Saturday 25 May 2013

KONFLIK LAUT CINA SELATAN



Cikal bakal Konflik Laut China Selatan
Laut China Selatan memang luas.Wilayah laut tersebut membentang dari membentang dari Singapura yang diawali dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan.Wilayah ini pun menjadi rebutan dari beberapa negara yang dekat dengannya.Tercatat beberapa Negara seperti China, Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam dan Taiwan, saling tukar klaim atas wilayah laut tersebut. Dengan dalihnya masing-masing negara, mereka mengakui sebagian dari Laut Cina Selatan sebagai bagian dari teritorialnya.China menjadi negara yang paling bernafsu memiliki kekuasaan atas wilayah Laut China Selatan.Kekayaan alam yang dikandung oleh Laut China Selatan, menjadi penyebab utama perebutan wilayah ini.
Menurut Kementerian Sumber Daya dan Pertambangan China, diperkirakan kandungan minyak mentah yang berada di Laut China Selatan mencapai 17,7 miliar ton. Ini jauh lebih besar dibandingkan cadangan minyak di Kuwait yang mencapai 13 miliar ton. Namun catatan lain menyebutkan cadangan minyak di wilayah Laut China Selatan hanya mencapai 7,5 miliar barel atau 1,1 ton barel. Selain cadangan minyak dan gas bumi, wilayah perairan Laut China Selatan amatlah penting. Siapa pun yang menguasainya tentunya akan menjadi memiliki keuntungan besar. Sebagai salah satu perairan paling sibuk di dunia, tentunya membawa keuntungan bagi negara-negara yang wilayah lautnya dilewati.Dengan statusnya yang banyak diklaim oleh beberapa negara, wilayah laut ini pun sangat strategis untuk dijaga keamanannya.Laut China Selatan jelas juga sangat penting bagi kestabilan ekonomi dan politik global.Tak kurang, pertentangan dan konflik yang terjadi melibatkan konflik senjata.Konflik terbaru terjadi antara Filipina dengan China di Dangkalan Scarborough.Selain itu, Vietnam dengan Filipina pun sempat memanas setelah kapal dari tiap kedua negara saling memicu ketegangan.


Sengketa berkelanjutan mengenai hak teritorial atas Kepulauan Spratly dan Paracel, Bantaran Sungai Macclesfield, dan Karang Scarborough antara Republik Rakyat Cina, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan telah berkembang menjadi sengketa nama untuk Laut Cina Selatan.Negara-negara di kawasan itu telah memberi nama yang berbeda-beda untuk laut tersebut selama sejarah navigasi dan perdagangan yang panjang di daerah itu. Dalam bahasa Inggris, laut tersebut selalu disebut sebagai Laut Cina Selatan, atau persamaannya dalam kebanyakan bahasa Eropa.
Orang Eropa pertama yang melayari dan memberi nama untuk kawasan tersebut adalah marinir Portugis yang menamakannya Laut Cina, atau Mar da China. Mereka kemudian mengubahnya menjadi Laut Cina Selatan.Sekarang, Organisasi Hidrografik Internasional menyebutnya Laut Cina Selatan atau Nan Hai (Laut Selatan) dalam bahasa Cina.
Nama laut bisa ditelusuri hingga 2.000 tahun yang lalu
Nama yang diberikan oleh Cina untuk laut tersebut bisa ditelusuri hingga 2.000 tahun yang lalu pada zaman Dinasti Han, yang satu zaman dengan Republik Romawi dan Kerajaan Romawi. Laut tersebut dinamakan Zhang Hai, atau Laut Busung, dan seribu tahun kemudian menjadi Laut Bergolak di bawah zaman pemisahan antara Dinasti Utara dan Selatan. Nama Nan Hai yang sekarang ini telah digunakan selama lebih dari 300 tahun sejak awal era Dinasti Qing [Manchu].Meskipun demikian, setidaknya semenjak 500 tahun yang lalu, dan bahkan mungkin lebih lama, penduduk Asia Tenggara sering menyebutnya sebagai Laut Champa atau Laut Cham, menamakannya seperti kerajaan maritim Champa yang terletak di bagian selatan dan tengah Vietnam sampai ke Kamboja sejak abad ke-7 sampai tahun 1832.
Ketika Jepang menjajah Indocina pada tahun 1941, laut tersebut dinamakan laut Minami Shina Kai atau Laut Cina Selatan. Dan Jepang masih menggunakan nama itu sampai sekarang.
Bagi bangsa-bangsa modern yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, Filipina, dan Malaysia, laut tersebut disebut sebagai Laut Cina Selatan dalam bahasa lokal mereka -- Dagat Timog Tsina dalam bahasa Tagalog di Filipina dan Laut China Selatan dalam bahasa Melayu. Orang Filipina menyebut bagian yang terletak di dalam laut teritorialnya sebagai Laut Luzon atau Dagat Luzon.
Namun, ketika sengketa antara Filipina dan Cina atas klaim yang bertentangan atas Kepulauan Spratly meningkat pada tahun 2011, departemen dan juru bicara pemerintah Filipina mulai menyebut seluruh kawasan laut tersebut sebagai Laut Filipina Barat. Layanan Administrasi Atmosferik, Geofisika, dan Astronomik Filipina [PAGASA] bersikukuh pada posisi bahwa kawasan tersebut akan selalu disebut sebagai Laut Filipina.Pulau-pulau kecil yang disengketakan di laut tersebut juga disebut dengan berbagai nama yang bertentangan, dengan klaim kedaulatan pelik yang bertentangan atas mereka yang sudah terjadi selama ratusan tahun. Bangsa-bangsa Barat menyebut satu kumpulan pulau sebagai kepulauan Spratly.Cina menyebutnya Kepulauan Nansha.
Filipina menyebut Karang Scarborough sebagai Beting Panatag, Bajo de Masinlóc atau Karburo.Cina telah menamakannya sebagai Kepulauan Huangyan sejak tahun 1983.Pada tahun 1947, pemerintah Kuomintang dari Republik Cina menyatakan kedaulatan atas karang tersebut dan menamakannya Minzhu Jiao atau Karang Demokrasi.Nama Baratnya berasal dari kapal dagang Scarborough milik Perusahaan Hindia Timur Britania yang tenggelam tanpa ada yang selamat setelah menabrak karang tersebut pada tahun 1784.Filipina berusaha menyatakan kedaulatannya atas Karang Scarborough selama setengah abad, dengan membangun sebuah menara setinggi 27,23 kaki [8,3 meter] di sana pada tahun 1965.
Para astronom mengunjungi Karang Scarborough pada tahun 1279
Meskipun demikian, Cina bersikukuh bahwa klaimnya atas karang tersebut sudah ada sejak tahun 1279 ketika astronom Guo Shoujing mengunjungi situs tersebut selama Dinasti Yuan.Cina memberi nama kepada kumpulan pulau-pulau yang berbeda di Laut Cina Selatan menurut lokasi mereka yang dibagi menjadi empat: Kepulauan Paracel adalah Kepulauan Xisha atau Pantai [atau Pasir] Barat; Kepulauan Spratly disebut Nansha atau Pantai Selatan; pulau-pulau lain dinamakan Dongsha, dikenal juga dengan nama Prata. Bantaran Sungai Macclesfield dinamakan Kepulauan Zhongha, atau Pantai [atau Pasir] Tengah.Cina telah menyatakan kedaulatan atasnya sejak tahun 1935.Klaim awal oleh pemerintah Kuomintang Jiang Jieshi [Chiang Kai-shek] telah dipertahankan oleh Republik Rakyat Cina.
Nama Paracel bisa ditelusuri hingga 400 tahun yang lalu pada masa pedagang Portugis pada akhir abad ke-16.Namun Cina menyebutnya kepulauan Wanglishitang, atau Sepuluh Ribu Mil Kolam Berbatu pada masa Dinasti Yuan, 750 tahun yang lalu.Nama kepulauan ini juga digunakan oleh para pelayar dan penjelajah Cina yang terkenal, Zheng He di dalam petanya pada tahun 1430 pada masa Dinasti Ming.
Vietnam juga menyatakan klain atas laut
Vietnam juga memiliki kumpulan nama untuk wilayah kecil di Laut Cina Selatan tersebut. Perancis menyatakan klaim atas kepulauan Spratly dan Paracel pada tahun 1887 dan menegaskan kembali klaim mereka pada tahun 1933. Orang Vietnam telah menyebut kepulauan tersebut dengan Hoang Sa, atau Pasir Kuning sejak abad ke-15. Di dalam bahasa Vietnam modern, nama tersebut dieja Hoàng Sa atau Cát Vàng. Nama-nama tersebut memiliki makna yang sama, yaitu Pasir Kuning atau Beting Kuning. Di bawah Kaisar Vietnam Minh Mang [1820-1841] pada abad ke-19, kepulauan Spratly disebut sebagai Vạn LýTruong Sa, atau Beting Sepuluh Ribu Liga.
Untuk menambah persoalan, pada paruh pertama abad ke-19, Cina dan Vietnam menyatakan klaim atas kepulauan Spratly dan Paracel secara bersamaan tetapi tidak menyadari bahwa masing-masing melakukan hal yang sama. Pada bulan Juli 2012, Majelis Nasional Vietnam menyetujui undang-undang yang memperluas perbatasan laut negara tersebut dengan memasukkan rangkaian kepulauan Spratly dan Paracel ke dalamnya.
Kapten Angkatan Laut Inggris James George Meads menyatakan klaimnya sendiri atas kepulauan tersebut pada tahun 1870-an dan memproklamasikan negaranya sendiri Morac-Songhrati-Meads atasnya. Menambah sedikit kelegaan terhadap perseteruan yang rumit dan tegang atas kedua kepulauan sekarang, keturunan Meads terus berusaha menyatakan klaim atas kuasa dan kepemilikan mereka atas kedua kepulauan tersebut.Klaim mereka juga mencakup potensi cadangan minyak, gas, dan mineral berharga di bawah dasar laut di sekitarnya yang mencakup radius sepanjang 200 mil.
Bahkan Jepang juga sempat terllibat dalam pemindahan klaim atas kepulauan Paracel. Jepang menjajah rangkaian pulau tersebut pada tahun 1939 dan sampai tahun 1945 menyebutnya sebagai Shinnan Shoto, atau Kepulauan Baru Selatan. Di dalam Traktat Perdamaian San Fransisco pada tahun 1951 pada akhir masa penjajahan AS, Jepang mencabut semua klaim atas Spratly, Paracel, dan pulau-pulau lain di Laut Cina Selatan. Cina kemudian mengulang kembali klaim kedaulatan sebelumnya atas pulau-pulau tersebut.
Republik Cina yang dikuasai oleh pemerintah Kuomintang untuk waktu yang singkat menjajah kepulauan Spratly dan Paracel dari tahun 1945 sampai 1949, tetapi meninggalkan sebagian besar ketika merelokasi ke Taiwan setelah kemenangan komunis pada tahun 1949 dalam Perang Sipil Cina. Republik Cina menarik sisa pasukannya dari Pulau Taiping pada tahun 1950, tetapi mengirim mereka kembali pada tahun 1965.
Sengketa atas pulau-pulau tersebut, terutama antara Cina dan Filipina dan Vietnam, tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda karena sejarah yang panjang dan rumit mengenai klaim dan klaim balasan teritorial atas wilayah laut. Sengketa ini akan terus berlanjut -- dan kemungkinan akan meningkat -- kecuali jika bangsa-bangsa yang bersengketa ini bekerja sama secara kolaboratif dan diplomatis untuk menyelesaikan klaim tanpa paksaan, intimidasi, atau penggunaan kekuatan -- contohnya menyetujui "Kode Etik" yang disponsor oleh ASEAN. Semua partai harus memperjelas dan melanjutkan klaim teritorial dan maritim mereka sesuai dengan hukum internasional, seperti yang disebutkan dalam Konvensi PBB untuk Hukum Laut [UNCLOS]. Situasi yang sangat mudah berubah ini tidak akan terselesaikan kecuali jika semua pihak menjelajah setiap kesempatan diplomatis untuk mencapai sebuah penyelesaian, termasuk penggunaan arbitrasi atau hukum internasional.



Konflik di  Laut China Selatan antara China dan Filipina

Pemicu konflik antara China dan Filipina yaitu, delapan nelayan Cina ditangkap kapal Angkatan Laut Filipina karena mencuri ikan di Dangkalan Scarborough, bagian Laut Cina Selatan yang masuk teritori Filipina.Tindakan itu memicu diturunkannya kapal patroli Cina untuk meminta pembebasan para nelayan.Kapal perang Filipina dan dua kapal patroli Cina pun berhadapan, mengunci, dan siap memicu perang.Kemdian dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, 7.000 serdadu menyerbu Teluk Ulugan di Pulau Palawan, Filipina. Mendarat dengan perahu karet, pasukan yang terdiri dari 4.500 prajurit marinir Amerika Serikat dan 2.500 tentara Filipina itu mulai masuk ke pulau yang sedang dikuasai laskar militan tersebut. Pasukan gabungan itu pun memenangkan pertempuran dan menguasai jengkal demi jengkal wilayah Palawan hingga merebut pangkalan militer yang sebelumnya dikuasai pemberontak.
Serbuan itu hanyalah latihan perang.Namun, bagi Cina, itu sebuah pemihakan Amerika kepada seterunya atas ketegangan yang sedang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan. Wakil Menteri Luar Negeri Cina, Cui Tiankai, meminta Washington menahan diri. Latihan perang yang dilakukan Amerika dan Filipina memang dilakukan sejak tahun 1951.Keduanya terikat perjanjian pertahanan bersama.Dan, bagi Filipina, adalah kewajaran bila sebuah negara ingin meningkatkan sistem pertahanannya.Tapi Cina sangat sensitif dengan isu di wilayah Laut Cina Selatan.Sebab sebagian besar pasokan energi dan bahan bakunya diimpor melewati jalur pelayaran kawasan ini.Sementara itu, di sisi lain, wilayah ini juga berdekatan dengan kunci fasilitas militer Cina, termasuk di Pulau Hainan.Tak hanya itu.Laut Cina Selatan juga memiliki potensi sumber daya alam yang besar.Demi masa depan, Cina ngotot mengklaim seluruh kawasan Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya, termasuk Kepulauan Spratly yang diklaim oleh Taiwan dan Vietnam. Sebagian wilayah kepulauan ini juga diklaim oleh Malaysia, Brunei, dan Filipina.
Dalam sebuah laporan tahun 2008, lembaga energi di Amerika Serikat menyebutkan adanya cadangan minyak yang belum digarap di kawasan itu sebanyak 213 milyar barel.Menurut data kajian statistik British Petroleum, kandungan itu melampaui cadangan minyak yang dimiliki setiap negara di dunia, kecuali Arab Saudi dan Venezuela.
perusahaan eksplorasi minyak Filipina, Philex Petroleum Corp, menyatakan adanya potensi lebih banyak cadangan gas di lapangan Sampaguita. Tepatnya di Blok Reed Bank atau yang disebut sebagai Blok Recto Bank. Sedangkan Forum Energy, anak perusahaan Philex dan merupakan operator pengeboran di lapangan Sampaguita, menyatakan bahwa data yang dikumpulkan selama survei seismik tahun lalu menunjukkan, potensi gas dan minyak yang didapat bisa mencapai 16,6 trilyun kaki kubik gas alam dan 416 juta barel minyak.
Reed Bank berlokasi di selatan perairan Filipina, sekitar 80 mil laut Pulau Palawan.Namun, pada 2011, Cina mengklaim wilayah itu sebagai miliknya, meski Pemerintah Filipina menganggapnya sebagai hal yang tak mungkin karena jaraknya sekitar 500 mil dari teritori Cina.
Cina pun tak hanya melakukan klaim.Kapal survei yang disewa Philex untuk melakukan eksplorasi di perairan itu juga mendapat intimidasi dari kapal milik Angkatan Laut CinaPeristiwa ini sempat memicu ketegangan dan hampir menghentikan aktivitas penambangan, hingga pejabat militer Filipina memerintahkan agar pekerjaan diteruskan.
Berebut gas di Laut Cina Selatan juga mulai melibatkan Rusia. Pada 5 April lalu, perusahaan gas raksasa dari "negeri beruang merah" itu, Gazprom, sepakat dengan perusahaan pertambangan milik Pemerintah Vietnam, PetroVietnam, untuk melakukan eksplorasi di lapangan Moc Tinh dan Hai Thach. Kontrak ini memberi Gazprom bagian saham 49% di tambang tersebut dan akan memasok sekitar 55.6 milyar meter kubik gas alam bagi Rusia.
Namun, lima hari setelah kontrak diteken, Cina bereaksi. "Kami selalu menentang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas di wilayah Laut Cina Selatan tanpa izin kami.Kami telah membuat pernyataan dan akan mengambil tindakan untuk menghentikan kegiatan ilegal itu," kata Deng Zhonghua, Direktur Jenderal Perbatasan Kelautan Kementerian Luar Negeri Cina, seperti dikutip People's Daily.
Tekanan seperti ini pernah pula dialami British Pretoleum dari Inggris pada 2009 dan memaksa mereka mundur dari upaya memproduksi gas di lapangan Vietnam.Hal ini memaksa Hanoi mencari partner baru untuk memanen gas dari perairannya. Surat rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Hanoi yang dilansir WikiLeaks menyebutkan, perusahaan-perusahaan tambang dari Barat yang punya kepentingan bisnis di kawasan itu banyak mendapat tekanan dari Pemerintah Cina.Dalam kawat itu juga ditulis analisis bahwa Vietnam bisa menjadi negeri yang memiliki perusahaan energi yang bukan milik orang Barat, tapi tidak bisa dipengaruhi Cina. Gazprom yang membawa dukungan Pemerintah Rusia pun akan memiliki imunitas dari tekanan Beijing.
Bagaimanapun, ketegangan di wilayah itu mendorong Amerika Serikat untuk memulai apa yang disebut Menteri Luar Negeri Hillary Clinton sebagai "poros" menuju Asia. Sebuah strategi yang bertujuan memberikan kesempatan kepada Amerika turut andil lebih besar di wilayah tersebut.Selain bisa menetralisasi ancaman Cina, kepentingan utama Amerika di wilayah itu juga akan lebih terjamin. Yaitu menegakkan kebebasan lalu lintas perdagangan global yang terbesar ketiga di dunia.Untuk itu, Amerika merasa perlu menempatkan kapal perang, termasuk kapal induk raksasa, di perairan dekat daratan Cina.Melalui dominasi angkatan laut di Laut Cina Selatan dan strategi titik penyumbatan seperti di Selat Malaka, Amerika dapat mengaktifkan blokade ekonomi terhadap Cina, khususnya saat situasi konflik.
Namun Cina menggunakan pendekatan lain agar kondisi kawasan itu tetap terkendali. Pemerintahan Beijing mengaku akan tetap mengutamakan negosiasi damai, meski jalan penyelesaian akhirnya akan tetap sama. ''Tindakan militer untuk menunjukkan kedaulatan atas Laut Cina Selatan, yang akan didasarkan pada kebutuhan diplomasi," kata Menteri Pertahanan Cina, Liang Guanglie.


Peran ASEAN dalam konflik laut china selatan
Konflik Laut China Selatan melibat beberapa negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).Untuk itu ASEAN diminta untuk bisa memegang peranan penting dalam konflik teritorial ini.Pada 20 Juli 2011, China, Brunei, Malaysia, Filipina, Kamboja dan Vietnam, sepakat untuk menentukan panduan yang bisa membantu menyelesaikan konflik. China menilai hal tersebut sebagai sebuah dokumen yang bisa menjadi batu loncatan untuk melakukan kerja sama antara China dan ASEAN.
Kesepakatan tersebut mengatur aspek hubungan seperti perlindungan biota laut, penelitian ilmiah, keamanan navigasi dan komunikasi, serta penanggulangan kejahatan trans nasional. Namun isu eksplorasi gas dan minyak bumi, masih belum terpecahkan hingga saat ini.
Meski kerja sama ASEAN berhasil dilakukan bersama China, masalah ini justru sempat mengancam ASEAN itu sendiri. Pada pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Kamboja, Juli lalu, sempat para menlu tidak bisa mengeluarkan komunike bersama yang akan dibahas oleh pemimpin negara ASEAN untuk pertemuan berikutnya.
Sempat terjadi kebuntuan dalam pertemuan itu, ketika Kamboja menolak memasukan Laut China Selatan dalam komunike bersama.Tetapi lewat shuttle diplomacy yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, para Menlu ASEAN akhirnya berhasil merumuskan komunike bersama.


Peran Indonesia Dalam Konflik Laut China Selatan
Akar masalah konflik dan ketegangan di Laut China Selatan adalah sengketa wilayah kaya minyak dan gas.China dengan "pedenya" mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh laut di wilayah Laut China Selatan yang diyakini menyimpan cadangan minyak dan gas tersebut.Klaim ini memancing ketegangan karena selain meningkatkan tensi klaim dari beberapa negara tetangga, juga karena kawasan itu menjadi jalur pelayaran yang vital bagi perdagangan global.Kini China bersitegang dengan Filipina, Brunei, Malaysia dan Vietnam dan juga Taiwan. Vietnam dan China, misalnya, sudah pernah terlibat dalam konflik laut pada 1974 dan 1998 yang menewaskan puluhan personel militer.Ketegangan China dan Vietnam mulai meningkat lagi tahun lalu.Kini Vietnam dan belakangan Filipina menuduh China menjadi semakin agresif mengklaim atas wilayah Laut China Selatan.
Laut China Selatan adalah kawasan yang sering disebut sebagai Laut Persia-nya Asia. Kementerian Pertambangan China memperkirakan terdapat 17,7 miliar ton cadangan minyak dan gas di Laut China Selatan (bandingkan dengan Kuwait yang "hanya" 13 miliar ton). Tak heran bila klaim China atas kawasan ini makin intensif dan agresif.Perusahaan minyak China Offshore Exploration Corp siap mengeluarkan dana 30 miliar dolar AS selama 20 tahun ke depan untuk mengeksploitasi minyak di kawasan ini dengan perkiraan produksi sebanyak 25 juta metrik ton per tahun pada kedalaman 2000 meter di bawah laut.Sejumlah negara ASEAN seperti Indonesia, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei, juga mengklaim sebagian Laut China Selatan yang juga menjadi jalur pelayaran penting dunia.
Namun, China bersikeras memiliki kedaulatan di kawasan laut ini.Filipina dan Vietnam telah menyampaikan keprihatinan terhadap China, tetangga raksasa ASEAN yang makin agresif atas klaimnya di Laut China Selatan.Masalah inilah yang membuat perbedaan pendapat yang tidak pernah terjadi sebelumnya di ASEAN.Pertemuan para menlu ASEAN di Phnom Penh bulan Juli 2012 berakhir tanpa komunike bersama untuk pertama kalinya selama 45 tahun sejarah ASEAN. Kegagalan ini terjadi karena perbedaan dalam merespon isu Laut China Selatan.
Untuk mengimbangi kekuatan China, kata Jusuf Wanandi, ASEAN harus bersatu karena hanya kebersatuan itulah yang bisa mengimbangi China.Sebagai mitra dagang utama di kawasan, dan ASEAN akan menjadi mitra dagang terbesar China di dunia pada 2015, kesepuluh anggota ASEAN memiliki kemampuan mendongkrak posisi tawar menghadapi kekuatan China, baik secara ekonomi maupun politik.Ia juga mengatakan peran ASEAN sangat penting dalam mencapai keamanan regional di Laut China Selatan. ASEAN dan China harus mencari solusi dalam manajemen krisis dan pencegahan.Jangan sampai pecah konflik bersenjata di kawasan Asia yang sebetulnya memiliki potensi untuk bangkit menjadi adidaya baru dalam suatu zaman yang disebut Era Asia atau Pax Asiana.Untuk itu, kode etik atau Code of Conduct di Laut China Selatan harus disepakati bersama secepat mungkin pada KTT ke-21 di Kamboja ini.
Kode etik itu yang menjadi aturan main yang tegas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan untuk menjaga keamanan kawasan.Dalam kaitan ini, peran Indonesia sebagai penggagas Code of Conduct tersebut sangat penting dan menentukan. Indonesia telah berkomitmen untuk menjaga keamanan di kawasan Asia Tenggara dan sudah banyak melakukan upaya untuk mewujudkannya, misalnya saja, Indonesia sudah berkali-kali melakukan lokakarya mengenai Laut China Selatan dalam dua dasawarsa terakhir ini.
Indonesia harus bisa meyakinkan China mengenai pentingnya keamanan di kawasan ini dan Jakarta harus menjaga netralitas dalam isu ini sambil menjaga hubungan baik dengan China dan juga Amerika Serikat.Tentunya tetap menjadi posisi pemimpin di ASEAN sebagai anggota terbesar.Alasan utama Indonesia untuk menjaga kawasan Asia Tenggara yang bebas dan independen dari pengaruh hegemoni dan kekuatan besar terletak pada doktrin Kawasan Damai, Bebas dan Netral (ZOPFAN).Indonesia juga harus terus berupaya untuk mencapai keamanan kawasan.
Jika keamanan kawasan bisa dijaga dengan ASEAN sebagai motor penggeraknya, maka perdamaian, stabilitas dan pembangunan di kawasan Asia Tenggara bisa terjamin,kata Jusuf Wanandi dalam sebuah analisisnya.Presiden Yudhoyono, sebagaimana Wanandi, juga meyakini stabilitas keamanan dan ketertiban Laut China Selatan menjadi kepentingan semua negara di Asia. Terutama guna mendukung perkembangan ekonomi di kawasan yang hingga kini masih kuat di tengah krisis ekonomi global."Apalagi semua memiliki kepentingan untuk menjaga pertumbuhan perekonomian, sehingga ketika dunia menghadapi krisis seperti ini, Insya Allah, kawasan ini akan tetap terjaga perkembangan ekonominya," demikian Presiden Yudhoyono.

REFERENSI

http://www.lestari.info/2012/05/negara-adidaya-ikut-berebut-gas-di-laut.html
http://www.antaranews.com/berita/344033/ktt-asean-di-tengah-krisis-laut-china-selatan

1 comment: