis pada akhir abad ke-16.Namun
Cina menyebutnya kepulauan Wanglishitang, atau Sepuluh Ribu Mil Kolam Berbatu
pada masa Dinasti Yuan, 750 tahun yang lalu.Nama kepulauan ini juga digunakan
oleh para pelayar dan penjelajah Cina yang terkenal, Zheng He di dalam petanya
pada tahun 1430 pada masa Dinasti Ming.
Vietnam juga menyatakan klain atas laut
Vietnam juga memiliki kumpulan nama untuk
wilayah kecil di Laut Cina Selatan tersebut. Perancis menyatakan klaim atas
kepulauan Spratly dan Paracel pada tahun 1887 dan menegaskan kembali klaim
mereka pada tahun 1933. Orang Vietnam telah menyebut kepulauan tersebut dengan
Hoang Sa, atau Pasir Kuning sejak abad ke-15. Di dalam bahasa Vietnam modern,
nama tersebut dieja Hoàng Sa atau Cát Vàng. Nama-nama tersebut memiliki makna
yang sama, yaitu Pasir Kuning atau Beting Kuning. Di bawah Kaisar Vietnam Minh
Mang [1820-1841] pada abad ke-19, kepulauan Spratly disebut sebagai Vạn
LýTruong Sa, atau Beting Sepuluh Ribu Liga.
Untuk menambah persoalan, pada paruh
pertama abad ke-19, Cina dan Vietnam menyatakan klaim atas kepulauan Spratly
dan Paracel secara bersamaan tetapi tidak menyadari bahwa masing-masing
melakukan hal yang sama. Pada bulan Juli 2012, Majelis Nasional Vietnam
menyetujui undang-undang yang memperluas perbatasan laut negara tersebut dengan
memasukkan rangkaian kepulauan Spratly dan Paracel ke dalamnya.
Kapten Angkatan Laut Inggris James
George Meads menyatakan klaimnya sendiri atas kepulauan tersebut pada tahun
1870-an dan memproklamasikan negaranya sendiri Morac-Songhrati-Meads atasnya.
Menambah sedikit kelegaan terhadap perseteruan yang rumit dan tegang atas kedua
kepulauan sekarang, keturunan Meads terus berusaha menyatakan klaim atas kuasa
dan kepemilikan mereka atas kedua kepulauan tersebut.Klaim mereka juga mencakup
potensi cadangan minyak, gas, dan mineral berharga di bawah dasar laut di
sekitarnya yang mencakup radius sepanjang 200 mil.
Bahkan Jepang juga sempat terllibat
dalam pemindahan klaim atas kepulauan Paracel. Jepang menjajah rangkaian pulau
tersebut pada tahun 1939 dan sampai tahun 1945 menyebutnya sebagai Shinnan
Shoto, atau Kepulauan Baru Selatan. Di dalam Traktat Perdamaian San Fransisco
pada tahun 1951 pada akhir masa penjajahan AS, Jepang mencabut semua klaim atas
Spratly, Paracel, dan pulau-pulau lain di Laut Cina Selatan. Cina kemudian
mengulang kembali klaim kedaulatan sebelumnya atas pulau-pulau tersebut.
Republik Cina yang dikuasai oleh
pemerintah Kuomintang untuk waktu yang singkat menjajah kepulauan Spratly dan
Paracel dari tahun 1945 sampai 1949, tetapi meninggalkan sebagian besar ketika
merelokasi ke Taiwan setelah kemenangan komunis pada tahun 1949 dalam Perang
Sipil Cina. Republik Cina menarik sisa pasukannya dari Pulau Taiping pada tahun
1950, tetapi mengirim mereka kembali pada tahun 1965.
Sengketa atas pulau-pulau tersebut,
terutama antara Cina dan Filipina dan Vietnam, tidak menunjukkan tanda-tanda
akan mereda karena sejarah yang panjang dan rumit mengenai klaim dan klaim
balasan teritorial atas wilayah laut. Sengketa ini akan terus berlanjut -- dan
kemungkinan akan meningkat -- kecuali jika bangsa-bangsa yang bersengketa ini
bekerja sama secara kolaboratif dan diplomatis untuk menyelesaikan klaim tanpa
paksaan, intimidasi, atau penggunaan kekuatan -- contohnya menyetujui
"Kode Etik" yang disponsor oleh ASEAN. Semua partai harus memperjelas
dan melanjutkan klaim teritorial dan maritim mereka sesuai dengan hukum
internasional, seperti yang disebutkan dalam Konvensi PBB untuk Hukum Laut
[UNCLOS]. Situasi yang sangat mudah berubah ini tidak akan terselesaikan
kecuali jika semua pihak menjelajah setiap kesempatan diplomatis untuk mencapai
sebuah penyelesaian, termasuk penggunaan arbitrasi atau hukum internasional.
Konflik di Laut China Selatan antara China dan Filipina
Pemicu konflik antara China dan Filipina yaitu, delapan
nelayan Cina ditangkap kapal Angkatan Laut Filipina karena mencuri ikan di
Dangkalan Scarborough, bagian Laut Cina Selatan yang masuk teritori
Filipina.Tindakan itu memicu diturunkannya kapal patroli Cina untuk meminta pembebasan
para nelayan.Kapal perang Filipina dan dua kapal patroli Cina pun berhadapan,
mengunci, dan siap memicu perang.Kemdian dalam jangka waktu yang tidak terlalu
lama, 7.000 serdadu menyerbu Teluk Ulugan di Pulau Palawan, Filipina. Mendarat
dengan perahu karet, pasukan yang terdiri dari 4.500 prajurit marinir Amerika
Serikat dan 2.500 tentara Filipina itu mulai masuk ke pulau yang sedang
dikuasai laskar militan tersebut. Pasukan gabungan itu pun memenangkan
pertempuran dan menguasai jengkal demi jengkal wilayah Palawan hingga merebut
pangkalan militer yang sebelumnya dikuasai pemberontak.
Serbuan itu hanyalah latihan perang.Namun, bagi Cina, itu
sebuah pemihakan Amerika kepada seterunya atas ketegangan yang sedang terjadi
di kawasan Laut Cina Selatan. Wakil Menteri Luar Negeri Cina, Cui Tiankai,
meminta Washington menahan diri. Latihan perang yang dilakukan Amerika dan
Filipina memang dilakukan sejak tahun 1951.Keduanya terikat perjanjian
pertahanan bersama.Dan, bagi Filipina, adalah kewajaran bila sebuah negara
ingin meningkatkan sistem pertahanannya.Tapi Cina sangat sensitif dengan isu di
wilayah Laut Cina Selatan.Sebab sebagian besar pasokan energi dan bahan bakunya
diimpor melewati jalur pelayaran kawasan ini.Sementara itu, di sisi lain,
wilayah ini juga berdekatan dengan kunci fasilitas militer Cina, termasuk di
Pulau Hainan.Tak hanya itu.Laut Cina Selatan juga memiliki potensi sumber daya
alam yang besar.Demi masa depan, Cina ngotot mengklaim seluruh kawasan Laut
Cina Selatan sebagai wilayahnya, termasuk Kepulauan Spratly yang diklaim oleh
Taiwan dan Vietnam. Sebagian wilayah kepulauan ini juga diklaim oleh Malaysia,
Brunei, dan Filipina.
Dalam sebuah laporan tahun 2008, lembaga energi di Amerika
Serikat menyebutkan adanya cadangan minyak yang belum digarap di kawasan itu
sebanyak 213 milyar barel.Menurut data kajian statistik British Petroleum,
kandungan itu melampaui cadangan minyak yang dimiliki setiap negara di dunia,
kecuali Arab Saudi dan Venezuela.
perusahaan eksplorasi minyak Filipina, Philex Petroleum
Corp, menyatakan adanya potensi lebih banyak cadangan gas di lapangan
Sampaguita. Tepatnya di Blok Reed Bank atau yang disebut sebagai Blok Recto
Bank. Sedangkan Forum Energy, anak perusahaan Philex dan merupakan operator
pengeboran di lapangan Sampaguita, menyatakan bahwa data yang dikumpulkan
selama survei seismik tahun lalu menunjukkan, potensi gas dan minyak yang
didapat bisa mencapai 16,6 trilyun kaki kubik gas alam dan 416 juta barel
minyak.
Reed Bank berlokasi di selatan perairan Filipina, sekitar 80 mil laut Pulau Palawan.Namun, pada 2011, Cina mengklaim wilayah itu sebagai miliknya, meski Pemerintah Filipina menganggapnya sebagai hal yang tak mungkin karena jaraknya sekitar 500 mil dari teritori Cina.
Cina pun tak hanya melakukan klaim.Kapal survei yang disewa Philex untuk melakukan eksplorasi di perairan itu juga mendapat intimidasi dari kapal milik Angkatan Laut CinaPeristiwa ini sempat memicu ketegangan dan hampir menghentikan aktivitas penambangan, hingga pejabat militer Filipina memerintahkan agar pekerjaan diteruskan.
Reed Bank berlokasi di selatan perairan Filipina, sekitar 80 mil laut Pulau Palawan.Namun, pada 2011, Cina mengklaim wilayah itu sebagai miliknya, meski Pemerintah Filipina menganggapnya sebagai hal yang tak mungkin karena jaraknya sekitar 500 mil dari teritori Cina.
Cina pun tak hanya melakukan klaim.Kapal survei yang disewa Philex untuk melakukan eksplorasi di perairan itu juga mendapat intimidasi dari kapal milik Angkatan Laut CinaPeristiwa ini sempat memicu ketegangan dan hampir menghentikan aktivitas penambangan, hingga pejabat militer Filipina memerintahkan agar pekerjaan diteruskan.
Berebut gas di Laut Cina Selatan juga mulai melibatkan
Rusia. Pada 5 April lalu, perusahaan gas raksasa dari "negeri beruang
merah" itu, Gazprom, sepakat dengan perusahaan pertambangan milik
Pemerintah Vietnam, PetroVietnam, untuk melakukan eksplorasi di lapangan Moc
Tinh dan Hai Thach. Kontrak ini memberi Gazprom bagian saham 49% di tambang
tersebut dan akan memasok sekitar 55.6 milyar meter kubik gas alam bagi Rusia.
Namun, lima hari setelah kontrak diteken, Cina bereaksi. "Kami selalu menentang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas di wilayah Laut Cina Selatan tanpa izin kami.Kami telah membuat pernyataan dan akan mengambil tindakan untuk menghentikan kegiatan ilegal itu," kata Deng Zhonghua, Direktur Jenderal Perbatasan Kelautan Kementerian Luar Negeri Cina, seperti dikutip People's Daily.
Namun, lima hari setelah kontrak diteken, Cina bereaksi. "Kami selalu menentang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas di wilayah Laut Cina Selatan tanpa izin kami.Kami telah membuat pernyataan dan akan mengambil tindakan untuk menghentikan kegiatan ilegal itu," kata Deng Zhonghua, Direktur Jenderal Perbatasan Kelautan Kementerian Luar Negeri Cina, seperti dikutip People's Daily.
Tekanan seperti ini pernah pula dialami British Pretoleum
dari Inggris pada 2009 dan memaksa mereka mundur dari upaya memproduksi gas di
lapangan Vietnam.Hal ini memaksa Hanoi mencari partner baru untuk memanen gas
dari perairannya. Surat rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Hanoi yang
dilansir WikiLeaks menyebutkan, perusahaan-perusahaan tambang dari Barat yang
punya kepentingan bisnis di kawasan itu banyak mendapat tekanan dari Pemerintah
Cina.Dalam kawat itu juga ditulis analisis bahwa Vietnam bisa menjadi negeri
yang memiliki perusahaan energi yang bukan milik orang Barat, tapi tidak bisa
dipengaruhi Cina. Gazprom yang membawa dukungan Pemerintah Rusia pun akan
memiliki imunitas dari tekanan Beijing.
Bagaimanapun, ketegangan di wilayah itu mendorong Amerika
Serikat untuk memulai apa yang disebut Menteri Luar Negeri Hillary Clinton
sebagai "poros" menuju Asia. Sebuah strategi yang bertujuan
memberikan kesempatan kepada Amerika turut andil lebih besar di wilayah
tersebut.Selain bisa menetralisasi ancaman Cina, kepentingan utama Amerika di
wilayah itu juga akan lebih terjamin. Yaitu menegakkan kebebasan lalu lintas
perdagangan global yang terbesar ketiga di dunia.Untuk itu, Amerika merasa
perlu menempatkan kapal perang, termasuk kapal induk raksasa, di perairan dekat
daratan Cina.Melalui dominasi angkatan laut di Laut Cina Selatan dan strategi
titik penyumbatan seperti di Selat Malaka, Amerika dapat mengaktifkan blokade
ekonomi terhadap Cina, khususnya saat situasi konflik.
Namun Cina menggunakan pendekatan lain agar kondisi kawasan
itu tetap terkendali. Pemerintahan Beijing mengaku akan tetap mengutamakan
negosiasi damai, meski jalan penyelesaian akhirnya akan tetap sama. ''Tindakan
militer untuk menunjukkan kedaulatan atas Laut Cina Selatan, yang akan
didasarkan pada kebutuhan diplomasi," kata Menteri Pertahanan Cina, Liang
Guanglie.
Peran ASEAN
dalam konflik laut china selatan
Konflik Laut China Selatan melibat beberapa negara anggota
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).Untuk itu ASEAN diminta untuk
bisa memegang peranan penting dalam konflik teritorial ini.Pada 20 Juli 2011,
China, Brunei, Malaysia, Filipina, Kamboja dan Vietnam, sepakat untuk
menentukan panduan yang bisa membantu menyelesaikan konflik. China menilai hal
tersebut sebagai sebuah dokumen yang bisa menjadi batu loncatan untuk melakukan
kerja sama antara China dan ASEAN.
Kesepakatan tersebut mengatur aspek hubungan seperti
perlindungan biota laut, penelitian ilmiah, keamanan navigasi dan komunikasi,
serta penanggulangan kejahatan trans nasional. Namun isu eksplorasi gas dan
minyak bumi, masih belum terpecahkan hingga saat ini.
Meski kerja sama ASEAN berhasil dilakukan bersama China, masalah ini justru sempat mengancam ASEAN itu sendiri. Pada pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Kamboja, Juli lalu, sempat para menlu tidak bisa mengeluarkan komunike bersama yang akan dibahas oleh pemimpin negara ASEAN untuk pertemuan berikutnya.
Meski kerja sama ASEAN berhasil dilakukan bersama China, masalah ini justru sempat mengancam ASEAN itu sendiri. Pada pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Kamboja, Juli lalu, sempat para menlu tidak bisa mengeluarkan komunike bersama yang akan dibahas oleh pemimpin negara ASEAN untuk pertemuan berikutnya.
Sempat terjadi kebuntuan dalam pertemuan itu, ketika
Kamboja menolak memasukan Laut China Selatan dalam komunike bersama.Tetapi
lewat shuttle diplomacy yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa, para Menlu ASEAN akhirnya berhasil merumuskan komunike bersama.
Peran Indonesia
Dalam Konflik Laut China Selatan
Akar
masalah konflik dan ketegangan di Laut China Selatan adalah sengketa wilayah
kaya minyak dan gas.China dengan "pedenya" mengklaim kedaulatan atas
hampir seluruh laut di wilayah Laut China Selatan yang diyakini menyimpan
cadangan minyak dan gas tersebut.Klaim ini memancing ketegangan karena selain
meningkatkan tensi klaim dari beberapa negara tetangga, juga karena kawasan itu
menjadi jalur pelayaran yang vital bagi perdagangan global.Kini China
bersitegang dengan Filipina, Brunei, Malaysia dan Vietnam dan juga Taiwan.
Vietnam dan China, misalnya, sudah pernah terlibat dalam konflik laut pada 1974
dan 1998 yang menewaskan puluhan personel militer.Ketegangan China dan Vietnam
mulai meningkat lagi tahun lalu.Kini Vietnam dan belakangan Filipina menuduh
China menjadi semakin agresif mengklaim atas wilayah Laut China Selatan.
Laut
China Selatan adalah kawasan yang sering disebut sebagai Laut Persia-nya Asia.
Kementerian Pertambangan China memperkirakan terdapat 17,7 miliar ton cadangan
minyak dan gas di Laut China Selatan (bandingkan dengan Kuwait yang
"hanya" 13 miliar ton). Tak heran bila klaim China atas kawasan
ini makin intensif dan agresif.Perusahaan minyak China Offshore Exploration
Corp siap mengeluarkan dana 30 miliar dolar AS selama 20 tahun ke depan untuk
mengeksploitasi minyak di kawasan ini dengan perkiraan produksi sebanyak 25
juta metrik ton per tahun pada kedalaman 2000 meter di bawah laut.Sejumlah
negara ASEAN seperti Indonesia, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei, juga
mengklaim sebagian Laut China Selatan yang juga menjadi jalur pelayaran penting
dunia.
Namun,
China bersikeras memiliki kedaulatan di kawasan laut ini.Filipina dan Vietnam
telah menyampaikan keprihatinan terhadap China, tetangga raksasa ASEAN yang
makin agresif atas klaimnya di Laut China Selatan.Masalah inilah yang membuat
perbedaan pendapat yang tidak pernah terjadi sebelumnya di ASEAN.Pertemuan para
menlu ASEAN di Phnom Penh bulan Juli 2012 berakhir tanpa komunike bersama untuk
pertama kalinya selama 45 tahun sejarah ASEAN. Kegagalan ini terjadi karena
perbedaan dalam merespon isu Laut China Selatan.
Untuk
mengimbangi kekuatan China, kata Jusuf Wanandi, ASEAN harus bersatu karena
hanya kebersatuan itulah yang bisa mengimbangi China.Sebagai mitra dagang utama
di kawasan, dan ASEAN akan menjadi mitra dagang terbesar China di dunia pada
2015, kesepuluh anggota ASEAN memiliki kemampuan mendongkrak posisi tawar
menghadapi kekuatan China, baik secara ekonomi maupun politik.Ia juga mengatakan
peran ASEAN sangat penting dalam mencapai keamanan regional di Laut China
Selatan. ASEAN dan China harus mencari solusi dalam manajemen krisis dan
pencegahan.Jangan sampai pecah konflik bersenjata di kawasan Asia yang
sebetulnya memiliki potensi untuk bangkit menjadi adidaya baru dalam suatu
zaman yang disebut Era Asia atau Pax Asiana.Untuk itu, kode etik atau Code of
Conduct di Laut China Selatan harus disepakati bersama secepat mungkin pada KTT
ke-21 di Kamboja ini.
Kode
etik itu yang menjadi aturan main yang tegas mengenai apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan untuk menjaga keamanan kawasan.Dalam kaitan ini, peran
Indonesia sebagai penggagas Code of Conduct tersebut sangat penting dan
menentukan. Indonesia telah berkomitmen untuk menjaga keamanan di kawasan Asia
Tenggara dan sudah banyak melakukan upaya untuk mewujudkannya, misalnya saja,
Indonesia sudah berkali-kali melakukan lokakarya mengenai Laut China Selatan
dalam dua dasawarsa terakhir ini.
Indonesia
harus bisa meyakinkan China mengenai pentingnya keamanan di kawasan ini dan
Jakarta harus menjaga netralitas dalam isu ini sambil menjaga hubungan baik
dengan China dan juga Amerika Serikat.Tentunya tetap menjadi posisi pemimpin di
ASEAN sebagai anggota terbesar.Alasan utama Indonesia untuk menjaga kawasan
Asia Tenggara yang bebas dan independen dari pengaruh hegemoni dan kekuatan
besar terletak pada doktrin Kawasan Damai, Bebas dan Netral (ZOPFAN).Indonesia
juga harus terus berupaya untuk mencapai keamanan kawasan.
Jika
keamanan kawasan bisa dijaga dengan ASEAN sebagai motor penggeraknya, maka
perdamaian, stabilitas dan pembangunan di kawasan Asia Tenggara bisa
terjamin,kata Jusuf Wanandi dalam sebuah analisisnya.Presiden Yudhoyono,
sebagaimana Wanandi, juga meyakini stabilitas keamanan dan ketertiban Laut
China Selatan menjadi kepentingan semua negara di Asia. Terutama guna mendukung
perkembangan ekonomi di kawasan yang hingga kini masih kuat di tengah krisis
ekonomi global."Apalagi semua memiliki kepentingan untuk menjaga
pertumbuhan perekonomian, sehingga ketika dunia menghadapi krisis seperti ini,
Insya Allah, kawasan ini akan tetap terjaga perkembangan ekonominya,"
demikian Presiden Yudhoyono.
REFERENSI
http://www.lestari.info/2012/05/negara-adidaya-ikut-berebut-gas-di-laut.html
terimakasihhhhh infonyaaa
ReplyDelete